Lembar 128 : Nanas

1.3K 46 1
                                    

SETELAH melihat kecelakaan di jalan, aku melanjutkan petualanganku ke pasar tradisional atau biasa dikenal dengan Pasar Gembrong. Di tempat ini aku berkelana menyaksikan proses jual-beli yang terdapat pada pasar inspres tersebut. Walaupun nampak pengap dan bising karena aktivitas mereka (penjual dan pembeli), aku tetap menikmati pemandangan yang cukup menyita perhatianku ini.

Hampir di semua gerai terjadi tawar menawar yang terlihat pelik, namun tetap seru dan asik untuk dicermati. Tentu ini jauh berbeda bila kita datang ke mall-mall atau pasar modern, karena mayoritas pedagang di sana sudah mematok harga yang mutlak yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Padahal dalam pandangan islam syarat jual beli harus ada ijab qobul yang didahului proses tawar menawar hingga mencapai kesepakatan bersama sebagai wujud pertukaran barang/jasa yang sah. Dengan begitu baik penjual maupun pembeli merasa puas dan ikhlas tanpa ada merasa dirugikan.

Oke ... aku terus berjalan menyusuri koridor pertokoan, mataku liar menyapu setiap sudut bangunan di pasar ini. Dan di sebuah gerai, mataku jadi terfokus pada sesosok pria dengan wajah rupawan yang bertelanjang dada yang sedang sibuk melayani beberapa pelanggannya. Pria berkulit putih itu seorang pedagang daging potong. Tak hanya memiliki tubuh yang menarik, dia juga nampak luwes menghadapi ibu-ibu yang sedang berbelanja di tempatnya. Sungguh trik marketing yang luar biasa menurut aku, karena dia memanfaatkan kemolekan tubuhnya untuk mempromosikan barang dagangannya, sehingga banyak pelanggan yang tertarik dan ngantri untuk membeli daging di gerainya itu.

Hmmm ... puas berkeliling area pasar, akhirnya aku memutuskan untuk mampir ke gerai buah-buahan. Di sini berbagai macam buah-buahan segar terpajang rapi dan menggugah selera untuk mencicipinya. Ada aneka rupa jenis buah, Anggur (hitam, merah, dan hijau), varian buah apel, jeruk, mangga, nanas, sirsak dan masih banyak lagi yang lainnya. Tapi, aku cuma ingin buah nanas. Karena udara panas seperti sekarang ini kayaknya sangat segar bila menyantap buah nanas.

''Boleh, Kakak ... buahnya!'' tawar salah seorang pedagang buah kepadaku. Wanita yang berdandan sederhana ini memasang wajah ramah dengan senyum yang mengembang lebar.

''Cari buah apa, Mas ... di sini ada semua!'' tawar pedagang buah yang lain. Dan penampilan wanita yang satu ini terlihat lebih berani dengan dandanan yang agak menor dan pakaian yang sedikit terbuka. Pakaiannya sangat ketat sehingga memperlihatkan bentuk lekuk tubuhnya yang lumayan sexy. Apalagi dua gunung kembarnya juga nampak membusung seperti dua buah melon yang bulat. Kerah bajunya sangat rendah sehingga menonjolkan belahan dadanya yang terlihat mbleber seolah dia memakai bra yang ukurannya kekecilan.

''Mmm ... aku cari buah nanas, Mbak ...'' ungkapku agak cangggung karena berhadapan dengan wanita yang berpakaian kelewat sexy untuk ukuran pedagang buah di pasar tradisional ini.

''Oh, nanas ... ada, Mas ... mau yang lokal atau yang import?'' sahut wanita bergincu merah menyala ini dengan antusias.

''Yang lokal aja, Mbak ... soalnya aku lebih suka produk-produk dalam negeri. Hehehe ...'' timpalku.

''Oke ... mau nanas Cayenne atau nanas Queen? ''

''Apa bedanya, Mbak?''

''Nanas Cayenne itu nanas dari Subang buahnya lebih gede dan daunnya halus tidak berduri, kalau nanas Queen, ini nanas dari Bogor bentuknya lebih kecil daunnya berduri tapi rasanya lebih manis dan segar!''

''O, gitu ... ya!'' Aku manggut-manggut sambil memperhatikan sikap pedagangnya yang agak genit-genit gimana gitu.

''Iya, Mas ... Mas-nya mau yang mana?'' Wanita ini mesam-mesem.

''Aku maunya yang murah sih, Mbak?'' Mataku tak bisa fokus karena belahan di dadanya yang kelewat semok.

''Harganya sama aja kok, Mas ...''

''Emang berapaan, Mbak?'' tanyaku.

''Tiga buah dua puluh ribu sudah dikupas'' jawab wanita itu tegas.

''Ga ada yang satuan, gitu?"

''Bisa ... kalau satuan harganya 10 ribu, Mas!''

''Ga bisa kurang, Mbak?''

''Mmm ... bisa sih, tapi dikit.''

''Goceng aja ya, Mbak ...'' ujarku dengan memasang wajah memelas.

''Hehehe ... belum bisa, Mas ... paling saya kasih 7 ribu.'' Pedagang buah ini kayaknya mulai kesal karena aku kelewat rewel dalam tawar menawar.

''Ya, deh ... aku beli satu ya, Mbak.''

''Oke, Mas ...''

Wanita ini langsung mengambilkan satu buah nanas yang sudah dikupas lalu membungkusnya ke dalam plastik. Lalu buah itu diberikan kepadaku setelah aku menyerahkan sejumlah uang yang pas sesuai dengan kesepakatan.

__Nah begitulah kalau belanja di pasar tradisional harus pintar-pintar menawar, kalau tidak? Bisa kemahalan deh, barang yang kita beli.

Well ... setelah mendapatkan buah nanas yang aku inginkan, aku pun segera meninggalkan Pasar Gembrong ini. Kemudian karena aku tidak memiliki tujuan lagi, akhirnya aku memutuskan untuk pulang kembali ke kost-ku, lagipula hari sudah semakin siang dan terik matahari sudah sangat panas. Aku tidak mau berlama-lama di luaran, karena takut kulitku jadi gosong.

__Hahaha ... gak, sih ... ini mah cuma bercanda, aku tidak pernah takut kulitku menjadi gelap lantaran terpapar sinar matahari soalnya warna kulitku sudah eksotik dari sononya, (orang bilang sih, sawo matang).

__Nah ... kalau sudah matang begini harusnya kita jaga biar tidak menjadi kelewat matang alias busuk. Hahaha ... (Ga lucu, ah!)

Tinta Putih Di Lembar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang