65ㅡNow

7.6K 1.7K 404
                                    

Sepersekon yang lalu, kupikir aku telah benar-benar mati. Namun ternyata, Tuhan masih ingin menyiksaku lebih dari ini.

Tubuhku dalam posisi menelungkup kala mataku mengerjab beberapa kali sebelum akhirnya kesadaranku kembali sepenuhnya, hanya perlu beberapa detik untuk menyadari bahwa Jimin masih berada di anak tangga atas.

"Kau tidak boleh mati sekarang, belum waktunya." Jimin berdecak.

Aku mencoba untuk mengatur napasku, aroma anyir darah, alkohol, beserta aroma pengap memenuhi rongga pernapasanku.

Sempat kukutuk dan kumaki Tuhan dalam hati karena masih membiarkanku hidup, maksudkuㅡhey, bahkan pelipis serta kedua pergelangan kakiku sudah penuh dengan darah! Mengapa tidak sekalian ambil nyawaku?

Aku tidak sanggup berdiri, kedua pergelangan kakiku benar-benar penuh goresan dan darah akibat borgol sialan ini. Kesempatanku untuk hidup mungkin hanya 1% dengan kondisi ini.

Jika aku masih hidup, maka itu keajaiban.

Aku mencoba untuk membalikkan badanku dan menyeret tubuhku dengan sekuat tenaga. Beruntung, lantai satu bangunan ini memiliki penerangan walau hanya dengan lampu yang tampak redup.

Bisa kulihat dengan samar-samar terdapat beberapa botol bekas soju yang terletak tak jauh dariku, tepat di bawah meja kayu yang tampak usang.

Aku tidak tahu dengan pasti ini tempat macam apa, namun sepertinya hanya sebuah rumah tua tak berpenghuni. Entah bagaimana cara Jimin bisa membawaku ke sini, sepertinya itu tidak penting. Yang terpenting adalah, bagaimana cara agar aku bisa melarikan diri dari Jimin.

"Oh, sepertinya kau masih hidup?" Suara Jimin mengejutkan diriku yang tengah bersusah payah menyeret tubuh ini menuju meja yang berada tak jauh dariku.

"Kenapa? Kau ingin membunuhku? Mengapa kau tidak langsung membunuhku sekarang?" Aku memekik nyaring, lantas terbatuk sembari kembali berusaha menyeret diri kembali.

Aku pasti bisa, aku bisa bertahan. Kubisikkan kalimat tersebut berkali-kali hanya agar aku merasa tenang.

Suara langkah Jimin yang melangkah menuruni tangga terdengar lebih cepat dari sebelumnya, namun aku tidak menyia-nyiakan waktuku untuk menoleh mencari sosoknya. Aku lebih memilih untuk kembali menyeret tubuh lebih cepat.

Sedikit lagi, aku sampai di dekat meja. Namun sebuah cengkraman pada bahuku membuat aku menahan napasku sebelum akhirnya Jimin mencengkram lebih kuat bahuku dan memaksa diriku untuk bangun.

Punggungku membentur dinding, ia membuatku terjebak. Tak ada ruang yang tersisa untukku melarikan diri, namun hal bagusnya adalah; ia menempatkan diriku tepat di samping meja.

"Kau pikir kau bisa kabur dariku?"

Napasku terengah, "keparat." Makian tersebut meluncur begitu saja dari mulutku, sedang pipi kiriku langsung mendapat tamparan telak dari Jimin.

Aku meringis, menunduk sembari mencoba untuk menyembunyikan wajahku yang tengah menahan sakit luar biasa. Jimin menamparku dengan begitu kuat, bahkan sudut bibirku langsung bereaksi dengan mengeluarkan darah segar.

Brengsek kau Park Jimin, bajingan.

Ia mencoba untuk menelusuri wajahku dengan jemarinya, namun buru-buru aku menepisnya kasar. "Jangan pernah menyentuhku dengan tangan kotormu, pembunuh!"

Fall Apart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang