42ㅡBlood

8.4K 1.7K 362
                                    

Napasku benar-benar tercekat tatkala aku merasakan sebuah tangan melingkari bahuku diikuti dengan punggungku yang kemudian terasa hangat.

Taehyung memelukku dari belakang.

Aku ingin menangis namun air mataku benar-benar tidak bisa keluar. Rasa takut benar-benar menguasaiku untuk saat ini. Aku tidak bisa melihat apapun selain gelap, sedangkan aku bisa merasakan napas Taehyung di ceruk leherku.

"Kau tidak bisa melarikan diri dariku. Kau tahu, kan, bahwa kau ini tidak pintar sembunyi?" Dalam hitungan detik, ia tiba-tiba membalikkan tubuhku dan mendorongnya dengan kuat.

Aku bahkan tidak sempat meringis ataupun memekik, sudah berkali-kali aku mengerjabkan mataku dan berharap bahwa mataku bisa melihat jelas sedikit saja.

Tangan yang mencengkram bahuku begitu kuat sekarang berangsur-angsur merenggang dan kemudian turun ke bawah, tangannya berhenti di kedua sisi pinggangku. Dengan satu tarikan pasti, Taehyung benar-benar membawaku ke dalam rengkuhannya.

Aku hanya bisa mendengar detak jantungku dan helaan napasnya hingga akhirnya suara tawanya yang melengking menyambar telingaku. Ia tertawa dalam posisi merengkuhku begitu erat, tanpa melontarkan satu kata pun selain tawanya yang terdengar begitu menusuk.

"Wae? Kau takut?" (Kenapa)

Aku tidak mengangguk ataupun menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan bodohnya yang baru saja ia bisikan padaku.

Aroma soju menyeruak ke indera penciumanku, sekarang aku tahu bahwa ia saat ini dalam kondisi mabuk berat, menyedihkan.

Kucoba untuk mengabaikan rasa takutku untuk saat ini, aku mencoba untuk mendorong tubuhnya menjauh dariku dan berhasil. Hening beberapa saat setelah ia benar-benar melepaskanku, aku tidak bisa melihat apapun selain gelap. Sedang helaan napas Taehyung masih terdengar walau samar.

"Taehyung." Aku coba untuk memanggilnya dan memastikan ia tetap sadar.

"Aku bertengkar hebat dengannya."

Aku mengernyit, ia tiba-tiba kembali meracau. Tanpa kuminta untuk menjelaskan apa maksud kalimatnya, ia kembali meracau dengan suara langkah yang semakin mendekat.

Aku sangat yakin bahwa ia saat ini tengah bercerita tentang Hara, namun mengapa ia malah menceritakan masalahnya padaku?

Suara dering handphone milikku tiba-tiba memecah keheningan di antara kami, aku segera membuka tasku untuk mengambil benda tersebut.

Cahaya handphone langsung menyilaukan penglihatanku, namun belum sempat aku melihat siapa yang menghubungiku, Taehyung sudah lebih dulu merebut benda tersebut dari tanganku.

Sekarang, aku bisa melihat wajahnya yang diterangi cahaya handphoneku. Wajahnya yang dingin, tanpa ekspresi dan tengah menatapku sendu. Aku membenci diriku yang tak bisa mengalihkan pandanganku ke arah lain, seakan Taehyung menghinoptisku.

Ia mengalihkan pandangannya menatap layar handphoneku dan kemudian menggeser layarnya dengan cepat ketika melihat nama Park Jimin tertera di sana.

Suara Jimin yang begitu lembut bisa kudengar dengan jelas, ia memanggil namaku berkali-kali.

Ia mempertahankan posisi handphone tersebut menyinari wajahnya tanpa berniat memposisikan handphone tersebut di telinganya, aku masih menatapnya dengan penuh teror saat ia menyunggingkan senyum miringnya dan kemudian menjawab panggilan Jimin dari sebrang sana dengan suara seraknya.

"Mati saja kau gay sialan."

Setelahnya, Taehyung menghempaskan handphoneku ke dinding dengan sekuat tenaga. Aku tidak sanggup memekik ketika mendengar benturan handphone milikku yang aku yakin sekarang sudah hancur tidak karuan.

Belum sempat aku menarik napas dan mencoba mengikhlaskan handphoneku yang hancur, Taehyung lagi-lagi membuatku terhempas pada kenyataan di mana aku masih bersamanya saat ini. Ia mendorong tubuhku dan menghimpitku tanpa memberiku jeda sedetik pun untuk meringis.

"Menjauh dariku, sialㅡ"

Ia membekap mulutku dengan tangannya, aku akhirnya menyesali tentang mengapa aku tidak melarikan diri atau memekik meminta pertolongan saja tadi.

Tenggorokanku terasa kering, aku mencoba meronta namun tubuhnya menghimpitku tanpa memberiku celah sedikit pun untuk melepaskan diri.

Kini, aku kembali merasa ditampar kala tangan Taehyung tiba-tiba menelusup masuk ke bagian bawah sweaterku dan mengusap perutku dengan tiba-tiba. Air mataku berhasil lolos membasahi tangannya yang masih membekap mulutku.

Waktu berjalan begitu lambat, aku terisak tanpa henti. Sedangkan Taehyung sebaliknya, ia tidak bisa berhenti tertawa untuk saat ini hingga akhirnya suara Jimin menyambar telinga kami berdua. Aku menghentikan isakanku seketika saat Taehyung akhirnya melepaskan tangannya dari mulutku.

"Kali ini, aku akan menghabisimu."

Aku bisa mendengar suara langkah kaki yang begitu cepat, detik selanjutnya aku bisa mendengar suara pukulan keras yang dilepaskan bersamaan dengan umpatan kasar Jimin. Aku tahu Jimin memukuli Taehyung saat ini, dan aku sama sekali tidak peduli lagi.

"Tunggu aku di depan gang." Aku mendengar suara Jimin di sela-sela perkelahian hebat mereka.

Tanpa menunggu perintah lagi, aku segera berlari keluar gang yang jaraknya beberapa meter dari sudut gang di mana Taehyung dan Jimin tengah berkelahi.

Aku memilih untuk berjongkok di dekat tong sampah. Kututup telingaku dengan kedua tanganku dengan harapan aku tidak bisa mendengar suara gaduh yang berasal dari dalam gang. Mataku terpejam erat, aku melantunkan doa-doa tanpa henti.

Beberapa menit berlalu hingga akhirnya aku merasakan usapan lembut di puncak kepalaku, segera aku membuka mataku dan mendapati Jimin yang tengah berjongkok tepat di hadapanku.

"Kau tidak mau pulang?"

Aku mengerjabkan mataku berkali-kali hingga akhirnya menyadari bahwa aku tidaklah berhalusinasi. Jimin memenangkan perkelahian, ia tidak terluka sedikit pun.

Aku berdiri diikuti dengan Jimin yang melakukan hal yang sama. Mataku terfokus pada pakaiannya yang terdapat beberapa noda darah.

"Kau membunuhnya?" Aku sontak memekik panik. Jelas saat ini aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih hingga melontarkan pertanyaan tanpa berpikir terlebih dahulu.

"Ia masih hidup, kau mau melihatnya?"

Aku menggeleng. Jawabannya yang mengatakan bahwa Taehyung masih hidup sudah cukup bagiku, aku tidak ingin kembali masuk ke dalam gang sialan tersebut dan kembali terhempas pada ingatan di mana Taehyung hampir memperkosaku.

Aku mencoba menatapi Jimin dari atas hingga bawah, ia tampak baik-baik saja. Tangan atau wajahnya tidak terluka sedikit pun, ini melegakan. Hanya wajahnya yang tampak lelah dengan keringat di pelipisnya.

Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya menghambur ke pelukan Jimin dan memeluknya begitu erat.

Ia menyelamatkanku lagi.

Kuulas senyumku saat merasakan tangannya mengusapi punggungku untuk menenangkanku, aku tidak pernah terpikir untuk melepaskan pelukan ini jika Jimin tidak mengingatkanku untuk pulang.

"Baiklah, mari kita pulang dan membersihkan pakaianmu, Jim." []

Fall Apart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang