Kami berjalan beriringan menuju ruangan setelah mencuci mukaku terlebih dahulu. Ketika bercermin aku tidak bisa menutupi fakta kalau wajahku sangat berantakan. Aku berusaha untuk menutupinya dengan mengaplikasikan makeup ringan dan berusaha untuk tersenyum.
"Rin... berkas untuk besok udah selesai??" tanya Yoni teman timku untuk proyek besok
"Baru selesai setengahnya Yon.. ini mau gue lanjutin... ada tambahan??" balasku mendatanginya
"Ada sih.. di bagian ini.." ucapnya sambil memberi tambahan data dan membuatku kembali focus dengan pekerjaanku.
Setelah mengambil data tambahan dari meja Yoni, aku kembali menuju mejaku dan memfokuskan diri dengan pekerjaanku. Kupasang headphone yang sangat jarang ku gunakan dan menggunakan volume tinggi yang cukup menulikan telingaku. Entah karena music yang menenggelamkan suara di sekelilingku atau fokusku yang tiba-tiba kembali, aku mampu meninggalkan segala perasaan burukku dan menyelesaikan pekerjaanku.
Walaupun begitu, setiap jari ini berhenti mengetik, setiap telinga ini berhenti mendengarkan, setiap otak ini berhenti berpikir, kejadian mengerikan itu kembali teringat dan membuatku harus kembali menahan air mata ini agar tidak luruh. Rasa sakit yang kurasakan kali ini lebih parah dibanding saat aku bersama Rama. Mungkin karena aku sudah menyerahkan hati ini sepenuhnya pada Rio dan sangat menantikan hari special itu, sehingga sakit yang kurasakan atas pengkhianatan ini begitu dalam.
Kupaksakan diri ini, tangan ini, dan kepala ini untuk menyelesaikan laporan dan seselesainya langsung kukirim ke Yoni dan anggota kelompok lainnya. Kulipat tangan ini diatas meja dan menaruh kepalaku diatasnya. Berharap dengan begitu aku mampu mengurangi keinginan untuk menangis.
"..Rin..." samar-samar aku merasa dipanggil dan baru sadar ketika ada yang mengguncang badanku serta melepas headphone dengan volume tinggi itu.
"Mas Put??" tanyaku linglung begitu mengangkat wajahku dan mengedarkan pandangan ke sekelilingku dan menemukan Mba Yuli, Ani, dan Yoni.
"Kalau udah selesai, mending lu pulang dan siap-siap buat besok... penerbangan pagi kan??" ucap Mas Putra sambil mengambil tempat di depanku. Dia duduk di bangku yang ditariknya entah dari mana.
"Kok rame??" tanyaku masih bingung dengan sekelilingku. Tiba-tiba saja Mba Yuli dan Ani memelukku dengan erat.
"Ini pada kenapa dah??" aku masih belum mengerti dengan tingkah mereka.
"Mata lu merah banget dan sembab..." celetuk Yoni yang membuatku sadar kalau ternyata aku sempat menangis sejenak tadi.
"Lu kenapa?? Ada masalah?? Jangan dipendam sendiri Rin.. kami siap dengerin kok.." ucap Ani tanpa melepas pelukannya di bahuku.
"Masalah jelas ada.. kalau mau tahu ceritanya apa, tanya aja sama Mba Yuli.. dia tahu semuanya kok.. gue cuman gak mau nyianyiain waktu gue buat cerita yang ujung-ujungnya bikin gue tambah sakit.... Mas Put.. maaf gue ngebiarin perasaan gue bertindak di waktu kerjaa.."
"Gak masalah.. pulanglah Rin.. kerjaan lu juga udah selesai kan?? Siap-siap aja buat seminggu kedepan... jangan sampai gue denger berita lu terluka selama inspeksi, dan selamat bersenang-senang di pesta temen lu..." balas Mas Putra sebelum beranjak pergi menarik Yoni menjauhi mejaku
"Nahh udah dapat izinkan.. sana pulang.. daripada bikin suasana kantor jadi galau.." usir Mba Yuli yang kuturuti.
Selesai merapihkan meja dan membawa berkas untuk inspeksi seminggu kedepan, aku berjalan keluar ruangan dengan mengabaikan hampir seluruh pertanyaan tak terucap dari teman-teman seruanganku. Ketika sudah berada didalam mobil pertahananku langsung runtuh dan tangisku pecah. Kupegang setir mobil dengan sangat erat hingga kuku jariku menancap di telapak tanganku, berusaha untuk mengurangi rasa sakit itu. Tangis yang sejak awal kutahan, kini tak bisa kutahan lagi. Dia turun dengan sangat derasnya tanpa bisa kukendalikan.
Butuh waktu lebih dari 1 jam untuk membuatnya terkendali. Setelah bisa mengendalikan tangis itu, aku mulai menyalakan mobil dan menyalakan pendingin mobil sehingga aku bisa kembali bernapas normal. Perlahan aku mengeluarkan mobil dari parkiran kantor dan melaju menuju rumah. Aku menyetir bak orang kesetanan, salip sana salip sini, klakson sana klakson sini, caci sana caci sini. Yang mampu membuatku berhenti hanya lampu merah dan kemacetan yang tidak bisa kusalip.
Sesampainya di depan komplek rumah, aku mulai mengatur napas dan adrenalin yang tidak kukendalikan tadi sehingga tidak menyebabkan keributan di dalam komplek. Aku tiba di rumah lebih cepat dari biasanya, sehingga menyebabkan kebingungan di dalam rumah. Apalagi begitu Rei melihat wajahku yang basah dan sembab, makin banyak pertanyaan yang kuabaikan sebelum mengunci diriku di dalam kamar. Aku yakin mereka dapat menebak apa yang terjadi padaku. Karena aku mengulang dengan sangat persis kejadian beberapa tahun lalu saat aku patah hati oleh Rama.
Segera aku mengambil pakaian bersih dan berlari kedalam kamar mandi. Berada di bawah shower merupakan pilihan paling tepat saat ini. Air dingin mulai menerpa tubuh berbalut pakaian lengkap yang tidak kulepas begitu masuk kamar mandi. Rasa dingin itu mampu membuatku berpikir sejenak untuk langkahku selanjutnya. Apa yang akan aku lakukan selajutnya? Apa yang harus kusampaikan pada keluargaku? Dan lain sebagainya.
Empat jam cukup membuatku sadar kalau yang kulakukan saat ini merupakan tindakan bodoh. Kuselesaikan mandi ku secepat kilat dan mengenakan pakaian kering nan hangat itu sebelum membuka kunci kamarku. Setelah membuka kunci kamar, aku memutuskan untuk mengambil hp yang sejak kejadian itu kuletakkan begitu saja didalam tasku tanpa kusentuh. Belum sempat aku menghidupkan hp yang mati itu, Rei berlari memelukku diatas kasur.
つづく
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wedding Blues (END)
Romance"apakah dia akan menjadi cinta sejati sekaligus suamiku?" adalah apa yang aku pikirkan setelah menerima lamaran dadakannya malam itu, tapi semakin ku pikirkan semakin aku menjadi takut akan pernikahan. sanggupkah aku menjalani perjalanan menuju kes...