Anne menyeret langkah kakinya menuju ke sekolah. Ia bersyukur karena masih dapat hidup di hari ini. Sedikit trauma baginya mengingat-ingat tragedi kemarin sepulang sekolah.
Anne merasa seolah menjadi orang asing di rumahnya sendiri. Semua tatapan yang dilontarkan padanya adalah tatapan kebencian.
Anne juga serasa ingin pergi begitu ia tak kunjung dipanggil untuk makan malam, padahal ia sudah banyak membantu. Alhasil hari ini Anne pergi ke sekolah dengan perut kosong yang keroncongan. Mungkin setelah ini jam makannya akan berubah menjadi jam 10 malam. Dan hal itupun akan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Semalam menjadi kesedihan tersendiri baginya. Malam dimana ia berusaha menahan isak tangis di kamarnya sendirian, sedangkan dibawah sana terdengar suara tawa dan canda dari meja makan.
Semalam juga malam yang lumayan menyiksanya. Karena dua harus berkutat dengan buku-bukunya untuk ulangan hari ketiga yang dilaksanakan hari ini.
Anne lalu mengangkat wajahnya. Gerbang sekolah sudah tampak di depan sana. Ia serasa ingin bolos saja ketika melihat beberapa anak-anak di sekitarnya sudah mulai berbisik-bisik.
Namun, Anne kembali memutuskan untuk terus menghadapi tak peduli berapa banyak air mata yang keluar. Kadang bisik-bisikan itu bisa berubah menjadi lontaran cacian secara langsung bagi Anne.
Hati Anne serasa dicabik-cabik mendengar teriak-teriakan itu. Air matanya tiba-tiba mengumpul di pelupuk matanya. Gadis itu kemudian mencoba membangun pertahanannya.
Anne mencoba untuk menutup telinga atas semua itu. Ia kini sedang melangkah masuk ke dalam gedung sekolah dengan sangat cepat. Namun, diluar ekspetasi Anne, di sini lebih buruk. Bahkan bisikan pun dapat didengar dengan jelas oleh Anne.
Anne lalu berjalan melewati semua itu. Tempat pertama yang ingin dikunjunginya adalah tempat loker. Anne menaiki tangga. Loker-loker ada di ujung koridor. Namun, baru saja Anne ingin mempercepat langkahnya, tiba-tiba saja beberapa gadis menghadang jalan mereka.
Gadis-gadis tersebut adalah beberapa anggota tim sorak yang dekat dengan Erica. Mereka menghadang jalan Anne secara beramai-ramai. Anne serasa ingin berbalik dan mencari jalan lain. Namun Anne mencoba mengurungkan niat tersebut.
"Oh, jadi kau yang membuli Erica." Seru salah satu gadis dengan kuat. Gadis itu diketahui bernama Arrien.
Anne sempat menyesal kenapa ia tak lari saja. Kali ini anak-anak sudah kembali berkumpul di koridor itu membentuk lingkaran yang mengepung dirinya.
"Bukan." Jawan Anne dengan datar.
Semua yang ada di situ lalu menyoraki jawaban Anne dengan kasar.
"Pembohong!"
"Pembohong!"
"Sudah salah masih bohong! Dasar!"
"Mengaku saja! Tak guna bohong!"
Beberapa gadis yang menghadangnya di depan hanya terkekeh menyaksikannya.
"Dasar pembohong!" Ucap Arrien dengan lantang membuat sedikit keheningan muncul.
Anne hanya menunduk tak ingin menatap ini semua. Ia harus belajar untuk menghadapi ini. Mungkin saja inilah yang akan berubah menjadi makanannya sehari-hari. Kata-kata itu sedikit tak asing baginya sejak kemarin waktu ia dibuli.
Dan kini salah satu hal yang sedang dirutukinya saat ini hanyalah keputusan bodohnya yang membuatnya harus kenyang dengan makanan-makanan berbahaya ini.
Keadaan mulai hening dan tegang, namun Arrien kembali angkat bicara. "Oh iya, aku dengar, kau anak yatim piatu ya. Kasihan, pantasan saja sendirian." Ucap Arrien dengan nada sok kasihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adrianne [COMPLETED]
Teen FictionEntah kenapa dunia terasa masih ingin menyakitinya. Seorang gadis yang telah kehilangan. Awalnya dia merasa bahwa penderitaannya pada masa kecil sudah cukup, namun takdir berkata lain. Dia disakiti. Bukan hanya sekali, namun berulang-ulang kali. Di...