Lembar Ke-75 : Huh!

1.3K 62 5
                                    

Kicauan burung bernyayi syahdu menyambut hari. Suara bocah-bocah tetangga terdengar riuh berebut kudapan pagi. Aku tahu, waktu fajar telah terlewati.

Dunia sudah berganti terang yang cerah, aku bangun ketika sinar matahari menerobos jendela dan menyentil kulit wajah. Aku segera bangkit dari pembaringan dan melepas pelukan hangat pada si guling. Aku hendak bergegas ke kamar mandi karena sudah kebelet pipis, air seniku terasa sudah di ujung kemih. Aku membuka pintu kamar, dan ada sedikit yang mengganjal di pandanganku saat mata ini melihat tubuh Rangga berada di samping pintu. Dia duduk di lantai sambil menyandarkan punggungnya ke tembok. Cowok muda ini langsung terkesiap melihat aku keluar dari kamar, lalu pelajar SMP yang sudah mengenakan seragam biru putih-nya ini berdiri di hadapanku.

''Mas Herio ... akhirnya, Mas bangun juga ... Rangga dari tadi menunggunya di sini, Rangga mau bangunin, Mas Her ... tapi tidak enak ... takut mengganggu!'' Rangga nyengir dengan memamerkan gigi putihnya.

''Ada apa?'' tanggapku datar.

''Kata Mamah ... Mas Her mau bicara sama Rangga, apa itu benar?''

''Telat ...'' timpalku agak ketus.

''Sorry, Mas ... semalam Rangga ketiduran ...'' Rangga menunduk lesu.

''Iyaa, sudah ... minggir! Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan,'' ucapku sedikit kesal.

''Mas Her ... kamu marah, ya?''

''Tidak!''

Aku langsung ke dalam kamar mandi dan meninggalkan Rangga yang masih berdiri terbengong di depan pintu. Aku membuang hajat kecil dan mencuci mukaku segera. Setelah merasa segar, aku keluar dari kamar mandi ini dan berjalan kembali ke kamar tidurku. Aku terkejut dan heran, karena melihat Rangga masih berdiam diri di depan kamarku.

''Kok, kamu masih di sini?'' tanyaku.

''Rangga masih penasaran, Mas ... sebenarnya masalah apa yang hendak Mas Herio utarakan kepada Rangga ...'' jawab Rangga.

''Semua sudah basi, Rangga ... dan tak ada lagi yang musti aku bicarakan kepada kamu ... udah sebaiknya kamu segera berangkat ke sekolah!''

''Hmmm ... Rangga pikir ada hal yang sangat penting sampai Rangga bela-belain bangun pagi dan duduk di depan kamar orang yang sedang tidur ... ternyata... Rangga cuma dikerjain ... Huh!'' Rangga bersingut, lalu ngeloyor tanpa memandang ke arahku.

''Rangga!'' seruku menahan langkahnya, namun cowok brondong itu tak mau menggubrisku, dia terus melenggang dan tak peduli dengan teriakanku.

''Rangga Hidayat!'' seruku lagi memanggil nama lengkapnya, dan bocah ini pun akhirnya menghentikan langkahnya dan mau mendongak ke arahku.

''Ada apa lagi sih, Mas Her!''

''Rangga ... aku tidak marah sama kamu!''

''Iya ... Rangga tahu, kok!''

''Aku cuma kecewa ... karena semalam aku benar-benar menunggumu di kamar!''

''Ya ... 'kan Rangga sudah minta maaf dan jelasin alasannya mengapa Rangga tidak langsung datang!''

''Iya ... kamu sudah minta maaf tadi ... dan aku memaafkanmu!''

''Iya, sudah ... tidak ada lagi yang musti dibicarakan, bukan?''

''Oke ... hati-hati di jalan!'' Aku mencoba melepas senyuman walaupun senyuman yang kaku.

''Thank you, Mas ...''

Rangga melanjutakan langkahnya dan berlalu dari pandanganku.

__Hmmm ... ada apa dengan diriku? Mengapa di setiap berhadapan dengan bocah itu aku tidak bisa marah. Rangga itu seolah memiliki sesuatu yang membuatku jadi terbawa ke dalam arus yang aku sendiri tidak paham dimana muaranya. Arrggghhh ... mengapa aku jadi sentimentil begini ... aku tidak mau ada perasaan apa pun pada bocah laki-laki itu, kecuali rasa sayangku ini hanya sebatas kasih sayang kakak terhadap adiknya. Aku tidak mau Rangga masuk ke dalam duniaku yang penuh dengan lika-liku, penuh kerikil dan berkelok-kelok. Dia terlalu muda untuk terjerumus ke dalam dinamika kehidupan yang berwarna-warni ini.

Tinta Putih Di Lembar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang