''Hai, Herio ... selamat pagi, Bro!'' sapa Sofiano ketika dia menyadari keberadaanku yang dari tadi memperhatikan aksi romantisnya bersama pasangan hidupnya. Laki-laki yang nampak gagah dengan setelan satpam itu berjalan menghampiriku, kemudian dia menyalami tanganku dengan sangat erat menandakan bahwa Sofiano adalah sosok pribadi yang memiliki penuh rasa percaya diri dan kuat.
''Selamat pagi, Mas Fiano ...'' balasku singkat sembari melirik ke arah istrinya (Mbak Lastri) yang masih berdiri di depan pintu. Perempuan berkulit putih bersih itu nampak tersungging melempar senyuman simpulnya.
''Sampeyan arep mangkat (kamu mau berangkat) juga toh, Her?'' ujar Sofiano berlanjut.
''I-iyo, Mas ...'' jawabku.
''Yo wis bareng bae karo aku, Her ... numpak motor ... aku ngowo motor kok!''
''Lho ... emange sampeyan ora bareng bojone pok, Mas?''
''Ora ... Bojoku mangkate awan ... jam siji-nan!''
''Oh, begono ...''
''Iyo ... yuk bareng inyong!''
''Oke ... tapi kayaknya kita beda jalur deh, Mas ...''
''Ora opo-opo ... aku antar sampeyan sampai depan wae!''
''Yo, wis-lah ... yuk!''
Aku dan Sofiano bergegas menuruni tangga, namun sebelum turun, Sofiano melambaikan tangannya kepada istri tercintanya, dia berpamitan dengan memberikan kiss bye dari jarak jauh. Sungguh mereka berdua adalah pasangan yang sangat romantis. Mereka terlihat kompak dan cocok, wajah mereka sama-sama rupawan (yang cowok tampan dan yang cewek juga cantik). Mas Sofiano dan Mbak Lastri bagai sepasang abang none yang patut dijadikan contoh.
''Kalian berdua ... benar-benar pasangan yang ideal dan menjadi sosok figur idaman ...'' pujiku saat aku dan Sofiano berada di garasi.
''Idaman opo toh, Her ...''
''Idaman para pasangan mudalah, Mas...''
''Ah ... biasa aja, kok ..."
''Jujur ... aku merasa iri dengan kehidupan sampeyan, Mas ...''
''Ora usah iri, Her ... lebih baik sampeyan cepat-cepat nikah wae ... ben iso ngerasake syurgane dunia ...''
''Ngomong sih gampang, Mas ... lha aku arep nikah karo sopo? Wong calone be urung enek ...''
''Hahaha ... gagian golek ra, Herio!''
''Sopo sing gelem karo aku, Mas ...''
''Lho ... sampeyan iki ganteng lho, Herio ... mosok ora enek sing kepincut karo panjengan, sih ...''
''Ganteng opone?"
''Ganteng raine sampeyan-lah ...''
''Jaman saiki, Mas ... Ganteng wae ora cukup ... kudu ditopang karo duit sing akeh ...''
''Iyo, sih ... akeh wedhokan sing koyo ngono ... matre ... goleke lanangan sing sugih ... akeh bondone. .. padahal kawin kuwi sing dibutuhi mung manuk tok ...'' (Iya sih banyak perempuan yang seperti itu, matrealis, mencarinya laki-laki yang kaya, banyak harta bendanya, padahal kawin itu yang dibutuhkan hanya 'burung').
''Hahaha ... sampeyan iso wae, Mas ...''
''Lho, iyo toh ... aku ngomong sak benere ... percuma akeh bondone ... duite milyaran tapi manuke ora iso ngaceng ... kan ora iso kawin. Hehehe ...''
''Iyo ... sampeyan bener!''
Aku dan Sofiano jadi ngakak panjang. Obrolan pagi yang cukup menghibur buatku. Sofiano memang kocak dan pintar membuat suasana menjadi lumer dengan guyonan-guyonan yang mampu mengocok kontol. __Eh, perut maksudku! Hehehe ....
''Ayo, naik Her!'' ucap Sofiano sembari men-starter sepeda motornya.
''Oke!'' Aku pun segera menaiki jok motornya kemudian tanganku melingkar di pinggang Sofiano. Dan sejurus berikutnya, Sofiano menarik gas-nya hingga motor ini meluncur dengan kecepatan yang sedang menyusuri jalanan beraspal di gang-gang kecil perkampungan wilayah Jakarta Pusat.
Beberapa menit kemudian, aku menepuk pundak Sofiano untuk menghentikan laju kendaraannya pas berada di jalan utama.
''Stop, Mas ... aku turun di sini saja!'' ucapku, dan seketika itu pula Sofiano menge-rem motornya, lalu aku segera turun dari jok motornya ini.
''Thanks ya, Mas ... sudah memberikan tumpangan sampai di sini!'' lanjutku.
''Iyo, Her ... podho-podho ...'' timpal Sofiano seraya menghidupkan kembali kendaraannya kemudian tanpa banyak kata lagi dia bergegas menjalankan motornya itu dan meninggalkan aku yang masih berdiri di tepi jalan. Aku menunggu angkutan umum yang biasa aku gunakan untuk melanjutkan perjalananku menuju kantor. Karena jalur Mas Sofiano dan Jalurku berseberangan jadi kami terpaksa berpisah di tempat ini. Padahal aku merasa senang sekali bisa berboncengan dengan Mas Sofiano. Selain dia orangnya asik diajak ngobrol ... dia juga wangi dan penuh daya pesona. __Aah ... Mas Sofiano, andai kamu belum menikah dan mempunyai orientasi seksual yang sama ... mungkin aku mau jadi BF-nya.
__Aduhhh ... apa sih, yang aku pikirkan! Mengapa aku jadi ngelantur begini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinta Putih Di Lembar Hitam
Short StoryUntuk 17++ Dia Ranggaku, brondong tampan yang membuatku jatuh cinta. Memberi warna baru dalam hidupku untuk menjelajahi dunia cinta semu.