Kalender telah berubah, angka tahun juga telah bertambah. Musim berganti dan lembaran baru di catatanku akan segera terisi.
Tak terasa setahun waktu telah berlalu, hubungan cinta antara aku dan Aa' Iyan masih berjalan seperti biasanya, namun intensitas pertemuan kami tidak sesering dulu, Aa' sibuk dengan pekerjaannya demikian juga dengan diriku, jarangnya kami bertemu membuat kami seolah ada jarak spasi yang kian lama kian menyebabkan kerenggangan yang semakin jauh. Walaupun komunikasi masih tetap ada, namun itu tidak cukup untuk mengobati kerinduan dalam menjalin sebuah hubungan. Lambat laun rasa sayangku terhadap Aa' Iyan kian mengikis. Ditambah dengan hadirnya sosok-sosok lain dalam kehidupan Aa' Iyan yang menjadikan aku hilang feeling pada diri Aa' yang dulu teramat besar. Kami memang belum seutuhnya putus, tapi ikatan yang terjadi di antara kami bagai tali retak dan mengambang tak jelas.
Herio
Aku kembali dalam kehidupanku yang seolah sepi meskipun dalam keramaian, jiwaku hampa karena tanpa hadirnya sosok yang dapat membuatku bergelora. Aku dilanda gegana, gelisah, galau, dan merana. Namun, aku tidak membiarkan diriku berlarut-larut dalam kondisi yang semacam ini. Aku berusaha bangkit dan membangun rasa kepercayaan diriku untuk membuka lembaran baru dan melangkah ke sebuah halaman kehidupan yang lebih berwarna. Aku teringat nasihat sahabatku yang mengatakan;
''Jika kamu terpaku pada masa lalu, kamu tidak akan bisa memalu masa depan.''
Entah, apa maksudnya? Namun, aku berusaha untuk memahami maknanya.
Aku membuat akun aplikasi chating khusus pengguna kaum pecinta sejenis. Disini aku berkenalan dengan seseorang yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Sebut saja namanya, Aldi. Tiap hari, aku dan dia bertutur sapa lewat chating ria, walaupun hanya sekedar mengetik kata-kata; Hai, Apa kabar, Lagi apa, dan sebagainya. Namun, bagiku itu sebuah kegiatan yang cukup mengasikan. Dan, karena sudah seringnya kami mengobrol melalui aplikasi kitab kuning ini (Grindr), akhirnya kami berdua memutuskan untuk saling bertatap muka.
Singkat cerita, Aku dan Aldi bertemu dan kopi darat di sebuah cafe yang cukup trend di kalangan anak muda yang ada di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Cafe ini sangat menarik karena desain bangunannya dikemas dengan gaya modern sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai tempat tongkrongan yang gaul. Menu makanan dan minuman di Cafe ini juga menyesuaikan dengan lidah selera anak muda, jadi sangat memanjakan para pengunjung khususnya bagi pecinta kuliner berdarah muda, harga menu-menu makanan dan minumannya juga cukup bersahabat dengan kantong. Dan yang lebih spesialnya lagi setiap sabtu malam Cafe yang memadukan konsep unsur budaya lokal dan barat ini kerap menggelar pertunjukan Live Music untuk menghibur para tamu yang hadir pada malam itu.
Aku dan Aldi menyantap hidangan yang kami pesan, waktu penyajiannya cukup singkat, jadi kami tidak perlu menunggu lama makanan yang kami order.
''Kamu sudah sering datang kemari, Herio?'' ujar Aldi membuka perbincangan di antara kami.
''Sering sih, tidak ... Cuma sudah beberapa kali mampir kesini,'' jawabku.
''Oh gitu ...''
''Iya ... gimana rasa masakannya menurut kamu, Al?''
''Mmm ... enak! Sangat recomended banget. Kapan-kapan aku akan ajak rekan-rekan bawa kesini.''
''Hmmm ... rekannya banyak, ya?''
''Maksud aku ... rekan kerja, hehehe ....''
''Ohhh ....''
Aldi kembali menyantap makanannya, diam-diam aku memperhatikan laki-laki di hadapanku ini, wajahnya seperti pria keturunan arab, hidungnya bangir, alisnya sangat tebal, berjambang dan memiliki kumis yang tidak tipis namun tidak terlalu tebal. Sekilas seperti Ridho Rhoma, tetapi mempunyai kulit yang sawo matang.
Aldi
''Herio ... sudah punya pacar?'' celetuk Aldi tiba-tiba, pertanyaannya cukup membuatku terperanjat, aku gugup dan tak tahu harus menjawab apa.
''Mmm ... aku tidak punya pacar,'' jawabku serampangan.
''Oh ya ... kamu ngekost atau sama keluarga?''
''Aku, ngekost ....''
''Ngekost sama siapa, Herio?''
''Aku kost sendiri, Al ....''
''Oh ya ... boleh dong aku main ke kost-an kamu?'' Aldi tersenyum memamerkan gigi putihnya.
''Mmm ... boleh aja sih," timpalku.
''Beneran nih, boleh?''
''Iya ... boleh, Al!"
''Kok jawaban kamu kedengarannya ragu ....''
''Hehehe ... itu perasaan kamu aja, Al. Kamu boleh kok, main ke kosanku, kapan saja ...'' Aku tersenyum kaku.
''Kalau begitu habis makan aku mau ke tempat kamu, gimana?''
''Hah ...'' Aku melebarkan pupil mataku.
''Kenapa? Kamu keberatan?''
''Mmm ... tidak ... tidak ... aku tidak keberatan!'' Aku kembali melempar satu senyuman yang canggung.
''Oke ... kalau gitu habiskan makananmu, segera!'' Aldi bangkit dari tempat duduknya.
''Biar aku yang membayar tagihannya semua ...'' imbuhnya sambil berjalan ke meja kasir. Lalu dia meminta nota tagihan meja kami pada Si Kasir itu dan membayarnya. Setelah itu dia kembali duduk di kursinya.
''Terima kasih, Al ... kamu sudah mentraktirku,''ucapku sambil melirik wajah hensem-nya.
''Sama-sama, Herio!'' balas Aldi plus senyuman gulanya. Sangat manis bahkan kelewat manisnya. Aku jadi klepek-klepek dibuatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinta Putih Di Lembar Hitam
Short StoryUntuk 17++ Dia Ranggaku, brondong tampan yang membuatku jatuh cinta. Memberi warna baru dalam hidupku untuk menjelajahi dunia cinta semu.