Malam ini rasanya benar-benar asing, entah apa yang kupikirkan saat mengajak Jimin pergi ke taman malam-malam.
Aku hanya bosan, atau lebih tepatnya muak? Terkadang pikiranku benar-benar lelah karena memikirkan segala hal yang membuatku terjebak pada masalah yang tidak akan pernah selesai.
"Kau tidak akan melihat mereka berdua lagi."
Itu adalah kalimat yang Yoongi katakan padaku tadi pagi, dan sekarang Jimin kembali mengulang kalimat yang sama. Mereka benar-benar mempunyai kemiripan yang tiba-tiba muncul, aneh.
"Arayo." (Aku tahu)
"Kau sudah tahu?" Jimin mengernyit.
Aku mengangguk, kami berdua saat ini tengah duduk di bangku taman. Saat ini taman begitu sepi, mungkin karena sudah larut malam?
"Yoongi yang memberitahuku."
"Dia terlalu banyak bicara, apa ia menyakitimu?"
Aku tertawa. Entah apa yang lucu, aku hanya merasa bahwa pertanyaan yang dilontarkan Jimin begitu random.
"Aku tidak mengerti pola pikirmu, Jim."
Jimin menatap ke arah pohon yang tak jauh dari kami, ia kemudian mengulas senyumnya diam-diam.
"Apa yang lucu?"
"Kau tidak perlu mengerti pola pikirku, kau tahu? Pikiranku hanya dipenuhi olehmu."
Ia benar-benar pintar merayu, semburat merah di wajahku membuktikan bahwa aku juga tipikal gadis yang mudah dirayu, sedikit menyedihkan memang.
"Kau mau taruhan?"
"Tidak, akuㅡ"
Jimin menarik tanganku tiba-tiba, tubuhku ikut tertarik dan berakhir dengan berdiri di sampingnya yang tampak bersemangat. Sekarang apa lagi? Jimin memang tidak bisa ditebak.
"Aku akan membuktikan bahwa apa yang kubilang adalah benar adanya. Bisa kau berdiri di pohon sebelah sana?" Jimin menunjuk ke arah pohon yang tadi ia tatapi diam-diam.
"Untuk apa?" Aku bertanya dengan ragu, namun kakiku mau tak mau melangkah menuju pohon tersebut.
"Aku akan segera sampai di sana dengan mata tertutup, kau dengar aku?"
Pohonnya terletak tidak terlalu jauh dari bangku di mana kami tadi duduk, namun bila dengan mata tertutup? Rasanya mustahil. Aku kemudian melambaikan tangan sebagai balasan kalimat Jimin, ia melihatku dan kemudian tersenyum.
"Ah, satu lagi. Bila aku sampai di sana dengan cepat, kau harus memberiku sesuatu!" Jimin kembali berujar setengah berteriak.
Aku menatap pemuda tersebut dengan cemas ketika ia menutup matanya dan mulai berjalan, pikiranku benar-benar kosong saat ini.
Aku tidak bisa memikirkan hadiah apa yang harus kuberikan pada Jimin, aku hanya terus memperhatikan langkahnya hingga akhirnya ia benar-benar sampai dengan cepat tanpa kusadari.
"Kau lihat? Aku berhasil." Jimin tersenyum, aku juga mengulas senyumku saat melihat ekspresi bahagianya. Jimin menarikku ke rengkuhannya, ekspresiku berubah dalam hitungan detik. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang berpacu begitu cepat.
Sepersekon kemudian, Jimin melepaskan pelukannya. Ia menyandarkan tubuhku pada batang pohon yang berada tepat di belakangku. Kami sempat saling menatap intens beberapa detik hingga kemudian ia berbisik pelan, "aku menagih hadiahku."
Selanjutnya yang terjadi adalah Jimin mengecup lembut keningku dengan mata yang terpejam begitu erat, tanganku berada di dada bidang miliknya dengan debaran yang masih sama seperti tadi. Bedanya, kali ini jantungku ikut berdebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall Apart
Fanfiction| TELAH DITERBITKAN | Keinginan Hyesun untuk hidup normal di sekolah harus ia telan bulat-bulat saat ketiga pemuda dengan masalah mereka masing-masing mulai masuk ke dalam kehidupannya dan mengacaukan alur hidupnya. Ia benar-benar terjebak bersama...
