59 : KARRY DAN CHARLOTTA

375 36 6
                                    

CROWN GARDEN
KARRY DAN CHARLOTTA

"Charlotta, apakah kau akan sengsara jika bersamaku?"

Perkataan ibunya beberapa jam yang lalu terus-terusan terngiang dalam kepalanya. Ia tidak bertanya lebih jauh kenapa ibunya bisa berkata demikian, tapi ia tahu kalau ada makna lain di balik ucapannya. Apakah itu yang dimaksud kebebasan? Apakah kebahagiaan Mom di renggut oleh keluarga ini? Apakah.. kerabat memandangnya rendah seperti Cindy? Apakah...

Tiba-tiba Karry merasa kacau. Tanpa sadar, sebuah penghapus menghantam hidungnya. Ia terkejut, langsung beralih ke arah Charlotta yang memanggilnya dari meja kopi sebrang sofa.

"Kau dengar aku tidak?" kata gadis itu dari sebrang ruangan. Karry melirik penghapus karet itu. Sedikit merasa hebat dengan kekuatan Charlotta bisa melempar penghapusnya melewati satu sofa panjang yang menyamping. Karry sedang tiduran di sofa sementara gadis itu sedang melanjutkan pelajaran matematikanya di samping sofa ruang baca.

"Apa?"

Karry melihat Charlotta yang mengernyit keras. "Ah! Lupakan saja!"

Tiba-tiba Karry merasa tolol. Baru kali ini ia setuli itu. Tapi ia tidak bohong jika penasaran dengan jawaban yang sesungguhnya.

"Charlotta, tolong katakan sekali lagi," ujarnya pelan dan lembut. Berharap begitu, gadis itu bisa luluh.

Tapi Charlotta malah menyahut. "Akan kuberitahu kalau kau membantuku mengerjakan algoritma sialan ini," katanya tanpa menoleh.

Diberi jawaban begitu, Karry mendengus sebal, lalu kembali rebahan di sofa berlengan panjang itu tanpa berniat mencari tahu lagi.

"Karry?" Suara Charlotta memecah hening.

Tak menyahut, beberapa detik, gadis itu memanggil lagi.

"Karry!" teriaknya lebih keras. Karry berdecak kesal bangkit duduk.

"Apa?!"

Ia melihat Charlotta menolehkan kepalanya dengan tatapan kilat.

"Ajari aku logaritma!"

"Tidak mau!"

Wajah Charlotta berubah melas. "Kenapa?"

"Aku capek. Lebih baik tunggu sampai kau yang mengatakannya sendiri," jawabnya dingin. Mengabaikan bantal yang melayang di udara hingga mengenai kepalanya.

"Aduh!" Karry tersentak, lalu berdiri kesal menatap Charlotta yang menjulurkan lidah.

Astaga. Dia ini..

"Kau ini sedang dendam padaku atau sedang memohon padaku, sih?" Karry makin tak sabaran. Ia berderap ke ruangan sebelah lalu dengan sekali gerak, ia menaruh bantal yang dilempar tadi ke atas kepala Charlotta, menahannya dengan sebelah tangan.

"Mana soalnya?" Suara tinggi Karry menghilang, nada bicaranya melembut. Tapi tangannya tak beralih dari menahan kepala gadis itu untuk berhenti bergerak.

"Hey! Hey! Lepaskan tanganmu! Aduh!" Kepala Charlotta berusaha menoleh dan bergerak. Tapi dengan cekatan Karry segera menunduk dan menaruh wajahnya tepat di sebelah telinga Charlotta.

"Jangan menoleh. Kalau kau menoleh, kita berciuman."

Gerakan Charlotta tiba-tiba terhenti mendadak. Terlihat ketegangan yang mengalir di tubuh gadis itu. Karry menyunggingkan senyum tipis lalu beranjak dari sana sambil bergumam, “skakmat."

"Sialan! Beraninya kau!"

Baru saja Charlotta ingin melemparnya dengan buku, Karry mengangkat satu jarinya, berusaha mengancam.

"Eit, soalmu..."

Charlotta mendengus sebal lalu menyerahkan selembar kertas soal kepadanya. Entah kenapa, reaksi Charlotta membuat perasaannya hangat. Ia ingin melihat ekspresi itu. Ia ingin membuat Charlotta melupakan hari-hari di mana seharusnya kerajaan mengitari. Ia ingin menjadi normal yang penuh dengan kebebasan seperti Charlotta.

Ia ingin Charlotta terus ada di sampingnya.

"Jadi, bagaimana dengan yang ini?" tanya Charlotta tak sabar. Gadis itu mengesot ke samping tempat duduk lesehannya.

"Cermati caraku mengerjakannya," kata Karry mengambil pulpen, hendak menuliskan jawabannya. Tapi Charlotta buru-buru mencegah gerakannya.

"Tunggu! Bagaimana bisa aku mengerti hanya dengan melihat? Kau harus membimbingku!"

Karry menoleh dengan tatapan dalam penuh arti. "Charlotta, matematika tidak memintamu mengerti. Mereka hanya memintamu untuk memahami. Ibarat perasaan, kau harus belajar memahami itu pelan-pelan baru bisa menemukan jawabannya. Bukan begitu?"

***

Charlotta masih tak habis pikir kenapa Karry yang super dingin itu bisa memiliki kata-kata selembut itu. Ia mengibaskan wajahnya, berusaha kembali fokus pada penjelasan pemuda itu.

"Karry, sebenarnya aku ingin bertanya satu hal..."

Kata-katanya menghentikan alur gerak tangan pemuda itu. Karry mengangkat wajah, memandangnya lurus.

"Apa?"

Tiba-tiba ia dilanda gugup lagi. Tapi rasa penasaran memenangi perasaan itu. Lalu dengan berani ia bertanya, "apakah kau merasa terganggu dengan pernyataanku kemarin malam?"

"Astaga, kau masih memikirkan itu."

Dua detik kemudian ia menyesal mengatakan itu. Tapi pura-pura tak tahu malu, ia kembali bersuara hendak membela diri. "Aku tidak memiliki strategi lain selain itu! Demi orangtuaku, aku.. aku.. akan mengalahkan Cindy! Aku tidak mau kau kembali menyukainya lagi! Kau tidak boleh menyukainya! Aku tahu kau pernah menyukainya, terlebih dia adalah cinta pertamamu. Karena kata orang, cinta pertama itu adalah istimewa, aku jadi takut kau berubah pikiran.." suara Charlotta tersendat dalam ruang kegugupannya lagi. Ia menunduk, tak berani melihat reaksi pemuda yang bergeming di depannya itu.

"Apa kau ingin membatalkan perjanjian?" Suara Karry membuatnya melejit terkejut.

"Apa!?" Charlotta tercengang. Pemuda itu menarik napas dalam, lalu memandangnya penuh dengan ikatan. Seperti ada sesuatu yang mengajak Charlotta tidak lepas dari sana.

"Kalau melibatkan perasaan, apakah uang masih berlaku untukmu?"

Charlotta membisu. Ia tidak mengerti maksud Karry.

"Ti... tidak. Jangan.. jangan lakukan itu."

"Lalu, kenapa kau ingin berusaha menyukaiku? Apa kau sebenarnya sudah menyukaiku dari awal?"

Charlotta kepanasan. Jari jemarinya mendadak gatal ingin mencakar sesuatu. Udara di sekitarnya seperti berubah di neraka. Satu-satunya yang sejuk hanya pandangan mata itu. Di bawah jatuhnya sinar lampu yang berpendar, bulu mata itu berkilau memutarkan pesona memenuhi jantung Charlotta dengan keyakinan. Karry tidak melepas pandangannya, kian membekukan seluruh raganya.

Apakah harus dikatakan sekarang...

Charlotta ingin menutup wajahnya dan kabur. Tapi sudah terlambat. Ia sudah basah kuyup dan tidak ada lagi tempat untuk lari karena tangan Karry mencekalnya erat. Seperti memaksa untuk mengakui yang sebenarnya.

"Kalau aku bilang iya, apakah kau akan membenciku?"

***

Guys, jadi Charlotta yang ngakuin lebih dulu. Menurut kalian gimana nih para cewek? Rela ga CS yang ngomong duluan sama pangeran? Hiahaha. Yok di tunggu part selanjutnya besok ya. Moga part ini menghibur^^

The Prince's Girlfriend (Re-Work)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang