Jeon Siyeon tidak pernah menduga bahwa insiden penjambretan yang menimpanya justru mempertemukan dirinya dengan Kim Mingyu-idol papan atas yang tengah berada di puncak kesuksesan bersama grupnya, SEVENTEEN. Siyeon juga sama sekali tidak menduga bahw...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Apa yang terjadi dua hari lalu adalah komunikasiku terakhir dengan Mina. Hari ini tak ada lagi percakapan di antara kami. Meskipun beberapa kali aku berpapasan dengan Mina di koridor atau di depan pintu kelas, aku tak menyapa atau mengajaknya pergi bersama. Bukan karena aku menyerah untuk memperbaiki hubungan persahabatan kami, aku hanya menuruti dan melakukan apa yang dikatakan Mina waktu itu.
'Mulai hari ini, menjauhlah dariku seperti aku menjauhimu. Kau yang terus berusaha mendekatiku seperti ini justru akan membuatku semakin membencimu.'
Kalimat itu terus terngiang di kepalaku selama perjalanan pulang ke rumah. Aku memikirkan rentetan kalimat itu matang-matang. Jika itu membuat Mina merasa lebih baik dan akan mengurangi rasa bencinya padaku, maka aku akan mengalah meskipun sulit bagiku.
Dan pada akhirnya aku memutuskan aku akan menuruti permintaan Mina. Aku tidak ingin Mina semakin membenciku jika aku terus berusaha mendekatinya. Memohon-mohon minta maaf padanya pun kurasa tak ada pengaruhnya karena itu justru akan membuat Mina semakin merasa risih karenaku.
Seperti yang Mina inginkan, aku benar-benar menjaga jarak darinya—dalam artian aku tidak lagi mencari-cari kehadirannya seperti sebelumnya. Aku hanya bisa memberikan tatapan merasa bersalah dan minta maaf ketika kami berpapasan, namun Mina hanya berlalu begitu saja tanpa melihat ke arahku. Rasanya aku ingin menangis, sungguh. Kami yang sudah saling mengenal sejak kelas 1 SMA dan membangun persahabatan selama ini, kini layaknya dua orang yang tak saling mengenal.
Aku yakin hari-hariku ke depannya pasti akan terasa hampa tanpa sosok Mina yang selalu ceria dan suka berceloteh tentang banyak hal dari yang serius sampai yang receh sekalipun. Tak bisa dipungkiri, tentu saja aku merindukannya dan juga kehadirannya di sisiku. Aku bukan tipe orang yang mudah bergaul. Hanya Mina satu-satunya orang terdekatku di kampus. Teman-teman yang lain, aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Mungkin hanya saat ada tugas kelompok atau keperluan semacamnya saja aku berbaur dengan mereka, tidak lebih. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan terus seorang diri tanpa teman seperti ini.
Kumatikan layar ponselku yang menunjukkan fotoku bersama Mina ketika kami berjalan-jalan di daerah Myeongdong dua minggu lalu sebagai wallpaper. Setelah memasukkan ponselku ke dalam saku jaket yang kukenakan hari ini, aku mengambil novel yang tergeletak di sampingku. Saat ini aku sedang menghabiskan waktu istirahat di taman kampus. Seorang diri, tentu saja.
Setelah membeli roti dan sekotak bananamilk di kafetaria, aku segera menuju ke sini—mengincar spot favoritku yakni sebuah kursi panjang dari beton yang dibangun tepat di bawah pohon rindang. Kursi yang kududuki sekarang bukan hanya satu-satunya kursi yang ada di taman ini, terdapat pula beberapa kursi lainnya—hanya saja pohon yang menaunginya tak serindang dan sesejuk di sini. Aku dan Mina sering duduk disini sekedar bersantai atau mengerjakan tugas dari dosen sampai akhirnya tercetuslah bahwa kursi ini adalah spot terfavorit kami.
Aku menghela napas. Lagi-lagi aku teringat dengan Mina, hingga sebuah pertanyaan terlintas di benakku. Meskipun Mina membenciku, apakah dia masih memikirkanku?