Lembar 109 : Kejutan

1.5K 55 18
                                    

SORE ini, aku pulang naik ojek daring (Dalam Jaringan) untuk menghindari macet dan menghemat waktu sehingga dalam beberapa saat aku sudah sampai di muka kost-anku. Setelah membayar jasa ojek, aku langsung ke dalam bangunan rumah dua lantai ini, ketika aku berada di garasi aku bertemu dengan Mas Sofiano yang sedang menuntun motornya karena hendak keluar.

''Hai, Herio ... Sampeyan nembe balik?'' tanya Mas Sofiano.

''I-Iya, Mas ...'' Jawabku, ''Mas Fiano sendiri mau kemana?'' lanjutku dengan pasang wajah heran melihat Mas Sofiano yang nampak necis dengan dandanan rambut yang klimis.

''Biasa ... mau jemput istri ...'' timpal Mas Sofiano sembari menunggangi motornya itu, lalu tak lama kemudian dia menekan tombol starter.

''Oh, gitu ....'' Aku manggut-manggut.

''Iyo, Her ...'' Mas Sofiano mulai menarik gas-nya, namun baru beberapa inci motornya bergerak, dia mendadak menekan rem-nya, lalu dengan suara yang lantang dia berseru ''Oh ya, Her .. nembe miki ono wong sing nggoleki sampeyan ... aku ngomong sampeyan durung mulih ... terus aku ngongkon dek'e nungguin sampeyan nang nduwur ...''

''O, ya?'' Aku mengkerutkan kening.

''Iya. .. Jarene dek'e iku adine sampeyan ..'' terang Mas Sofiano.

''Lanang opo wedhok, Mas?''

''Cah Lanang ... Bagus rupane.''

''Oke ... matur nuwun, Mas!''

''Iyo ...''

Brrmmm ... Brmmm ...

Motor Mas Sofiano berderum dan membawa tubuhnya pergi meninggalkan aku yang masih terbengong di tangga. Jujur ... aku masih bingung dan penasaran dengan orang yang dimaksudkan oleh Mas Sofiano itu. Dia bilang orang itu mengaku adikku, tapi aku tidak memiliki seorang adik laki-laki. Siapa kira-kira, ya?

__Hmmm ... daripada kepo, mendingan aku segera menemuinya.

Aku menaiki tangga dengan hati yang bercampur aduk, antara rasa penasaran, senang, takut dan ragu-ragu menjadi satu.

Tap ... Tap ... Tap!

Langkahku terhenti di depan kamarku ... rasa penasaran itu berubah menjadi rasa terkejut sekaligus gembira karena kedua mataku ini menyaksikan sesosok makhluk rupawan yang masih mengenakan seragam sekolah putih birunya. Yups ... siapa lagi kalau bukan si Brownis itu, maksudku brondong manis.

''Rangga!'' sapaku dengan mulut sedikit terbuka.

''Mas Herio ...'' sahut Rangga seketika, dan langsung menubrukku. Cowok ganteng ini memelukku dengan sangat erat lalu mencium kening, pipi, dan bibirku.

''Aww ... aww ... aww ... Rangga ... kok kamu nyosor begini, seeh!''

''Rangga kangen banget sama Mas Herio ...''

''Iya ... tapi jangan di luar seperti ini ... ntar kalau ada tetangga yang lihat bagaimana?'' Aku berusaha melepaskan pelukan Rangga, namun brondong manis ini tidak mau melepaskan pelukannya dari tubuhku.

''Biarin aja ... Rangga tidak peduli!'' tukas Rangga dengan suara yang manjah.

''Oke ... oke ... lebih baik kita masuk dulu ya, Rangga!'' Aku menggiring tubuh Rangga untuk masuk ke dalam kamarku setelah aku membuka pintunya.

Di dalam kamar, sikap Rangga makin kolokan, dia terus bergelondotan di bahuku. Badannya masih lengket menempel dengan badanku seperti lem.

''Aduh ... Rangga ... kamu kayak perangko ... maunya nempel melulu ...'' gumanku.

''Rangga 'kan rindu sama kamu, Mas Her ... emang Mas Her tidak rindu ya, sama Rangga?'' balas Rangga cemberut.

''Iya ... aku juga rindu kok sama kamu, Rangga!''

''Rindunya, rindu berat tidak, Mas?''

''Sangat berat, Rangga ... ''

''Seberat apa?''

''Pokoknya berat dan kamu pasti tidak akan kuat!''

''Hehehe ...'' Rangga nyengir.

''Rinduku seberat rindumu kepadaku, Rangga ... bahkan mungkin lebih!''

''Benarkah?''

''Iya ...''

''Ah, Mas Herio ... Rangga sangat sayang sama kamu, Mas!'' Lagi-lagi Rangga memelukku dengan sangat erat, kemudian dia menciumiku dengan begitu nafsunya mulai dari kening, pipi, leher dan terakhir bibirku. Aku tak pernah menduga kalau sikap Rangga bakal seperti ini, dia lebih binal dan liar dari sebelum-sebelumnya, dia seolah lebih terbuka untuk mengungkapkan perasaannya.

''Rangga ... berhentilah ... jangan seperti ini!''

''Kenapa, Mas?''

''Kamu masih terlalu muda untuk mengikuti jejakku!''

''Rangga tidak masalah, kok ...''

''Rangga ... memangnya kamu sudah siap untuk jadi seorang gay?''

Rangga jadi terdiam, mulutnya terkatup dengan pandangan menunduk.

''Jujur ... aku tidak mau ... kamu seperti aku, Rangga ...''

''Iya ... tapi Mas Herio yang membuat Rangga jadi begini ...''

''Maafkan aku, Rangga ...''

''Tidak ... Mas Herio sudah menyeret Rangga ... dan Mas Herio harus bertanggung jawab ...''

''Apa yang kamu inginkan, Rangga?''

''Rangga tidak menginginkan apa-apa, Mas ... Rangga cuma ingin disayang dan dimanja aja!''

''Rangga ... kamu tahu 'kan aku ini seorang HOMO?''

''Rangga tidak peduli ... karena Rangga sangat sayang sama kamu, Mas Her ...''

''Rangga ...'' Aku mendekatkan tubuhku ke tubuh Rangga, kemudian aku memeluknya dengan penuh rasa kasih dan sayang. Ada sedikit perih di batinku, karena telah membuat seorang ABG laki-laki seperti Rangga jatuh cinta kepadaku. Aku tidak tahu harus bersikap apa? Apakah aku harus bangga atau justru menyesal lantaran tega menyeret remaja tanggung yang polos ini masuk ke dalam dunia LGBT yang penuh dengan intrik.

''Mas Her ... Biarlah Rangga menjadi bagian di setiap hembusan nafas Mas Herio ... hingga Mas Her merasa bosan dan mencampakkan Rangga ...''

''Rangga ... aku terlalu sayang sama kamu ... makanya aku tidak mau kamu jatuh di lingkaran yang sama denganku ... tapi jika kamu memaksa begini ... aku juga tidak bisa berbuat apa-apa!''

''I Love You, Mas Her ...''

''I Love You Too, Rangga.''

Aku dan Rangga berciuman mesra seperti yang pernah kami berdua lakukan di rooftop di rumah Rangga. Sore ini kami membuat sejarah baru yang akan kami kenang dan kami catat dalam buku harian kami masing-masing.

Tinta Putih Di Lembar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang