39ㅡHappy Ending

9.5K 1.9K 408
                                    

"Mengapa tidak menungguku?" Jimin mendengus kasar, ia menatapku dengan wajah yang tampak menahan amarah.

Aku tidak tahu mengapa ia semarah ini ketika aku hanya melakukan hal sepele. Maksudku, aku hanya berangkat lebih dulu, bertemu dengan Hara dan kemudian berakhir menyedihkan di atap sekolah.

Aku tidak menjawab pertanyaan Jimin, sekarang sudah hampir jam delapan malam. Setelah tadi pagi aku berakhir menyedihkan sendirian di atap sekolah, aku memutuskan untuk pulang tanpa memberitahu siapa pun.

Aku mematikan handphoneku, sedang Jimin akhirnya benar-benar datang ke tempat tinggalku beberapa saat yang lalu saat aku masih mencoba untuk berhenti menangisi Taehyung.

"Berhenti menangis."

Aku merasakan tangan Jimin yang terulur mengusapi kedua pipiku, aku yakin wajahku terlihat begitu jelek saat ini. Aku menangis seharian tanpa mengganti seragam sekolahku. Setidaknya aku merasa sedikit baikan setelah mengeluarkan air mata.

Kuraih tangan Jimin lalu menjauhkannya dari wajahku, kucoba untuk tersenyum lalu berkata, "aku baik-baik saja."

Jimin tampak tertegun sejenak, ia menundukkan kepalanya menatapi lantai. Ia menghela napas untuk ke sekian kalinya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dan menatap mataku dalam-dalam.

"Apa semenyakitkan itu?"

"Jim, akuㅡ"

"Aku bertanya padamu! Apakah rasanya semenyakitkan itu?"

Aku menggigit bibir bagian bawahku, mati-matian aku mencoba agar tidak menangis lagi, namun pertanyaan Jimin membuatku merasa bahwa aku benar-benar amat menyedihkan sekarang.

"Tidak apa jika ingin menangis, aku ada di sini." Jimin menatapku sendu, ia meraih bahuku dan menariknya sehingga kepalaku bersandar tepat di bahunya.

Detik selanjutnya, aku benar-benar kembali terisak. Suara Jimin yang mencoba menenangkanku terasa bergema di telingaku, suara tersebut benar-benar menenangkanku.
Namun, aku tidak benar-benar berhenti menangis.

Lima menit berlalu, Jimin mengusapi punggungku tanpa berhenti. Aku berhenti terisak ketika ia mengusapi pipiku dan mulai mendekatkan wajahnya padaku, aku tidak tahu ini ide yang bagus atau bukan.

Tepat ketika ia berhasil meraih bibirku dan melumatnya dengan lembut, tangisanku benar-benar berhenti. Rasanya seperti sihir, aku terbuai dengan perlakuan hangat Jimin, mulai membalas lumatannya dengan jantung yang berdegup kencang.

Aku membuka mataku saat Jimin melepaskan pagutan kami secara perlahan, iris mataku mendapati rambut oranye miliknya yang selaras dengan mata cokelatnya yang tengah menatapku sendu. Ia mengusapi rambutku dengan lembut, lalu kemudian detik selanjutnya ia kembali mendekatkan wajahnya.

Kupikir kali ini ia akan mendaratkan satu kecupan terakhir. Namun ternyata tidak, ia mendekatkan bibirnya pada telingaku dan berbisik dengan begitu intens, "tenanglah, ia akan segera mendapat balasannya besok."

Kalimat yang ia bisikkan padaku membuat dahiku mengernyit, aku sama sekali tidak mengerti apa makna kalimatnya. Namun Jimin mengabaikan ekspresi bingungku, ia kembali mengusapi rambutku.

"Tidurlah, kau perlu beristirahat."

---

Aku mengernyit heran tatkala aku dan Jimin melewati koridor, kami hari ini sedikit terlambat datang dari biasanya. Jimin bilang ada sesuatu yang harus dia urus lebih dulu dan aku sama sekali tidak keberatan karena kepalaku sedikit terasa pusing akibat menangis tanpa henti kemarin.

"Apa yang terjadi?" Aku berbisik pada Jimin ketika melihat koridor hampir penuh oleh para murid yang melihat ke handphone masing-masing, mereka saling berbisik satu sama lain. Aku merasa ada sesuatu terjadi.

Fall Apart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang