IBU...

160 11 1
                                    

Aku berlari dari arah berlawanan, hendak pulang ke rumah menemui ibu tercinta. Hari ini entah kenapa rasanya aku ingin pulang cepat usai bekerja sebagai dokter Palestina, seperti sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Ada apa gerangan?

Tidakkah mereka bosan untuk berhenti sehari saja tidak menjajah kami? Bom sejak semalam terdengar susul-menyusul, sungguh memilukan.

Tentara Palestina dengan setia berjaga-jaga dari setiap serangan tentara Israel.

Sampai di rumah, rasa rindu itu usai saat aku memeluk ibu. Ibu menatap terheran-heran.

"Ada apa denganmu?"tanya ibu yang masih saja heran.

"Aku merasa rindu sekali. Izinkan aku untuk memeluk ibu beberapa menit saja."jawabku.

Saat sore hari, kami hendak bergegas menuju masjid untuk sholat magrib dan isya di masjid Al-Aqsa.

Udara tidak lagi segar, melainkan aroma asap bom mengudara di awan.

Kami berlari berhamburan. Asap bom begitu membuat ibu sesak napas. Ku eratkan tangan kami; bergandengan. Hingga... Tangan kami terlepas, ku terjatuh di bawah tanah. Mata dengan samar-samar mencari ibu!

Kaki tergopoh-gopoh melangkah. Ku lihat ibu di seberang sana; seperti orang bingung. Mungkin, dia bingung karena mencari keberadaanku? Syukurlah...

Fatimah segera menghampiri ibunya. Namun... Di seberang sana, para zionis sudah siap dengan pistolnya. Dan, warga sipil bersiap siaga!

Terjadi kerusuhan yang tak terelakkan. Hingga, salah satu tentara Israel melepaskan peluru ke udara. Suara gemuruh terdengar jelas.

Aku berlari sekencang-kencangnya. Namun, peluru itu mengarah pada ibu. Dan... Menembus dada kirinya, cepat sekali.

"Ibu..."teriakku. Semua orang memandangku, ku hampiri ibu yang sudah berlumuran darah.

"Ibu... Bertahanlah!"

"Jadilah anak berguna bagi nusa, bangsa, dan agama."kalimat itu usai diucapkan dan mata ibu tertutup.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Tangisnya sudah tak terbendung lagi. Orang yang disayangi, harus pergi meninggalkannya.

Semua orang bantu mengurusi jenazah ibu, dari memandikan hingga menguburkan. Dan, Fatimah masih terus menangis. Aisyah dan Syifa mencoba menenangkan.

"Jika kamu menangis, ibu juga menangis."

"Benar juga."

Kini, Fatimah hidup sebatang kara. Meski begitu dia tidak sendiri, bukan? Masih ada Allah SWT yg senantiasa berada di sampingnya. Begitu pun Aisyah dan Syifa, sahabatnya.

GADIS GAZA - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang