38 : CHARLOTTA & KARRY

403 46 8
                                    

CROWN GARDEN, KARRY'S BEDROOM
CHARLOTTA DAN KARRY

Charlotta berderap di lorong panjang temaram itu. Setelah bincang-bincang sedikit dengan Nic, kakak tiri Karry yang tadi ditemui, ia mendapat kabar kalau ternyata Karry sedang tidak enak badan. Dari pagi tadi, cowok itu tidak keluar kamar. Nic mengetahuinya ketika adiknya itu keluar kamar dengan piyama tidur berwajah lesu.

Nic sedikit terkejut karena mendapati dirinya belum berangkat sekolah, tapi sedetik ia langsung tahu kalau Karry tidak enak badan. Cowok itu mengelap ujung hidungnya dengan tisu setelah bersin. Nic menebak, sepertinya karena kemarin ia habis mengajarkan Charlotta hingga larut. Cuaca dingin, sangat tidak komporomi dengan Karry, maka dia dengan mudah terkena flu.

"Dasar bayi," celetuk Charlotta. Tapi mau bagaimana lagi, semua ini gara-gara dirinya.

Sebenarnya, belajar matematika ini kan pemaksaan. Suruh siapa Karry memaksakan diri? Charlotta hanya bisa menghela napas sebelum mengetuk pintu yang bergeming.

"Karry?" teriak Charlotta.

Tidak ada suara.

Apa Karry sedang tidur?

Charlotta mencoba membuka panelnya pelan-pelan. Dari balik pintu, ia mengintip pelan ketika terbuka celah sedikit.

Bukannya mencari keberadaan Karry, ia malah bertakjub ria dengan kamar cowok yang megah itu. Lebih besar, tinggi dan bersih mengilap dibanding miliknya. Keramik yang dipoles mengilap, ukiran-ukiran emas yang malang-melintang di pilar-pilar seakan-akan menenggelamkan New York dalam kamar ini. Semua yang ada di dalamnya berlapis emas dan terlihat klasik. Charlotta menelan ludah, segera fokus mencari Karry. Ia mencoba melangkah masuk, sembari menutup pintu dengan sangat pelan. Takut-takut membangunkan si bayi.

"Karry?" panggil Charlotta lagi, tapi berupa bisikkan.

"Ada di mana sih, dia?" gumamnya ketika memandang berkeliling dan menemukan ranjang dengan empat tiang itu kosong tak berpenghuni. Hanya ada seprai kusut dan selimut yang tersampir di ujung ranjang. Charlotta semakin masuk ke dalam, ke bagian ruang santai dengan sofa panjang dan besar di tengah ruangan.

Mata Charlotta langsung bersirobok dengan beberapa kertas di atas meja kopi itu, lalu menemukan Karry yang sedang tertidur---atau hanya memejamkan mata, berbaring di atas sofa. Kepalanya disanggah bantal besar di lengan kursi, cowok itu tampak pucat dan lemas.

"Karry!" seru Charlotta mengguncang tubuh cowok itu.

Sinar matahari yang menyusup lewat tirai yang membelah ruangan langsung menyiram wajah cowok itu. Karry membuka matanya berkali-kali. Ia menyipit, kemudian mengerang hendak berbalik membelakangi ketika melihat wajah Charlotta di depannya.

"Sedang apa kau di sini---"

Charlotta mencegah punggung Karry yang hendak menghiraunya. "Kau sakit apa?"

Karry menepis genggaman Charlotta sambil berdecih malas. "Aku tidak sakit. Hanya butuh tidur." Berhasil, cowok itu membalikkan badan dan memberi punggung pada Charlotta.

Tangan Charlotta terulur hingga menyentuh dahi Karry di balik sana, lalu tersontak kaget ketika merasakan panas.

"Astaga, kau demam."

Karry hanya mengerang, suaranya serak dan teredam bantal.

"Pergi sana. Jangan pedulikan aku."

Charlotta mengomel, "aku ini pacarmu. Merawat pacarku yang sakit adalah kewajibanku."

"Omong kosong. Lakukan jika ada Cindy."

Charlotta memukul punggung Karry yang berjengit. "Aku tidak peduli. Aku akan mengambil kompres dan mengompresmu! Dasar bayi, susah sekali diajak kompromi."

Karry berbalik dengan mata tetap menyipit. Sekitar dahinya berkerut, menahan pusing. "Hei, aku ini orang sakit! Jangan memarahiku!" katanya setelah melihat Charlotta bangkit keluar ruangan.

***

Charlotta memaksa Karry yang terus meronta untuk dikompres. Ia tidak mengerti lagi kenapa seorang yang sakit tidak mau diajak sembuh. Setelah mencopot rompi sekolah dan dasinya, ia lebih leluasa bergerak dan menarik-narik lengan cowok yang terus ingin berbalik itu. Dua pengawal, Susan dan Fiona hanya menatap prihatin dari ujung ruangan. Beberapa obat dan semangkuk bubur sudah disiapkan, tapi permulaan untuk mengompres saja susah sekali.

"Karry! Kalau sekali lagi kau bergerak, aku akan menciummu!" ancam Charlotta sambil sebelah tangannya mengacungkan kain hangat.

Yang diajak bicara seketika membuka mata dan menghela napas keras, "coba saja kalau berani."

Charlotta memukul perut cowok itu hingga terlonjak. "Cepatlah! Sini berbaliiikkk!" Ia menarik tangan Karry sekuat tenaga hingga akhirnya cowok itu mengalah.

"Ya tuhan! Kau memang benar-benar bayi," gerutunya sambil membasahi kain itu, lalu meletakkan ke dahi Karry. Ia menyingkirkan rambut yang menutupi keningnya, lalu dengan cekatan mengompresnya.

Karry masih terpejam. "Kau berlebihan. Demamku bisa turun tanpa dikompres."

"Jangan cerewet. Aku sedang membantumu."

Ia meraih mangkuk bubur di atas meja penuh kertas itu. Tanpa sengaja, sebelah sikutnya menjatuhkan selembar kertas. Ia sedikit terpengarah ketika memungutnya kembali karena isi kertas itu tentang badan intelejen amerika yang bertuliskan RAHASIA.

"Apa yang akan kau lakukan dengan Badan Intelejen Amerika?" tanyanya dengan alis mengerut.

Karry membuka mata seketika, lalu melihat tumpukan kertas yang berantakan di atas meja.

"Bukan apa-apa," ujarnya kembali terpejam.

Walau masih penasaran dan yakin seratus persen Karry sedang menyembunyikan sesuatu darinya, Charlotta memilih untuk menyimpan pertanyaan berikutnya nanti saja. Ia kembali menyendoki bubur lalu memaksa Karry untuk membuka mulutnya.

"Buka mulutmu, Karry!" seruan kedua setelah cowok itu mencoba menepis gerakan sendok Charlotta di udara.

"Kau ini apa-apaan! Aku bukan anak kecil lagi!" protes Karry. Charlotta langsung menyodorkan mangkuk bubur itu ke hadapan wajahnya. "Kalau begitu, makan sekarang!"

Karry menghela napas keras, lalu membanting kepalanya sendiri ke atas bantal sebelum benar-benar menyentuh mangkuk itu. Charlotta tersenyum, dia menang.

"Baiklah. Aku akan mengutus Susan dan Fiona untuk memastikan kalau mangkuk itu kosong setelah aku kembali." Ia melihat arlojinya, "aku harus menghadiri kelas tradisiMu sebelum Nona Fang mengomeliku."

Mata Karry tetap terpejam, sama sekali tidak meladeni celotehannya. Malah terkesan tidak peduli. Charlotta tahu, cara penyembuhan orang itu berbeda-beda. Tapi, yang dibutuhkan saat orang sakit bukan obat, alat pengompres atau termometer. Mereka hanya butuh perhatian. Dan Charlotta ingin ia mengisi itu untuk Karry yang kesepian.

"Cepat sembuh ya, Karry," ungkapnya pelan. Entah cowok itu mendengar atau tidak, tapi setidaknya baru kali ini ia merasa lega setelah melakukan hal yang paling benar di hidupnya.

***

Acieee siapa yang mau rawat abang Karry? Lagi sakit doi. Duh, aku iri ama CS. Hiaha.

Semoga part ini menghibur ya. Terima kasih sudah mampir^^

The Prince's Girlfriend (Re-Work)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang