33ㅡLost

10.6K 2K 103
                                    

Sebenarnya aku masih tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Taehyung dan Jimin, mengapa mereka bisa saling membenci satu sama lain dan bahkan saling menjatuhkan.

Berapa kali aku memikirkan alasan tentang hal itu, tetap saja aku tidak menemukan alasan yang tepat.

Aku dan Jimin masuk ke dalam kelas, namun aku melepaskan genggaman tangannya dan meminta ia tidak mengajakku berbicara saat di kelas. Aku tidak ingin dikecam para gadis yang menggilainya dan ia setuju. Ia bilang ia butuh udara segar, jadi ia pergi meninggalkan kelas.

Aku menatap ke samping kananku dan mendapati Hara yang menunduk menatapi layar handphone yang berada di genggaman tangannya.

"Hara?" Aku memanggilnya berapa kali namun ia sepertinya tidak mendengarkanku sehingga tanganku terulur untuk menyadarkannya, namun aku mengurungkan niatku saat melihat Yoongi yang menghampiriku.

"Maaf terlambat mengembalikan barangmu."  Ia menyodorkan tasku, aku berdiri dan menerimanya dengan canggung sembari menunduk dan mengucapkan terima kasih lalu kemudian mendongak untuk menatap wajahnya, ada dua plester di wajahnya, aku penasaran namun aku tidak pernah benar-benar melontarkan pertanyaan untuk hal satu itu.

Aku tahu dengan pasti bahwa lebam yang sudah tiga hari tidak pudar itu pasti sangat menyakitkan, terlebih tentang siapa yang membuat hal tersebut.

"Yoongi, Ibumuㅡ"

"Maaf, aku harus ikut rapat. Kita mengobrol nanti saja, ya?" Yoongi tersenyum manis, aku mengangguk. Ia tidak benar-benar ada rapat, ia hanya menghindari topik pembicaraan yang kuambil.

Aku ini sungguh tidak mengerti perasaannya, mungkin aku sudah dicap sebagai gadis yang buruk di mata kedua orang tuanya. Bagaimana bisa aku meninggalkan rumahnya dengan tidak sopan?

Aku kembali terduduk di kursiku dan menghela napas berat, atensiku kembali beralih pada Hara yang masih berada di posisi yang sama dan tengah melihat ke arah handphonenya di pangkuannya.

Kali ini tubuhnya gemetaran, sangat jelas. Ia tampak ketakutan. Apa sebenarnya yang salah? Aku benar-benar khawatir sejak kejadian malam di mana ia menangis terisak seolah ia benar-benar mengalami hal yang buruk.

Aku menaruh tasku di atas meja dan kemudian berdiri menghampiri Hara, aku mengulurkan tanganku untuk memegang bahunya namun aku lagi-lagi mengurungkan niatku dan mencoba melihat apa yang ada di layar handphonenya hingga ia gemetaran begitu hebat. Usai berada tepat di belakangnya, kucoba untuk menyipitkan mataku untuk melihat dengan jelas apa yang ada di layarnya.

Setelah beberapa saat kemudian, aku akhirnya bisa melihat layar handphonenya menampilkan sebuah percakapan, di sana tampak bahwa Hara dikirimi banyak foto oleh orang tersebut. Tidak ada kalimat apapun yang dikirimkan, hanya foto.

Aku mengernyit heran saat melihat lagi dengan seksama dan memastikan bahwa foto-foto tersebut adalah foto seorang gadis yang tengah ber-cosplay.

Aku tidak bisa melihat wajah gadis tersebut dengan jelas karena fotonya tidak Hara buka, jadi aku mengalihkan fokusku untuk melihat siapa yang mengirimkan gambar tersebut namun ternyata yang kulihat hanya sebuah nomor handphone tanpa nama, kalau begitu bisa dipastikan bahwa yang mengirimkan foto ini bukanlah temannya. Lantas siapa?

"Itu siapa?" tanyaku yang sontak membuat Hara terkejut, ia buru-buru mematikan layar handphonenya dan langsung memasukkan handphonenya di saku seragamnya.

"Kenalanku."

Aku bisa merasakan ia gugup, aku tahu ada sesuatu yang salah di sini. Namun bertanya dan menunjukkan sikap ingin tahu berlebih hanya membuat ia tidak nyaman, aku tidak ingin menganggu privasinya. Jadi aku memilih untuk menepuk bahunya seolah menyemangatinya apapun yang ia khawatirkan.

