''Herio ... Herio ....'' Terdengar suara Aa' Iyan lamat-lamat di indera dengarku. "Bangun gih! ... kita sudah sampai.'' Tangan Aa' mengguncang-guncangkan bahuku. Aku jadi tersentak kaget, perlahan aku membuka kedua kelopak mataku, di depanku nampak wajah Aa' Iyan yang kusut dan duduk di sebelahku. Aku sedikit memicingkan mataku untuk beradaptasi dengan pancaran cahaya lampu yang menyilaukan. Aku memperhatikan seluruh ruangan gerbong, suasananya sudah lengang karena sebagian penumpang sudah pada turun. Rupanya aku tertidur di kereta untuk kesekian lamanya.
''Kita sudah sampai dimana, A'?'' tanyaku masih mengumpulkan separuh nyawaku.
''Kita sudah berada di Stasiun Tigaraksa, ini tempat tujuan kita!'' jawab Aa'.
''Hah ... cepat sekali, A'?''
''Itu perasaan kamu aja, Rio, karena kamu tertidur pulas daritadi.''
''Masa' seeh, A'?''
''Masa' seeh, masa' seeh, iya ... gak berasa 'kan? Hampir dua jam kamu tidur di bahu, Aa'.''
''Benarkah?''
''Iya, serius ... buruan yuk kita turun!'' Aa' Iyan menarik tanganku dan menyeret tubuhku untuk segera turun dari gerbong kereta ini.
Aku dan Aa' Iyan sudah turun dari kereta itu.
Kereta yang bergerbong panjang dan bisa mengangkut ratusan penumpang itu melanjutkan perjalanannya kembali. Aa' Iyan mengambil telepon genggam dari saku celananya, kemudian dia memencet sejumlah nomor telepon untuk menelepon kerabatnya agar dia mau menjemput kami.
Beberapa menit kemudian.
Seorang laki-laki muda yang katanya keponakan Aa' iyan itu datang menghampiri kami berdua dengan menggunakan sepeda motor. Lalu dengan motor tersebut dia memboncengkan kami bersamaan menuju rumah Aa' Iyan yang jaraknya cukup jauh dari Stasiun Tigaraksa.
Kami melalui jalanan berkelok dan belum beraspal sejauh kurang-lebih 2 km. Sepanjang perjalanan itu tak ada percakapan apa pun. Aku masih merasa ngantuk dan membenamkan kepalaku di punggung Aa' Iyan sambil mendengarkan gema takbir yang mengalun syahdu dan keras dari toa masjid yang kebetulan kami lewati. Aku terus memejamkan mata hingga kami semua tiba di depan rumah sederhana milik keluarga Aa' Iyan.
Aku dan Aa' Iyan turun dari motor pemuda itu, lalu dengan sedikit basa-basi Aa' mengobrol dengan keponakannya tersebut sebelum dia ngacir, entah kemana. Setelah laki-laki yang ku taksir berumur di bawah 20 tahun itu pergi menjauh, tangan Aa' Iyan langsung mengusap pipiku. Kemudian, dia merangkul pundakku dan mengajakku melangkah ke depan pintu rumahnya yang masih tertutup rapat.
''Assalamualaikum!'' seru Aa' mengucap salam.
Tok ... tok ... tok!!!
Aa' juga mengetuk pintu rumahnya dengan cukup keras.
''Waalaikumsalam!''
Terdengar sahutan dari dalam, suara beberapa anak kecil yang terekam renyah dan girang. Lalu tak seberapa lama pintu bercat warna merah muda ini terbuka lebar, dan nampaklah dua bocah laki-laki dengan mimik wajah sumringah menyambut kedatangan kami. Dua bocah itu bergegas menyalami tangan Aa' Iyan dan menciumnya.
''Herio ... mereka adalah anak-anak Aa'!'' ungkap Aa' memperkenalkan anak-anaknya.
''Ooo ya ... duh, lucunya!'' Aku menyalami tangan dua anak laki-laki itu, dan mereka mencium tanganku juga.
''Yang besar bernama, Vikry dan yang kecil bernama, Ari,'' terang Aa' berlanjut.
''Ya, Herio sudah tahu ... dulu Aa' sudah pernah menceritakan tentang mereka kepada Herio,'' timpalku.
''Dan ada satu lagi Si Bungsu, anak perempuan Aa'.''
''Namanya Nadine, 'kan? O ya, kemana dia, kok tidak kelihatan batang hidungnya?'' Mataku mencari-cari keberadaan gadis kecil itu.
''Nadine sudah tidur, Om ...'' jawab Vikry.
''Oh gitu, ya ....'' Aku menengok jam di tanganku yang sudah menunjuk angka 9 lebih. Pantas, jika anak sekecil Nadine sudah tertidur jam segini.
''Vikry, Ari ... Mama kalian mana?'' ujar Aa' Iyan pada anak-anak lelakinya.
''Sedang berada di dapur, Pak ... lagi masak!'' jawab Vikry.
''Oh gitu ...'' Aa' mengangguk.
''O ya, Vikri ... Ari ... ini teman Bapak, namanya, Om Herio ... kalian ajak masuk ke ruang tengah, ya!'' kata Aa'.
''Baik, Pak!'' sahut Vikry dan Ari kompak.
''Herio ... kamu ikut anak-anak Aa', ya ... ke ruang tengah! Aa' mau menemui istri Aa' dulu, sebentar.''
''Oke ....'' Aku mengangguk pelan.
Aa' Iyan berjalan menuju ke ruang dapur, sementara aku dan kedua anaknya masih berdiri di depan pintu.
''Ayo, Om ... kita masuk!'' ajak Vikry menggandeng tanganku.
''Iya, Om ... kata Bapak, Om disuruh ke ruang tengah bareng kami!'' sambung Ari.
''Siap! Om Herio nurut pada kalian!'' tadahku semangat.
''Nanti, Om tidur bareng kami aja, ya!'' kata Vikry polos.
''I-iya ....'' Aku mengangguk mantap.
''Om Herio ... Om, bisa mendongeng gak? Ntar sebelum tidur ceritakan sesuatu dong pada kami!.'' kata Ari merengek-rengek.
''Iya ... Emang kamu minta diceritakan tentang apa, Ari?''
''Apa aja, Om. yang penting asik ceritanya!''
''Ya udah, nanti Om cerita tentang seorang pangeran yang datang ke istana raja ya, mau?''
''Mau!'' Ari dan Vikry serempak menjawab girang.
Kedua anak laki-laki Aa' Iyan ini mudah sekali bergaul, mereka tidak canggung terhadap orang yang baru dikenalnya seperti aku. Mereka nampak welcome dan humble menyambut kedatanganku, sehingga aku merasa nyaman berada dekat dengan bocah-bocah yang wajahnya sangat imut dan manis ini. Entah, dari mana mereka mewarisi wajah setampan dan semanis itu, padahal bapaknya tak setampan mereka. Ooopss! Maaf, Aa' ... keceplosan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinta Putih Di Lembar Hitam
Historia CortaUntuk 17++ Dia Ranggaku, brondong tampan yang membuatku jatuh cinta. Memberi warna baru dalam hidupku untuk menjelajahi dunia cinta semu.