73 : KARRY

375 41 2
                                    

THE FRITZ CLARXSON
KARRY

Dua gelas tinggi berisi wine keluaran tahun 1990 itu saling berdenting. Di depannya, Cindy berpangku wajah sambil tersenyum menikmati tiap hari-hari kebersamaan mereka. Sedangkan Karry, masih terus berusaha untuk mengaburkan wajah Charlotta yang kian lama menghantuinya dengan perasaan bersalah.

Kalau teringat lagi pagi tadi..

"Karry?" panggil Cindy membuyarkan pikirannya. Tanpa sadar gelasnya masih di udara, kemudian buru-buru ia menenggaknya.

Ballroom yang sangat luas dengan dekorasi klasik ala Paris tahun 80-an mengisi malam penuh nostalgia. Satu panggung besar di depan untuk musisi mengisi perayaan Malam Agung salah satu perusahaan ayahnya masih menyanyikan lagu lawasnya. Jas hitam Karry makin direkatkan ketika entah kenapa udara tiba-tiba menjadi dingin.

"Kau kenapa?" Cindy memandang setengah khawatir ke arahnya.

Karry hanya tersenyum pendek sekilas lalu kembali menikmati steaknya dengan cuek.

"Tidak apa. Ayo makan. Sejam lagi kita harus kembali ke rumah. Aku harus mengajari Charlotta matematika," katanya. Kepala Cindy langsung tersentak menghadapnya.

"Jadi kau sedang membagi waktu untukku dan anak petani itu?" Suara Cindy menekan hampir meninggi. Mendengar Charlotta di sebut anak petani, Karry refleks menatap gadis yang kini mencuatkan alisnya.

"Kalau iya, kenapa?"

Cindy mendengus, mengambil gelas winenya lalu menenggaknya langsung.

"Kenapa kau masih memikirkannya sementara kau sudah menjadi milikku? Apa maksudmu Karry?"

Karry tak sempat menahan sebelah alisnya yang terangkat. Mendengar perkataan Cindy barusan membuatnya membeku beberapa detik, lalu menelan semua pernyataan itu kemudian barulah ia menyudahinya dengan gerak akting yang sudah sangat biasa.

"Maaf. Itu sudah seperti kebiasaan."

Tangan Cindy setengah membanting gelasnya, tubuhnya sedikit condong berusaha menatap bola matanya dari sebrang meja berlapis taplak panjang bewarna krem.

"Karry, kau harus membuka matamu. Dia itu hanya mengambil keuntungan darimu. Tidakkah kau lihat sekarang dia seperti apa? Kau terlalu memanjakannya dan sekarang lihat? Kau menyesal, kan?"

Mendadak kuping Karry jadi panas. Ia menatap Cindy yang menyorot yakin pada perkataannya. Seakan-akan gadis itu tidak lagi memikirkan kemungkinan lain selain 'kau adalah milikku'.

Karry menghela napas pelan, menjatuhkan garpu pisaunya menahan geram. "Bisakah kita beralih topik? Aku tidak ingin membahasnya."

Tubuh Cindy kembali mundur ke tempat semula. Tahu kalau sebaiknya ia menyingkir dari obrolan ini sebelum Cindy tanpa sadar mengulik kepalsuannya.

"Omong-omong, pesta dansa tinggal tiga hari hari lagi, apa ayahmu akan tiba malam ini?" tanya Cindy yang mulai menyentuh steaknya. Pelan-pelan melahap potongan daging kecil itu dengan gerak anggun.

Karry setengah menunduk menatap dagingnya dengan tidak selera.

"Malam besok. Dia akan tiba." Karry menjawab singkat. Tangannya sibuk mengetik pesan dari bawah meja.

"Lalu, kau akan merencanakan apa?"

Kepala Karry tersentak pelan menatap gadis itu. Ia bergeming sejenak, mencerna jawaban yang tepat.

"Tidak ada rencana apa-apa," jawabnya berusaha membuat frekuensi nada setenang mungkin. Cindy setengah kurang yakin tapi kemudian ia mengendikkan bahu.

"Lalu bagaimana dengan Charlotta?"

Karry baru saja meng-enter pesannya, kemudian langsung menjawab pertanyaan Cindy dengan cepat.

"Sebenarnya kau tahu apa tentang kami, Cindy?"

"Aku tahu banyak hal," jawabnya cepat.

"Bisa beritahu aku?"

Cindy beralih memandangnya setengah bingung. "Kenapa aku harus memberitahumu?"

"Aku hanya ingin tahu seberapa jauh kau tahu."

"Lalu?" Cindy makin mengunci pandangannya.

Tapi Karry menepis itu lebih dulu. "Tidak ada lalu. Aku hanya ingin mendengarnya." Walau suaranya setenang air yang menetes di antara daun yang habis hujan, tapi Cindy seperti bisa merasa kalimat itu sebagai perintah.

Gadis itu terdiam beberapa saat. Menyeka bibirnya dengan kain, lalu memandangnya lurus. "Anna menceritakan padaku kalau kalian melakukan sandiwara karena kau tidak menginginkanku. Katanya, perjodohan ini, kau tidak pernah menyetujuinya. Sebagai alasan lain, kau pun sengaja membawa Charlotta untuk bersaing denganku. Itu saja yang kutahu."

Dahi Karry berkerut samar, tertutup oleh poni rambutnya yang disasak. Dengan tenang, ia kembali menyahut, "lalu apa kau percaya?"

Mata Cindy beralih tegas. "Menurutmu? Kau pikir aku sebodoh itu percaya perkataan Anna? Sangat tidak logis. Aku tahu yang sebenarnya terjadi adalah Charlotta merayumu hingga bisa sampai ke tahap ini. Menjijikan, bukan? Apa kau tidak merasa demikian?" Cindy kian menguatkan kemungkinan-kemungkinannya sendiri. Dan entah kenapa itu membuat Karry makin percaya diri untuk memenangkan sandiwara ini.

Sambil menahan senyumnya yang hampir menyudut di ujunh bibir, ia pun menatap gadis itu lekat. "Kalau sudah yakin begitu, kenapa masih memikirkan keberadaan Charlotta? Kau seharusnya yakin aku tidak akan ke mana-mana, bukan?"

***

Mau cerita bentar. Jadi draft aku udah tinggal 2 bab akhir, tapi mendadak aku grogi gitu mau nulisnya. Hehe mungkin krn mau end kali ya ga sanggup pisah sm Karry dan CS :') kalian udah siap?

Dan sepertinya mungkin partnya ga akan sampe 80 deh. Bisa jadi lebih. Soalnya draft aku ada banyak dan pendek-pendek :') tapi tenang aja, menuju part terakhir aku akan apdet dua kali sehari. Dan yang pasti, seru :')

Tunggu part akhirnya yaa. Jangan bosen utk terus dukung cerita ini and see you soon!^^

The Prince's Girlfriend (Re-Work)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang