43ㅡSmile

9.2K 2K 431
                                    

"Mengapa tidak mencoba melepaskan kepanganmu?" Jimin bertanya padaku yang tengah sibuk menyisir rambutku.

Aku menggeleng sebagai jawaban. "Sedikit menyedihkan memang, tapi aku lebih menyukai kepangan dan kacamataku."

Aku mengepang rambutku dengan bantuan cermin. Jimin tadi malam menginap di flat milikku, aku tidak keberatan karena ia memilih untuk tidur di bawah dibanding tidur seranjang denganku. Aku percaya pada Jimin sepenuhnya, apa yang terjadi tadi malam membuatku makin yakin dengan pilihanku.

Aku sedikit terkejut saat melihat pantulan Jimin yang tiba-tiba muncul di belakangku, ia mengambil kepangan rambutku yang belum selesai dan mengepangnya dengan raut wajah yang serius. Menggemaskan.

"Ada apa dengan ekspresimu?"

Jimin tidak menjawab pertanyaanku, ia lebih memilih untuk fokus pada kepangan rambutku. Ekspresinya begitu serius sehingga aku akhirnya mengurungkan niatku untuk kembali menggodanya. Usai selesai dengan kepanganku, ia mengulas senyum kemenangannya tanpa ragu.

"Ketika aku tengah terfokus pada sesuatu, aku benar-benar harus fokus. Bila aku mengalihkan perhatianku sedikit saja, aku akan kalah."

"Sayangnya tidak ada lomba mengepang rambut, Jim." Aku tertawa lepas, kuraih tasku dan kemudian terdiam sejenak. Aku teringat akan handphoneku yang sudah entah bagaimana keadaannya.

"Wae?"

Aku menggeleng pelan. "Ayo berangkat."

Jimin mengikutiku dari belakang saat aku membuka pintu. Sedangkan aku mengunci pintuku, Jimin masih berdiri di belakangku.

"Apa susu ini memang disediakan?"

Aku sontak menoleh ke arah Jimin yang tengah merunduk untuk mengambil sebotol susu yang tergeletak begitu saja di samping pintu. Kutata ekspresiku sebaik mungkin saat mengatakan bahwa susu tersebut dikirim oleh seseorang setidaknya dua hingga tiga kali seminggu.

Jimin mengangguk sembari berjalan di sampingku, ia tiba-tiba menghentikan langkahnya saat akhirnya menemukan sticky note yang tertempel rapi di botol susu tersebut.

Jimin mengernyit heran, aku kemudian meraih sticky note tersebut dari Jimin dan membuangnya langsung ke kotak sampah.

Tulisannya masih sama, hanya dua kata. 'Jauhi dia', dan aku masih tidak mengetahui siapa pengirim susu beserta sticky note yang selalu tertempel rapi itu. Aku membuangnya karena aku tidak ingin Jimin berpikiran yang tidak-tidak, ia pasti akan sangat khawatir.

"Kau yakin susu ini susu biasa?"

"A-Ah, ya. Tentu saja." Aku mencoba menghilangkan kegugupanku dengan menggigit bibirku sendiri, Jimin akhirnya mengangguk dengan raut wajah bingung.

"Apa kau yakin? Mengapa aku merasa bahwa tulisan ini tidak asing?"

"Bukankah kita akan ke apartemenmu dulu? Kau bahkan tidak memakai seragam. Kurasa kita akan sedikit terlambat datang ke sekolah, Jim." Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan dan berhasil.

Jimin menepuk dahinya ketika aku mengingatkannya untuk mengambil seragam, ia buru-buru berlari kecil ke arah mobil sembari menyuruhku untuk cepat melangkah.

Ah, this boy.

---

Jimin dan aku tiba di sekolah tepat waktu, kami hampir saja terlambat bila aku tidak menyuruh Jimin untuk cepat-cepat. Aku meminta Jimin untuk masuk ke dalam duluan.

Namun ketika aku terfokus menatapi sepatuku, Jimin tiba-tiba berhenti melangkah, hal tersebut sukses membuat aku menabrak punggungnya.

"Ada apa? Mengapa berhenti?" Aku melangkah maju dan melihat kerumunan para siswa yang tampak begitu heboh. Jimin dan aku sempat saling memandang sejenak hingga akhirnya kami memutuskan melangkah menghampiri kerumunan tersebut dan melihat apa yang sebenarnya mereka kerubungi.

Beberapa siswi tampak menutup mulutnya sedangkan yang lain tampak saling berbisik, ada beberapa guru yang tampak berlarian menuju kerumunan yang sama. Aku benar-benar penasaran tentang apa yang terjadi.

Ketika aku berhasil menerobos kerumunan tersebut dengan Jimin yang menuntun jalanku, aku akhirnya bisa melihat apa yang sebenarnya ada di sini.

Aku masih mengingat dengan jelas apa yang kulihat di sana. Darah, tangisan, bisikan, cemohan, cacian, sindiran, tubuh yang tergeletak kaku di tanah. Dan terakhir, aku bisa melihat wajah Hara yang tampak mengerikan dipenuhi cipratan darah.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Jimin yang berada di hadapanku tiba-tiba menarikku ke dalam rengkuhannya, ia membalikkan tubuhku menghadap ke belakang dan menutup kedua telingaku.

Aku benar-benar tidak bisa mempercayai apa yang kulihat beberapa saat yang lalu, semuanya tampak tidak nyata.

Jimin berusaha agar aku tidak mendengar beberapa bisikan siswi yang mendebatkan soal kematian seorang Hara yang tengah hamil, ia menyeretku menjauh dari kerumunan.

Pandanganku benar-benar kosong, aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku bisa mendengarkan mereka yang memperdebatkan alasan Hara bunuh diri sekaligus membunuh janin dalam tubuhnya yang baru memasuki bulan ketiga.

Aku benar-benar tidak tahan lagi.

Tubuhku meronta dan berhasil melepaskan diri dari rengkuhan Jimin, aku bisa mendengar Jimin meneriakkan namaku berkali-kali, namun aku tidak peduli. Aku menerobos kembali kerumunan tersebut dan melihat kenyataan yang tidak akan pernah berubah.

Hara masih berada di sana. Tergeletak kaku di tanah dengan dilumuri cairan pekat yang sudah hampir mengering. Aku tidak bisa mempercayai ini semua, Hara benar-benar melakukan bunuh diri.

Kakiku lemas, aku terduduk di tempat dan akhirnya air mataku tidak bisa kubendung lagi. Tangisanku pecah, aku memekik histeris tanpa memperdulikan orang-orang di sekitarku. Mataku tidak bisa lepas dari mayat Hara, walaupun orang-orang menatapku kasihan, aku benar-benar tidak peduli.

Aku tidak pernah sekali pun membenci Hara, aku hanya membenci diriku sendiri karena Taehyung yang meninggalkanku begitu saja dan memilih Haraㅡsahabatku sendiri. Terakhir kali aku mengobrol dengannya di atas atap dan aku sama sekali tidak tahu bahwa Hara akan berakhir menyedihkan seperti ini.

Isakanku makin keras saat aku mendengar suara sirine polisi dan ambulans. Kulangkahkan kakiku menuju mayat Hara yang tergeletak begitu saja, aku tidak sanggup. Aku benar-benar gadis terjahat di sini, memusuhi sahabatnya sendiri karena orang yang ia cintai menyukai sahabatnya sendiri.

Aku masih menangis histeris saat meraih tubuh Hara, mencoba memastikan bahwa ia masih hidup. Benar-benar perbuatan yang sia-sia namun masih tetap kulakukan, aku menaruh kepalanya di pangkuanku. Tak kupedulikan apakah rokku kotor atau tidak, aku hanya ingin Hara kembali.

Tidak apa bila Taehyung menyukaimu, tidak apa jika kelak kalian berdua menikah. Namun kumohon, hiduplah kembali.

Aku akan mengikutimu ke club ribuan kali walau aku tidak suka. Bila kau ingin meminjam uangku untuk ongkos naik Bus, aku akan meminjamkan berapa pun yang kau mau.

Tolong kembalilah, Hara.

Jimin menjauhkan tubuhku dari Hara, aku meronta dan memukulinya. Aku terlihat menyedihkan, bukan? Aku melampiaskan kemarahanku pada Jimin.

Ia sama sekali tidak membalas pukulanku dan malah memelukku erat hingga aku berangsur-angsur menghentikan perbuatan sia-siaku dan memilih menangis di pelukan Jimin.

Aku mencoba menahan emosiku saat melihat mayat Hara dibawa ke dalam mobil ambulans. Tak jauh dari tempatku berdiri, aku bisa melihat Yoongi yang menatapku kasihan. Lalu pandangan kami berdua sama-sama teralihkan pada satu orang yang sama.

Taehyung.

Pemuda dengan wajah penuh lebam dan ekspresi datarnya tampak berada di antara para polisi, ia sempat menatapku sebelum akhirnya masuk ke dalam salah satu mobil polisi tersebut.

Satu hal yang aku telat menyadari kala itu, aku mengabaikan fakta di mana ia sempat melempar senyumnya, lengkap dengan borgol yang terpasang di kedua tangannya. []

Fall Apart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang