Habis mandi, aku mengenakan pakaian alakadarnya, lalu aku berbaring di kasur, karena aku merasa kepalaku mendadak pusing. Aku mencoba memejamkan mataku dan berharap pusingnya menghilang. Baru beberapa menit aku terlelap, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku.
Tok ... tok ... tok!
''Masuk!'' ujarku, dan sejurus kemudian pintu kamarku terbuka dari luar. Seseorang muncul dari balik pintu tersebut.
''Rangga ...'' Aku agak terkejut melihat sosok remaja tanggung itu ada di hadapanku.
''Mmm ... maaf ya, Mas... aku jadi mengganggu istirahat, Mas Herio ...'' kata Rangga dengan wajah culunnya.
''It's okay ... ada apa kamu kemari, Rangga?''
''Rangga cuma mau nganterin kue berkat, tadi Rangga habis ikutan selamatan, ada hajatan di rumah Pak RT.'' Rangga menunjukan sekotak kue dan memberikannya kepadaku.
''Oh ya ... terima kasih ya, Rang ...'' Aku menerima kotak karton itu dengan senang hati.
''Ya ... sama-sama, Mas ...'' Mata Rangga menyapu ke segala ruangan kamarku seolah mencari sesuatu.
''Oh ya, Mas ... ngomong-ngomong teman Mas Herio sudah pulang, ya?'' ujar Rangga dengan ekspresi kebingungan.
''Ya ... udah dari tadi, di bawah motornya juga sudah tidak ada, 'kan?''
''O, gitu ... Rangga tidak perhatikan sih, soalnya banyak motor yang diparkir di bawah. Jadi, Rangga tidak tahu yang mana motor temannya, Mas Herio.''
''Hehehe ... kok kamu nanyain temanku, sih ... hayoo ada apa?''
''Tidak ada apa-apa.''
''Yang bener?''
''Beneran ....''
''Ya sudah, kalau tidak ada apa-apa lagi, aku mau istirahat, karena kepalaku agak pusing.'' Aku memegangi pelipisku.
''Hah ... pusing? Mas Herio, lagi sakit, ya? Sakit apa Mas? Sudah minum obat belum?'' reaksi Rangga cukup berlebihan.
''Hehehe ... Rangga, gak usah lebay deh! ... aku cuma kurang tidur saja.''
''Jangan anggap remeh penyakit lho, Mas Her ...'' Rangga dengan sigap memeriksa jidat dan leherku dengan telapak tangannya bagai seorang dokter memeriksa pasiennya, ''tuh 'kan ... badan Mas, panas ... Mas Herio lagi demam, nih ...'' lanjut Rangga memberikan diagnosa.
''Rangga ... terima kasih atas perhatiannya, tapi suer... Aku baik-baik saja ... kamu tidak usah mengkhawatirkan aku."
''Tidak! ... Mas Herio harus minum obat ... aku tahu, Mas Herio kena demam ... aku tidak mau terjadi apa-apa sama kamu, Mas ... karena bagaimanapun juga Mas Her ini sudah ku anggap seperti abangku sendiri ...'' Rangga bangkit dari jongkoknya dan berdiri tegap, ''aku akan mencarikan obat buat kamu, Mas!'' lanjutnya sambil melangkah pergi meninggalkan kamarku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak bisa mencegah apapun yang hendak diperbuat Rangga, lagipula aku juga memang merasa sedang tidak enak badan. Rangga benar aku lagi terserang demam, suhu badanku panas di atas normal.
Beberapa saat kemudian, Rangga datang lagi ke kamarku dengan membawakan sebungkus obat anti demam. Dengan gesit Rangga memberikan obat tersebut kepadaku dan memaksaku untuk segera meminumnya.
Setelah meminum obat yang diberikan Rangga, aku kembali membaringkan tubuhku di atas kasur, aku menggigil kedinginan sehingga Rangga menyeliimuti aku dengan kain sarung. Aku tidak mengira kalau Rangga akan bertindak sepengertian ini. Aku benar-benar terharu. Aku memejamkan mataku karena kelopak mataku terasa berat sekali, aku sangat mengantuk, mungkin ini efek dari obat yang aku minum barusan.
''Istirahatlah, Mas ... semoga lekas membaik!'' ujar Rangga terdengar lamat-lamat di kupingku, aku masih melihat bayangannya meskipun samar-samar.
''Terima Kasih, Rang ...'' balasku dengan suara pelan, aku tak peduli dia mendengarkan perkataanku atau tidak, aku juga tidak tahu apakah cowok brondong ini masih di kamarku atau tidak, karena aku sudah tidak kuat lagi menahan kantukku sehingga dalam sekejap aku sudah terlelap di alam bawah sadarku.
Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi, yang aku rasa hanya kegelapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinta Putih Di Lembar Hitam
Short StoryUntuk 17++ Dia Ranggaku, brondong tampan yang membuatku jatuh cinta. Memberi warna baru dalam hidupku untuk menjelajahi dunia cinta semu.