78 : CINDY YOUNG

377 41 3
                                    

CROWN GARDEN
CINDY YOUNG

Setelah yakin dengan keputusannya untuk memakai gaun sifon keluaran DG yang menawan itu, ia pun memutuskan pergi ke kamar Karry. Ia sudah tidak tahan ingin melihat batang hidungnya atau bisa saja membantunya memilihkan jas yang tepat supaya bisa senada dengan gaun miliknya.

Dengan langkah ringan, ia membelah koridor sepi itu dalam senyum yang tak berubah. Di sebelahnya, kaca jendela full wall itu menampikkan pemandangan kota New York yang menyala dalam malam. Pesonanya mengkalutkan suasana untuk menemani langkahnya kali ini.

Ketika sampai di depan kamar Karry, baru saja ia ingin mengetuk pintu kamar pemuda itu, tapi sedetik kemudian pintu itu sudah tersentak terbuka dari dalam lebih dulu. Wajah mengantuk Karry menyambarnya, lalu tanpa sadar Cindy mengembangkan senyum.

Melihat kemeja bangsawannya yang penuh gemerlap biru dongker itu membuat pesona Karry pada gelar Putera Emas yang disandingnya terkesan sangat cocok. Seolah-olah takdir gelar itu memang sangat pantas ada di tangannya. Manik cokelat itu menyorot datar menatapnya, tapi Cindy tetap tak peduli.

"Apakah kita memiliki keterikatan batin sampai kau tahu aku akan datang?" sumbar Cindy setengah ingin tertawa. Tapi ia heran ketika melihat wajah Karry sama sekali tidak berubah. Pemuda itu malah dengan hening berjalan melewatinya menepi ke jendela. Kedua siku tangannya di sanggah ke besi yang berupa balkon di pinggir jendela. Tubuh Karry sedikit membungkuk, sambil mengamati kota dari atas sini. Cindy memiringkan kepalanya, lalu tetap dengan langkah riang menghampiri pemuda itu dengan gerak manja.

Cindy melongokkan wajahnya, berusaha mengintip ekspresi tersembunyi itu lagi dari dalam pikirannya yang menerka-nerka. Karry memang sering tiba-tiba berubah sangat pendiam. Tapi, ekspresi itu sudah bukan hal langka lagi. Dan bagi Cindy, jika pemuda itu sudah begitu, biasanya ia akan berusaha mencari tahu lewat kepolosannya.

Pelan-pelan, Cindy menyusupkan sebelah tangannya ke lengan Karry, menggandeng lengannya dengan lembut sambil tersenyum.

"Karry, ada apa?" tanya Cindy dengan pelan. Pemuda itu masih menatap kota, tak beralih dari keheningan yang ia ciptakan sendiri.

Tak menemukan jawaban, Cindy sedikit mematutkan bibirnya, kali ini wajahnya sedikit mendekat ke teling pemuda itu dan berbisik lembus di sampingnya.

"Karry, katakan saja padaku?"

Kepala Karry menoleh menatapnya. Dalam sorot penuh misteri tanpa memberi ekspresi apapun itu, Cindy menatap ekspresinya kembali dengan senyuman yang sama. Pemuda itu melirik lengannya yang di kaitkan dengan tangannya sendiri sekilas, lalu kembali menatapnya dalam diam.

"Cindy, apa kau tahu kenapa aku memilih Charlotta sebagai sainganmu dalam hal ini?" Karry kembali menatap kota seakan tak menggubris kata-katanya tadi.

Cindy berkerut tipis, ia menarik rambut belah panjangnya itu dengan sekali tepis lalu kembali berujar, "kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal ini?"

Yang diajak bicara terdiam beberapa saat, semakin membuat perasaan Cindy tak menentu. Terlebih ketika melihat sorot mata yang membuat dentum jantungnya berdetak-detak tak menentu.

"Apa kau tahu?" ulang Karry lagi, menginginkan jawaban.

Cindy berkerut dalam, "mana kutahu?" katanya sedikit mencairkan suasana dalam dirinya yang tiba-tiba merasa takut pada jawaban yang keluar dari mulut pemuda itu. Cindy melihat Karry menoleh lagi ke arahnya. Mata sayu yang sedikit tertutup poni itu menerjang pandangannya. Ia membeku beberapa saat dalam tatapan itu. Seakan Karry ingin mengikat sesuatu dalam sorot itu, memaksanya untuk masuk ke dalam dunia cokelat madu itu dan memahami isinya.

"Karena Charlotta adalah seseorang yang memenangi hatiku duluan tanpa kau muncul lebih dulu."

Mata Cindy perlahan-lahan membulat. Dahinya berkerut dalam dan seketika rahangnya mengeras.

Tatapan yang menjalar hangat itu seketika berubah mencekam dan menghitamkan seluruh dunianya lagi.

"Apa yang kau bicarakan?" Suara Cindy mulai ketus, ia menatap Karry dengan tatapan berkilat yang tertahan.

"Apa lagi?"

"Karry! Jelaskan padaku!" Tangan Cindy mengguncang bahu pemuda itu, berharap memberi penjelasan yang jelas karena ia sama sekali tidak mengerti maksudnya.

Bibir Karry tersenyum menyudut. Senyum yang belum pernah Cindy lihat sekalipun. Senyuman licik, yang kesannya sangat asing di bibir Putera Emas itu.

"Kau sangat mudah tertipu Cindy," ujar Karry pelan dan tenang. Namun suara itu kian merecoki batin Cindy yang kebakaran jenggot. Cindy terus memandangi Karry, berusaha mencari celah di antara perkataannya.

"Kau bahkan tidak menyadari ada kebohongan di dalam kebohongan. Kau melupakan kepercayaan dalam permainan ini. Kau terlalu terlena pada tahtaku, bukan?"

Kening Cindy makin berkerut, memandang pemuda itu dengan kegundahan hati yang luar biasa.

"Apa maksudmu? Tahta apa? Karry, kau gila jika aku masih menganggapmu hanyalah material dengan daging yang berjalan kan?"

Karry tergelak pelan, pemuda itu kembali menatap langit malam, menyisakan tanda tanya yang makin membesar di dalam hati Cindy.

"Cindy, kau tidak pernah berubah. Kau selalu menjebak dirimu sendiri."

"Apa?"

"Apakah aku pernah mengatakan aku menyukaimu?"

Cindy hampir tercengang mendengarnya. "Apa aku masih perlu menanyakan pengakuan itu?" tanya Cindy dengan nada super yakinnya, memandang Karry sedikit takjub. Tapi pemuda itu malah menoleh dengan senyum tanggung khasnya.

"Ya. Kurasa untuk saat ini, kau perlu menanyakan hal itu."

Cindy menghempaskan kepalanya ke belakang, ia berputar takjub memandang Karry yang masih menyanggah sikunya, memandangnya setengah tersenyum.

"Jangan gila Karry. Kau tidak akan berani mempermainkanku."

"Bukan aku yang mempermainkanmu. Kau sendiri yang masuk ke dalam permainanmu sendiri."

"Permainan apa?" sungut Cindy tak mengerti. Matanya membulat tak percaya.

"Kalau kubilang permainan hati, apa pendapatmu jika aku mematahkan hatimu malam ini?"

***

Jang jaaaangggg. Ada apa dg Karry? Apa maksud dibalik itu selama ini? Yuk ditunggu besok yaa^^

The Prince's Girlfriend (Re-Work)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang