63 : NIC DAN CHARLOTTA

375 45 1
                                    

HALFEARTH
NIC DAN CHARLOTTA

Suara kaki Charlotta memecah hening di antara temaram ruangan berbentuk separuh bola itu. Sudut-sudutnya menyala lampu dinding bertudung. Tapi bagian tengah ruangan dibiarkan mati, membiarkan cahaya rembulan berpendar di antara lantainya.

"Belum tidur?"

Charlotta terlonjak di tempat ketika mendengar suara seseorang ketika ia melintas di sofa panjang tempat untuk membaca. Seorang pemuda memakai sweater putih dan memegang buku menatapnya dari antara gelap. Charlotta mengernyit, memastikan seseorang itu.

"Nic? Sedang apa kau di sini?"

"Aku justru bertanya padamu. Sekarang sudah tengah malam, besok tidak sekolah?" Nic bangkit berdiri, menghampirinya berdiri di samping jendela kaca yang besar menghadap kolam di taman ruput. Air mancur enam tingkat dengan dinding berbatu itu bisa dirasakan Charlotta suaranya. Bayangan air yang meriak-riak di dinding terbias oleh cahaya bulan.

Charlotta mendengus. "Tidak bisa tidur entah kenapa."

"Memikirkan latihan dansamu dengan Jackson?" goda Nic dari sampingnya. Charlotta memandang pemuda yang cengengesan itu dengan cemberut.

"Bukan soal itu. Aku malah senang dia mengajariku. Tapi rasanya hari-hariku terasa semakin berat.." suara Charlotta berubah pelan. Matanya meratapi langit bertabur bintang itu, seakan ingin berkata pada langit keluh kesalnya.

Beberapa detik, Nic tidak bersuara. Membiarkan keheningan meresap di antara keduanya. Charlotta menikmati kelap-kelip bintang di cakrawala hitam. Hatinya terasa hangat, entah kenapa tiap kali mengamati langit malam, ia selalu merasa ada sesuatu yang membuatnya teduh di sana. Kemudian ia tertunduk, tanpa sadar tersenyum.

"Tapi, aku sangat bersyukur bisa ada di sini. Aku bertemu banyak orang yang sangat baik padaku." Charlotta menoleh, menatap Nic di sebelahnya.

"Tapi waktuku tinggal sebulan lagi, dan aku harus memanfaatkan itu."

"Aku sudah tahu cerita kalian berdua," sahut Nic cepat. Charlotta tidak menjawab, sudah seharusnya pemuda itu mengetahui ini dari awal. Ia membiarkan Nic kembali melanjutkan.

"Kalian... memang di luar dugaan," katanya pelan.

"Maaf, aku melakukan ini hanya untuk mencari orangtuaku," kata Charlotta menunduk, memandang taman rumput di luar sana. Di sebelahnya, Nic menoleh ke arahnya dengan kernyitan tipis.

"Kau yakin karena itu? Apa ada alasan lain?"

Kata-kata Nic membekukan tenggorokannya. Alasan lain? Tentu saja tidak ada. Tetapi karena sebulan ini bersama Karry, bagaimana tidak muncul alasan lain? Cinta tumbuh ketika kau mengenal seseorang itu luar dalam. Cinta berkembang ketika tanpa sadar kau merasa nyaman berada di samping mereka. Kemudian ketika dia tidak ada dan kau merasa ada yang hilang, kau baru menyadari kalau kekosongan itu adalah tempat dia.

Kau baru sadar, kalau selama ini semua hatimu terisi olehnya.

Charlotta menghela napas. "Aku sangat merasa bodoh tiap kali harus mengakui alasan lain."

Terdengar Nic mendencak ringan. "Terkadang cinta memang bisa membuat orang pintar bisa terlihat bodoh. Tapi dibodohi cinta itu indah." Suara Nic melembut, Charlotta menoleh ke arahnya yang tersenyum tipis.

"Aku sudah terjatuh terlalu jauh Nic. Aku tidak mau menyukai Karry. Bagaimana pun, kita nantinya berada di ambang batas yang sangat jauh. Aku dan dia, sangat-sangat..."

Ucapan Charlotta terhenti ketika Nic menarik kedua pundak Charlotta dengan cepat, menghadapnya lurus-lurus. Charlotta mengerjap kaget, ia terkesiap beberapa saat sebelum Nic kembali berujar.

"Kau harus tahu satu hal. Cinta tidak mengenal apapun selain rasa ingin menjaga, dan bahagia. Jangan membodohi cinta yang sudah jelas mengalahkan dunia sekalipun. Karena dunia ini justru berputar di atas cinta. Kau harus memperjuangkan duniamu, Char."

Charlotta merasa hidungnya beringsut cukup dalam beberapa saat. Tanpa sadar ia tertunduk lemas untuk menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Kenapa semua orang mendukungku di saat aku sangat ingin menjauhi perasaan ini?" Suara Charlotta berujung serak. Ia menepis air mata yang hampir menetes dengan senyum singkat ke arah Nic yang menatapnya tersenyum tanpa menjawab. Pelan-pelan ia menarik napas, menangkis semua gejolak di dalam hatinya yang meluap-luap bahagia tanpa bisa dicegah.

"Aku bahkan sangat mendukungmu," bisik Nic masih tak melepas tangannya dari genggaman pundaknya Charlotta. Ia melipat bibir sambil tersenyum, lalu memberanikan diri memandang pemuda yang lebih tinggi darinya itu. Nic sedikit membungkuk, senyum teduhnya masih di sana. Untuk kesekian kali Charlotta selalu merasa hangat untuk hal ini. Ia selalu merasa beruntung menyukai seseorang yang keberadaannya membuat nyaman. Bahkan, ia tidak tahu sudah seberuntung apa dia sekarang.

Ia memandang Nic yang lebih tinggi lalu tersenyum tipis. Dengan suara serak ia menyahut, "Nic, terima kasih. Tapi aku harus menahan ini semua. Aku tidak mau Karry berubah ketika aku semakin menyukainya. Aku tidak mau dia pergi ketika aku tidak sanggup berlari. Dia sudah jauh, selangkah saja dia pergi, maka aku harus melangkah seribu kali. Walau dia hanya diam, tapi untuk membuatnya menatapku butuh energi seratus kali lipat untuk membuatnya sadar kalau selama ini aku ingin dia mengerti, kalau aku... menyukai dirinya yang paling dalam."

***
Duh, kenapa sih Nic pinter banget bikin bapernya pake embel embel cinta. Doi udah pengalaman banget ya keliatannya.

So, penasaran kelanjutannya? Tunggu besok ya. Aku nggak meluk-meluk kok, teken bintang aja udah syukur :') terima kasih^^

The Prince's Girlfriend (Re-Work)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang