"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Oke cukup. Hari ini aku punya berita penting untuk kalian." Ujar Gennie, senior yang melatih tim pesorak.
Semua siswi-siswi cantik tampak diam menunggu apa yang akan dikatakan oleh Gennie.
"Oke, aku dipilih para guru untuk mengganti anggota tim pesorak dengan kalian kelas 2, berhubung dengan kelas tiga yang akan menghadapi sederet ujian." Jelas Gennie. Dia lalu menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya sebelum memberitakan pengunguman penting.
"Baiklah. Bagian pembentukan tim sudah terlaksana. Kalian yang lolos seleksi. Beberapa latihan juga sudah terlaksana. Untuk itu, sekarang adalah waktunya untuk pemilihan pemimpin tim pesorak yang baru." Lanjutnya.
Semua gadis di situ tampak gugup. Tak terkecuali Erica. Gadis itu setengah berharap dan setengah gugup. Kini Gennie bersuara lagi dan kegugupannya meningkat.
"Dan, yang menjadi pemimpin tim pesorak yang baru adalah......" Ucap Gennie menggantung kalimatnya. Semua gadis kini tak bernapas. Ada yang memejamkan mata, dan ada yang matanya terbuka lebar.
"Erica." Ucap Gennie akhirnya.
***
Sehari berlalu. Namun hari ini sangatlah hebat bagi Erica. Ke sudut manapun dia pergi, semua siswa-siswi tampak membicarakannya. Tentu saja berita tentang dirinya yang menjadi pemimpin baru tim pesorak menyebar luas kemana-mana.
Gadis itu menjadi sorotan. Beberapa siswa terkenal tampak menjadikan dia sebagai target. Bahkan beberapa sudah mulai melakukan pendekatan. Namun, Erica tak menggubris mereka. Di hatinya sudah ada yang duluan menempati. Raymond.
Erica sedang berada di lapangan basket sesudah latihan dengan beberapa anak buahnya. Dia kini sedang membereskan beberapa peralatannya.
Perhatiannya teralihkan kepada seseorang yang baru saja datang ke lapangan basket itu. Ray. Pria itu datang sendiri dengan bola basketnya. Rupanya Ray akan bermain basket.
Erica memutuskan untuk menghentikan kegiatannya. Dia duduk dan menopang dagunya lalu memerhatikan Ray yang sudah mulai mendribel bola di sana.
Ray tak menyadari kehadiran Erica. Pria itu terus bermain dengan asik sampai bola basket yang dilemparnya meleset ke tempat lain. Naasnya, bola basket itu meleset dan menghantam kepala Erica yang duduk di situ.
"Awww." Ringis Erica. Bola itu menghantam kepalanya dengan keras sehingga membuatnya agak pusing.
Ray terkejut dengan kehadiran Erica disana. Dia lebih terkejut lagi ketika bola basket yang dimainkan mengenai kepala Erica. Lantas Ray mendekat pada Erica yang sudah mulai linglung.
"Hey, hey kau tak apa?" Tanya Ray lembut sambil berjongkok.
Seperti obat yang meresap masuk ke dalam diri. Rasa sakit di kepala Erica hilang begitu saja ketika Ray menyetuh pundaknya.
Pandangan Erica terangkat menuju mata Ray dan terhenti disana. Pandangan mereka beradu satu sama lain. Erica sangat menikmati detik-detik itu. Menatap manik biru yang diharapkan kelak menjadi miliknya.
***
"Damn, damn, damn, what i've do to have you here, here, here. I wish you were here. Damn, damn, damn, what i've do to have you near, near, near." Itulah lirik yang mengisi telinga Anne lewat earphone putih miliknya.
Hatinya terasa tersayat. Begitu sakit sehingga membuatnya berdiri di sini, di rooftop sekolah. Air mata terkumpul di pelupuk matanya, namun berhasil ia tahan.
"Kuat, kuat, kuat. Ini baru yang pertama dan kau akan menyaksikan berderet-deret lagi." Gumam Anne pada dirinya sendiri.
Flashback on
KAMU SEDANG MEMBACA
Adrianne [COMPLETED]
Teen FictionEntah kenapa dunia terasa masih ingin menyakitinya. Seorang gadis yang telah kehilangan. Awalnya dia merasa bahwa penderitaannya pada masa kecil sudah cukup, namun takdir berkata lain. Dia disakiti. Bukan hanya sekali, namun berulang-ulang kali. Di...