"Kau bisa cerita padaku bila ada masalah, mengerti?"

Ia mengangguk dan menunjukkan senyumnya yang aku yakini terpaksa. Aku hanya merasa bahwa Hara berubah terlalu banyak dalam satu malam, aku tidak mengerti apa yang terjadi padanya tapi aku harap ia bisa mengatasinya dengan baik.

---

"Apa kau benar-benar ingin pulang?" tanya Jimin padaku yang tengah berkemas. Aku menoleh ke belakang, menatapnya sekilas sembari menghela napas lalu kembali berkutat pada tasku.

"Ya, aku sudah terlalu lama di sini, Jim. Aku khawatir Ibu dan Hyejin mencariku."

Jimin tidak mengatakan apapun lagi, aku bisa dengar helaan napas darinya dan kemudian ia sudah berada di sampingku dan membawa tasku. Aku tersenyum tipis, setelah memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal aku akhirnya menyusul Jimin.

Sepanjang perjalanan, Jimin dan aku memilih untuk diam. Aku membuka kaca jendela dan membukanya lebar-lebar, Jimin sepertinya tidak keberatan dengan hal satu ini.

Angin langsung berembus menerpa wajahku dan hal kecil seperti ini sukses membuat aku tertawa lepas. Aku merasa senang.

"Apa itu sangat menyenangkan?" tanya Jimin yang menoleh sekilas melihatku dan ikut terkekeh.

Aku mengangguk, "cobalah, ini menyenangkan."

Ia mengernyitkan dahinya, lalu ia benar-benar membuka kaca mobilnya dan membiarkan angin menerpa rambut oranye miliknya. Ia tersenyum dan mengeluarkan tangannya, membiarkan tangannya membelah angin. Jimin terkekeh hingga matanya menyipit dan aku bersumpah bahwa ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.

"Menyenangkan, bukan?" tanyaku bersemangat ingin mendengar pendapatnya. Ia mengangguk sebagai jawaban, lalu menutup kembali kaca mobilnya.

"Ini menyenangkan karena aku tidak melakukannya sendirian, kau di sini bersamaku."

Aku bersemu merah, ia pintar mengeluarkan kata-kata manis sehingga aku merasa bahwa ia benar-benar jauh lebih baik dibanding seorang Kim Taehyung.

Lalu tak lama kemudian kami sampai di lorong rumahku, namun aku merasa firasat tidak enak saat melihat mobil pick up berwarna cokelat tua yang berada tepat di depan rumahku. Apa yang terjadi di sini?

Mataku menyipit dan melihat beberapa lelaki dengan kardus-kardus besar keluar dari rumahku. Jimin tampak sama terkejutnya denganku, ia segera memarkirkan mobilnya.

Aku membuka pintu mobil dan berlari menuju rumahku dengan tergesa-gesa. Ternyata benar, para lelaki ini tengah mengangkuti seluruh isi rumah. Aku panik dan menghampiri salah satu lelaki tersebut.

"Apa yang kalian lakukan di rumahku?" tanyaku panik. Lelaki itu tampak mengernyit aneh melihatku, ia menghela napas berat sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.

"Kami hanya melakukan apa yang diperintah oleh pemilik rumah."

"ApㅡApa maksudnya?"

"Pemilik rumah yang lama sudah menjual rumah ini, sedangkan pemilik yang baru meminta kami untuk mengganti seluruh perabotan rumah dengan yang baru."

Saat itu juga aku merasakan kakiku lemas dan tubuhku kehilangan keseimbangan, beruntung Jimin dengan sigap langsung menangkap tubuhku sehingga aku tidak berakhir menyedihkan di lantai.

Mataku memanas ketika mengingat kembali saat di mana aku menemukan memo yang menuliskan bahwa Ibu dan Hyejin tidak akan pulang selama beberapa hari. Ya, mereka ternyata benar-benar tidak pulang. Betapa bodohnya aku yang telat menyadari hal ini.

Aku tidak menyangka bahwa Ibu benar-benar membuangku dan memilih untuk menikmati hidupnya bersama Hyejin dan barangkali pacarnya.

Aku benar-benar tidak mempunyai siapa pun lagi sekarang, aku benar-benar sebatang kara.

Aku bisa merasakan mataku berkaca-kaca, lalu kemudian aku beralih untuk memeluk Jimin erat dan menumpahkan tangisanku padanya.

"Jim, apa yang harus kulakukan sekarang?" []

Fall Apart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang