Gaza, 1 tahun kemudian.
Wahai... Puing-puing negara kami dan kawan-kawan yang berpulang. Seluruh lisan bisu, seribu bahasa.
Bendera mengirim kepergian kawan-kawan yang tiada. Tangis terus menjadi saksi kesedihan pilu untuk kesekian kali.
Tiang disana berdiri tegak, siap baginya di sandingkan dengan bendera Palestina.
Kaki terus berlangkah, mendekati ke arah yang lebih dekat dari tiang itu.
Berkibar setengah tiang memberi isyarat telah terjadi kabar duka.
Siapa yang akan teriris hatinya saat mengetahui orang terkasih meninggal dunia?
Suasana hati yang kian berkabung.
Sudah 1 tahun lamanya dan pertempuran terus terjadi. Sudah banyak yang menjadi korban, dengan meninggal dunia di medan perang. Yang bergejolak tanpa ampun.
Hari berlalu ke minggu. Minggu berlalu ke bulan. Bulan berlalu ke tahun. Waktu terus bergulir, namun pertempuran diantara mereka tak kunjung usai.
Aku memandang sekeliling. Penuh jeritan tangisan. Sikap pasrah menerima kenyataan,orang tercinta untuk pergi selamanya.
Ini bukan mimpi.
Kami menutup mata dengan mulut tak bergeming. Beristigfar...
Fatimah memandang lekat-lekat dengan iba perempuan berjilbab hitam itu, dipeluk erat foto sang suami. Dia beberapa kali terdengar menyebut nama sang suami dengan lirih.
Kami tengah memayungi gundukan tanah yang telah tergali. Satu persatu jenazah dimasukkan ke dalam liang lahat. Ketika mata kami tertutup. Saat usai pemakaman, tiba-tiba teriakkan terdengar histeris.
"Ada bom..."teriak salah seorang warga sipil. Detik itu juga, suara gemuruh menderu kencang. Sangat kencang.
Suara kehebohan mengudara di atas awan.
Kegaduhan yang sangat memerangahkan pagi yang cerah. Kami menghambur pergi. Kami tergopoh-gopoh lari bagai tersetrum gerakan semua orang yang berlari.
Fatimah memegang tangan ibu erat-erat, agar tidak terlepas.
Rasa sakit yang kami alami, sudah tak bisa terukur lagi oleh alat pengukur apapun. Sudah banyak sekali rasa sakit yang kami alami dalam kehidupan dengan tinggal di negeri syam ini.
Tapi, kami tidak pantang menyerah begitu saja!
Jarak kami semakin dekat dengan tenda pengungsian. Para pejuang Palestina berusaha menenangkan kecemasan kami. Berangsur-angsur kecemasan kami reda.
Pagi yang awalnya cerah, seakan ikut menyadari peristiwa di hari ini. Matahari dengan berat hati tetap menyinari bumi, meski mulai awan mendung menghampirinya. Matahari ingin tetap bertahan di hari memilukan ini. Takdir Tuhan yang telah menuliskan pada penyinaran bumi,matahari. Tetap menyorotkan sinarnya, apapun yang terjadi. Dua tetap menjadi matahari yang akan terus menyaksikan peristiwa di bumi hingga akhir zaman. Dia akan terus memendam rasa senang dan sedih yang tak pernah terucapkan. Tugasnya hanya menerbitkan sinar dengan paparan panasnya.
Awan-awan duka yang menggenggam erat segala kesedihan.
Saat tenggelam di senja sore nanti, dia membujuk bulan untuk menggantikannya di malam hari.
●●●●●
Lewat TV kami menyaksikan umat-umat beragama di seluruh dunia turut merasakan kesedihan kami. Tidak hanya seorang muslim, saja. Gedung istana negara diberbagai penjuru dunia dihiasi dengan berkibarnya bendera setengah tiang negara tersebut. Dari kawasan Asia hingga Afrika.
Tayangan tadi sangat menyentuh hatiku. Menyadarkan betapa pedulinya mereka terhadap kami.
●●●●●
Aku, Aisyah, ibuku, ibunya Aisyah, dan adiknya Aisyah bergegas menuju masjid Al-Aqsa, untuk menjalankan sholat isya disana.
Saat memasuki masjid kami disambut oleh seorang zionis Israel yang diketahui atheis, dia mengajukan 2 pertanyaan yang hanya dapat dijawab dengan akal. Artinya, tidak boleh dijawab dengan dalil, karena dalil itu hanya dipercaya oleh pengikutnya. Karena seorang atheis memang selalu mengukur segala sesuatunya itu menggunakan akal/bukti ilmiah. Jika menggunakan dalil, maka justru diskusi ini tidak akan menghasilkan apa-apa.
Kami mendengar pertanyaan seorang atheis itu.
1.Siapakah yang menciptakan
Allah? Bukankah semua yang ada
didunia ini karena pencipta-Nya?
Bagaimana Allah ada, jika ada
penciptaan-Nya?
2.Bagaimana caranya manusia
bisa makan dan minum tanpa
buang air? Bukankah itu
janji Allah di surga?Dia terus berbicara dan menantang kami untuk menjawabnya.
"Pak... Apa kau tahu angka 1 berasal darimana? Sebagaimana angka 2 adalah hasil dari 1+1, atau angka 4 adalah hasil dari 2+2? Jika kamu tahu angka 1 adalah bilangan tunggal yang dapat menciptakan angka lain, tapi dia tidak tercipta dari angka apapun. Lalu, apa yang membuatmu sulit memahami bahwa Allah maha tunggal yang maha pencipta,cnamun tidak diciptakan."ujar Fatimah tegas.
Dia hanya terdiam tidak memberikan jawaban.
"Saya ingin bertanya padamu, pak... Apakah ketika didalam perut ibu kita makan dan minum? Lalu, bagaimana kita dapat buang air didalam perut ibu kita? Jika kau percaya bahwa kita makan dan minum dari makanan ibu kita dan tidak buang air didalamnya. Lalu, apa yang membuatmu sulit untuk percaya bahwa surga kelak kita makan dan minum tanpa buang air?"lanjut Fatimah tegas.
Dan dia terdiam lagi. Wajahnya menunduk ke bawah. Malu.
Bahwa pertanyaan itu mencela dan merendahkan islam. Jangan dijawab dengan kekerasan, melainkan dengan kebaikan. Dijelaskan dengan ilmu.
Selesai menjawab pertanyaan bapak itu, Fatimah dan yang lain kembali masuk ke masjid Al-Aqsa untuk sholat isya. Karena waktu sholat isya yang semakin mendekat.
Dalam sujud kami berdoa, memohon doa yang kami sampaikan pada-Mu. Dengan segala keluh kesah yang kami hadapi. Kegentingan terus terjadi. Kehancuran melanda hidup kami. Bisakah untuk kami sanggup menghadapi ini semua? Apa maksud dari pertanyaan mencela itu?
Mereka terus mendzholimi kami.
Doakanlah kebaikan bagi mereka yang mendzholimimu. Jangan berharap bagi azab bagi yang mendzholimimu. Itulah makna keikhlasan yang sesungguhnya. Insyaallah... Allah yang akan membalasnya dan memberikan hidayah padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GADIS GAZA - TERBIT
SpiritualJika kaki mu jauh untuk melangkah menolong kami, maka ulurkan lisan mu untuk mendoakan kami. Kami tengah berjuang mewakili seluruh umat islam di seluruh penjuru dunia. Note : Diharapkan follow akun Wattpad Guratan Sendu sebelum baca karya tulisku da...