Lembar Ke-19 : Gerbong

2.4K 103 4
                                    


Selesai menyantap menu berbuka puasa bersama, aku dan Aa' Iyan langsung tap in dan memasuki ruang koridor di badan utama bangunan stasiun Tanah Abang, kami berdua menuju musholla yang ada di sana untuk melaksakan sholat maghrib berjamaah dengan calon penumpang commuter line lainnya. Usai beribadah aku dan Aa' Iyan bergerak ke area lounge untuk menunggu kedatangan kereta yang bisa membawa kami berdua ke tempat tujuan kami. Sambil menunggu aku duduk di sebuah bangku besi yang berjajar rapi di ruangan ini, sementara itu Aa' Iyan nampak berbincang-bincang dengan rekan penumpang kereta Commuter Line yang sudah dikenalnya. Mereka terlihat akrab dan sedang bersenda gurau dengan kelakar yang dapat mengusir kejenuhan.

Sekian lama menunggu, akhirnya kereta yang kami tunggu datang juga. Aa' Iyan memberikan sandi agar aku bangkit dari tempat dudukku dan segera mengikuti kemana kaki Aa' Iyan melangkah. Dalam sekejap Kami telah berada di salah satu gerbong kereta Commuter Line. Gerbong ini lumayan penuh dengan penumpang. Aa' bergerak gesit untuk mendapatkan bangku, namun sayangnya dia hanya bisa mendapatkan satu bangku kosong. Aa' Iyan memberikan bangku itu untuk aku duduki sementara dia sendiri ikhlas berdiri di hadapanku sambil berpegangan tali gantungan yang berjajar di sepanjang gerbong. Sungguh Aa' Iyan memang baik sekali, dia lebih memperhatikan aku daripada dirinya sendiri, padahal aku tahu dia sudah nampak letih dan butuh tempat duduk untuk menyandarkan tubuhnya.

 Sungguh Aa' Iyan memang baik sekali, dia lebih memperhatikan aku daripada dirinya sendiri, padahal aku tahu dia sudah nampak letih dan butuh tempat duduk untuk menyandarkan tubuhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

''Nanti kita gantian aja, ya, A' ... duduknya!'' ujarku.

''Tidak usah ... gak apa-apa, Aa' sudah biasa kok bergelantungan seperti ini,'' tukas Aa' Iyan.

''Aa' tidak capek?''

''Ya, capek sih ... tapi aku tahu kamu lebih capek, karena kamu baru pertama kali naik kereta commuter line. Iya, 'kan?''

''Iya, A' ... ini adalah pengalaman pertamaku naik gerbong kereta."

''Gimana rasanya, Herio?''

''Asik juga, A' ... tempatnya nyaman, bersih, penumpangnya tertib dan yang pasti aku naik bersama orang yang aku sayangi. Hehehe ...."

''Ciee ... Aa' jadi GR (gede Rasa), neeh ....'' Aa' Iyan tersenyum simpul, memasang wajah imutnya walau sebenarnya sudah tak nampak keimutannya.

''Tapi gerbong kereta dulu tidak begini lho, Herio ....''

''Oh ya ... emang dulu seperti apa, A'?"

''Dulu sangat sumpek sekali ... penumpangnya berjubal tanpa ada pendingin ruangan. Sampah berserakan di lantai, banyak pengamen dan pedagang asongan yang berseliweran disini. Bahkan ada juga pengemis dan tukang sapu lantai yang membantu membersihkan area tempat duduk kita ... saat dia membesihkan tempat kita, mau tidak mau kita harus memberikan uang jasa, bila tidak ... kita akan mendapatkan umpatan dan diminta paksa!"

''Iihh ... kayak preman dong, A' ....''

''Iya ... semacam itulah, makanya kamu beruntung, karena kamu saat ini tidak menjumpai lagi hal-hal yang demikian di gerbong ini. Tapi ada sesuatu yang Aa' tidak suka dari peraturan baru di kereta ini, Herio."

''Apa itu, A'?"

''Aa' tidak bisa bebas merokok lagi disini."

''Hahaha ... itu mah derita Aa' ... udah bagusan kayak gini kali, A'!"

Aa' Iyan hanya terkekeh.

''Herio ... kamu suka gak diajak ke rumah Aa' dan naik kereta seperti ini?'' tanya Aa'.

''Aku suka, A' ... ini pengalaman baru dan sangat mengasikan!'' jawabku antusias.

Aa' Iyan memegang tanganku, dia meremas jemariku yang tertutup tas rangsel.

''Syukurlah kalau kamu suka .... Jadi, Aa' merasa senang kalau kamu kelihatan senang dan menikmati perjalanan ini."

''Masih jauh ya, A'?"

''Lumayan ... kalau kamu lelah, tiduran aja! Biar Aa' yang menjagamu.''

''Gak ah ... aku tidak mau tiduran. Aku mau menikmati setiap detik momen di kereta ini bersama Aa'."

''Hehehe ... Aa' jadi GR lagi, nih ....''

''Biarin ... Herio suka kok, kalau bikin Aa' GR, wkwkwk ...."

Aa' Iyan tersenyum geli, tatapan matanya penuh pancaran rasa kebahagiaan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dia seperti menyimpan sesuatu yang membuat hatinya berbunga-bunga, namun aku tidak bisa menebak sesuatu apakah itu.

''Herio ....''

"Iya, A' ....''

Aa' Iyan agak membungkukan tubuhnya, lalu dia mendekatkan wajahnya ke hadapanku.

''Aa' sayang sama Herio,'' bisiknya pelan di kupingku, karena takut suaranya terdengar oleh penumpang yang ada di sekitarnya.

''Yes ... Herio tahu, udah berulang kali Aa' mengucapkan hal itu!'' Aku mendorong tubuh Aa' agar menjauhi tubuhku, karena aku khawatir orang-orang di sebelahku curiga.

Kereta ini terus melaju dengan kecepatan konstan seiring dengan laju perasaanku yang begitu dalam terhadap Aa' Iyan. Entahlah, aku merasa hari ini adalah hari yang paling istimewa melebihi hari ulang tahunku. Berada dekat di samping Aa' merupakan suatu kebahagiaan yang tak terlukiskan dengan apa pun juga.

Lebay? Tidak! Karena memang inilah yang sebenarnya aku rasakan.

Tinta Putih Di Lembar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang