Lembar 123 : Ngopi

1.2K 52 7
                                    

AKU merebahkan tubuh di atas pembaringan kasur busa. Aku memejamkan mataku perlahan dan mencoba melupakan semua beban pikiran di benakku. Aku ingin cepat tertidur dan bisa bergelut di dalam dunia mimpiku yang terkadang lebih indah daripada dunia nyataku.

Well ... dalam sekejap aku pun terlelap. Namun baru beberapa saat aku terbuai di alam bawah sadarku, aku mendadak terjaga ketika Mas Sofiano hadir kembali ke dalam kamarku. Dengan berat mata ini mengintip bayangan tubuhnya yang berdiri tegap seperti patung dirgantara, siluet lekuk tubuhnya benar-benar terpatri keren dengan busungan dada yang bidang dan bentuk perut yang sixpack.

''Bangun dong, Her ... ini masih sore ... ini malam minggu. Ngapain sih, jam segini udah mau tidur aja!'' celoteh Mas Sofiano menyindirku. Alih-alih membangunkan aku, tapi aku malah menggeliat manja memeluk boneka-boneka doraemonku dan mencoba memejamkan mataku kembali.

''Woyy ... bangun coyy ... temani aku begadang!'' Mas Sofiano menepuk bokongku dengan agak kasar sehingga menimbulkan bunyi tepok yang keras.

''Aww!!!'' seruku, ''Mas Sofiano ... iiihhh ... sakit tahu!'' hardikku menggerutu.

''Makanya buruan bangun, Her ... lagian jam segini udah mapan aja!'' Mas Sofiano menggerak-gerakan tubuhku dengan usil.

''Aku udah ngantuk, Mas ... aku lelah. Aku mau tidur!'' Aku masih gelayutan dan malas-malasan di kasur.

''Aku lagi bete banget nih, Her ... plonga-plongo sendirian. Aku butuh teman ngobrol ... ayolah sampeyan temani aku ... ntar aku traktir kopi, deh!'' Mas Sofiano menarik boneka doraemon dari pelukanku, lalu dia melemparkannya jauh-jauh dari jangkauanku. Nyebelin banget kan?!

''EGP ...'' timpalku singkat.

''Iihh ... sampeyan mah gitu ya, Her!'' Mas Sofiano kembali menepok pantatku. Anjayyy ... demen banget sih menepuk bokongku.

''Hmmm ...'' Aku bersingut sambil meraih bantal guling kemudian memeluknya dengan erat.

''Pokoknya ... aku tidak akan berhenti gangguan sampeyan sebelum sampeyan bangun dan temani aku!'' Mas Sofiano lagi-lagi mencolek belahan pantatku, hingga aku meringai geli dan terpaksa bangun dari pembaringanku. Dengan mata yang masih riyep-riyep aku duduk besila membelakangi tubuh Mas Sofiano.

''Nah, gitu dong! Itu baru namanya teman!'' Tangan Mas Sofiano menyentuh pipiku lalu mencubitnya dengan gemas.

''Aahhh ... Mas Sofiano ini!'' Aku menepis tangan Mas Sofiano.

''Bikin kopi dong, Her ... biar sampeyan jadi melek!''

''Lho ... 'kan katanya Mas Sofiano yang mau traktir aku, kopi ... gimana, sih!'' protesku.

''Yo wis ... aku sing gawe kopi kanggo sampeyan, oke ... dimana sampeyan menyimpan kopinya, Her?''

''Aahhh ... itu mah sama aja kopi punya aku sendiri, Mas!''

''Hehehe ...'' Mas Sofiano cuma cengengesan sembari geratakan mencari bungkusan kopi yang aku simpan di atas meja. Kemudian, dengan gesit dia sibuk memanaskan air dengan menggunakan magic jar. Dia juga menyiapkan dua cangkir kosong buat menyeduh kopinya.

Itulah Mas Sofiano, kadang-kadang orangnya rese, tapi dia adalah orang yang sangat baik, humble dan juga kocak. Setiap saat laki-laki bertubuh gempal dan sedikit berotot ini mampu menghiburku dengan guyonannya yang lumayan lucu dan bisa membuatku jadi terpingkal-pingkal sampai sakit perut. Aku jadi lupa kalau aku sedang gunda gulana karena patah hati akibat seorang laki-laki. Pokoknya Mas Sofiano itu ibarat obat penghilang stress dengan segala tingkahnya yang all out foolish and funny.

''Tra ... laa laa ... jadi deh, kopinya!'' Mas Sofiano menuangkan dua bungkus kopi ke dalam dua cangkir, kemudian dia menyeduhnya dengan air panas dan mengaduknya perlahan-lahan hingga aroma kopi yang wangi itu terendus di indera penciumanku.

''Ini buat Herio ...'' ujar Mas Sofiano sambil menyerahkan satu cangkir kopi ke tanganku, ''dan ini buat Sofiano!'' imbuhnya sembari menghirup uap kopi seperti yang biasa model iklan kopi peragakan.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah konyolnya itu. Laki-laki ini nampak selalu riang seolah tak ada beban dalam kehidupannya. Aura keceriaannya selalu dia tularkan kepada orang-orang yang berada di dekatnya, sehingga aku dapat merasakan kebahagiaan sederhana melalui dia.

__Ah ... Mas Sofiano, kamu seperti malaikat yang dikirim Tuhan dan membantuku untuk selalu tersenyum.

''Terima kasih, Mas Sofiano ...'' ungkapku perlahan.

''Terima kasih buat apa, Her?'' timpal Mas Sofiano.

''Buat kopinya, Mas ...'' Aku menyeruput kopi ini dan menikmatinya dengan suasana hati yang jauh lebih tenang.

''Hehehe ... itu kopimu sendiri, Her!'' Pria ini tersenyum manis, manis sekali seperti perpaduan gula jawa dan madu.

''Aku tahu ... tapi Mas Sofiano yang menyeduhkannya buatku.''

''Syukurlah kalau kamu suka, Her ...''

''Hihihi ...'' Aku meringis memamerkan gigi-gigiku yang ternodai oleh ampas kopi.

''Aku lebih suka melihatmu hepi seperti itu, Herio ...'' Mas Sofiano memandangiku dengan lekat, tatapannya sungguh jauh berbeda dengan pandangan dia sebelum-sebelumnya. Pancaran bola matanya benar-benar lebih teduh dan menenangkan. Aku tak mengerti, tapi aku justru menyukai cara tatapan mata dia yang seperti ini.

''Aku selalu hepi, Mas ...''

''Hepi puppy atau Hepi Salma?''

''Maksudnya apa itu, Mas?''

''Emang sampeyan tidak tahu, Her?''

''Tidak, Mas ...'' Aku menggelengkan kepala dengan keras.

''Hepi Puppy itu berarti kamu suka berkaraoke kalau Hepi Salma berarti kamu suka yang montok-montok! Hehehe ...''

''Hahaha .... garing ah, Mas! Terlalu dipaksakan ...''

''Lho ... itu bener kok ... kalau sampeyan disuruh pilih, sampeyan akan pilih yang mana, Her?''

''Emangnya, aku harus memilih?''

''Iya, harus!"

''Hmmm ... aku pilih apa, ya?'' Aku memutar-mutar bola mataku sok berpikir berat, padahal ini pertanyaan ringan yang tak perlu dipikirkan.

''Ayo, cepetan ... sebelum waktu habis!''

''Mmm ... a-aku pilih Hepi Puppy, deh!'' ceplosku sekenanya.

''Ohhh ... sudah ku duga.'' timpal Mas Sofiano dengan lirikan mata yang mencurigakan.

''Hai ... kamu menduga apa, Mas?''

''Aku menduga kalau sampeyan bakal menjawab itu.''

''Lantas, apakah aku salah dengan jawabanku?''

''Tidak ... sampeyan tidak salah, Herio ... tapi apakah sampeyan tahu makna dibalik jawaban pilihanmu itu?''

Aku mengkerutkan keningku karena aku masih terlalu bingung.

''Aku tidak tahu, Mas ...'' ucapku.

''Jawaban sampeyan adalah apa yang sampeyan pikirkan, dan apa yang sampeyan pikirkan itu menunjukan siapa sebenarnya dirimu, Herio ...'' terang Mas Sofiano, tapi malah membuatku bertambah lebih bingung lagi.

''Aah ... aku tidak mengerti!'' tukasku.

''Ya, sudahlah ... kalau sampeyan tidak mengerti. Sampeyan tidak perlu memikirkannya. Sebaiknya sampeyan tidur saja. Aku tahu, sampeyan sudah terlalu lelah ...'' Mas Sofiano kembali menatapku dengan tatapan aneh, lalu dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan hendak keluar kamar. Kemudian, pas di depan pintu dia menghentikan langkahnya dan perlahan mendongak ke arahku.

''Selamat malam, Herio ... selamat beristirahat!'' ujar Mas Sofiano sembari melangkah pergi meninggalkan aku yang masih terbengong karena Mas Sofiano pergi menyisakan teka-teki yang masih tak ku pahami.

''Selamat malam juga, Mas Sofiano!'' gumanku komat-kamit pelan.

Tinta Putih Di Lembar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang