Lembar 111 : Gesekan

1.8K 53 14
                                    


JARI telunjukku perlahan mengusap-usap pinggiran lubang anal Rangga kemudian dengan sangat hati-hati jari ini menyelusup lembut ke dalam rongga sarang belut Rangga yang masih refleks menolak kehadirannya. Sarang belut Rangga menutup rapat dan menjepit sebagian jari telunjukku. Aku mengorek-orek dinding gua basah itu dengan lembut agar otot-otot cincin di sarang belut Rangga bisa terbuka dan menganga kembali. Aku terus membuat gerakan berputar-putar dan menusuk-nusuk hingga gua basah Rangga berlendir, ketika lubang itu sudah nampak terbiasa dan becek aku masukan satu lagi jari tengahku. Dan kini dua jariku sudah tenggelam di rongga dubur Rangga. Sejurus kemudian aku menarik ulurkan jari-jari itu sehingga membentuk gerakan keluar-masuk seperti gerakan injeksi.

''Ough .... '' Rangga meringai menahan rasa nyeri, dia menggigit bibirnya sendiri dengan kondisi mata yang setengah merem dan setengah melek. ''Aaah .... '' Suara Rangga terdengar kesakitan saat jari-jariku ini dengan kasar mengobok-obok liang pembuangannya.

''Aww!'' jeritan Rangga.

''Kenapa, Rangga?''

''Sakit, Mas ... Periihhh!'' Rangga meringai.

''Ini baru jariku, Rangga ....'' Aku mengeluarkan jariku dari lubang sarang belut Rangga.

''Emmmm ....'' Rangga masih meringai dan tanpa sadar menitikan air matanya, aku jadi tidak tega melihatnya. Dengan sigap aku mendekati wajahnya dan mengusap rambutnya dengan lembut.

''Maafkan aku, Rangga ... aku jadi membuatmu begini ... aku janji aku tidak akan melakukannya lagi ... aku tidak mau melihatmu kesakitan seperti ini!'' Aku menghapus air mata Rangga yang mengalir di kedua pipinya.

''Sakit sekali, Mas ... tapi tidak apa-apa ... Rangga akan mencoba menahannya ... lanjutkan saja!''

''Tidak ... aku tidak mau menyakitimu!''

''Rangga sudah siap, Mas ... ayolah ... lakukan ... biar Rangga tidak penasaran!''

''Cukup, Rangga ... aku tidak bisa melihatmu menderita begitu!''

''Tidak apa-apa, Mas Her ...''

''Rangga ... dengarkan aku ... aku sayang dan cinta sama kamu bukan untuk begituan semata ... tolong berhentilah kamu memaksaku!''

Rangga jadi terdiam.

''Rangga ... aku menyayangi kamu dengan penuh ketulusan ..." Aku mengecup kening Rangga, namun brondong ganteng ini masih bungkam seribu bahasa. Aku tidak tahu apa yang ada di benak bocah ini, raut wajahnya seolah mengisyaratkan ada sedikit rasa kekecewaan.

''Mas Herio ... Rangga juga sayang sama Mas!'' Rangga tersenyum lalu dia memelukku dan melumat bibirku, "Rangga mengerti ... dan tak akan memaksa Mas Her lagi,'' imbunya.

''Ah ... Rangga ... syukurlah kalau kamu bisa mengerti ... mmmuaachhh!'' Aku mencium balik bibir Rangga lalu melumatnya dengan sentuhan nafsu yang menggebu-gebu, hingga kami jadi bergulat di atas kasur, saling menindih dan saling menggesekan tubuh. Tubuh kami berdua bergulingan seperti para pemain smackdown.

''Tapi, Mas ... apakah Rangga juga diijinkan bila suatu saat nanti Rangga ingin merasakan pantat Mas Her?''

''Hah?'' Aku mengernyit karena tidak percaya dengan apa yang dikatakan Rangga barusan.

''Kenapa, Mas?''

''Kamu mau nge-fuck aku, Rang?''

''Iya, Mas ... boleh tidak?''

''Hehehehe ....'' Aku jadi tertawa geli.

''Kok tertawa ... tidak boleh, ya?''

''Iya ... Nanti kamu boleh ngentotin aku sepuasmu, Rangga!''

''Kalau sekarang bagaimana?''

''Apa! Kamu serius, Rangga?'' Aku kembali mengeryitkan jidatku.

''Hahahaha ... Rangga cuma bercanda, Mas!''

''Aah ... dasar kamu ini!'' Aku menjitak kepala Rangga, jitakan sayang yang membuat Rangga jadi tersipu.

Aku dan Rangga kembali berpelukan mesra, kami melanjutkan pergulatan ini hingga kami sama-sama merasakan ada sesuatu yang hendak keluar dari lubang kencing kami. Yupss ... kami saling mencumbu dan saling mengadu alat kelamin dengan gesekan-gesekan manja penuh gairah sampai kami berdua ngompol kenikmatan dengan menyemburkan lava kami masing-masing yang membanjiri perut dan dada kami.

__Aaahhhh ... lega!

Tinta Putih Di Lembar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang