Jeon Siyeon tidak pernah menduga bahwa insiden penjambretan yang menimpanya justru mempertemukan dirinya dengan Kim Mingyu-idol papan atas yang tengah berada di puncak kesuksesan bersama grupnya, SEVENTEEN. Siyeon juga sama sekali tidak menduga bahw...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Siyeon's POV
Tanpa sepatah kata pun, Jeonghan tiba-tiba menarikku dalam pelukannya.
Tangannya mengusap kepalaku yang bersandar di dadanya, lalu beralih bergerak menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. Selama itu pula, aku hanya bisa diam mematung.
Aku tahu. Ia memelukku bermaksud untuk memberiku semangat. Harusnya cukup hanya dengan pelukan singkat, namun detik demi detik terus berlalu dan ia tak kunjung mengurai pelukannya.
Lalu hal itu terjadi tanpa diduga. Jeonghan mencium puncak kepalaku-cukup lama hingga aku bisa dengan jelas merasakan deru napasnya yang berhembus di atas kepalaku.
Air mataku menetes tanpa bisa kucegah.
Perlakuannya membuatku merasa masih ada orang-orang yang peduli dan menyayangiku di saat segelintir orang membenciku mati-matian.
Air mataku terus mengalir. Aku menangis dalam diam karena kini, wajah seseorang terbayang olehku.
Mingyu.
Aku merasa bersalah padanya.
Ini sungguh tidak bisa dibenarkan.
Mingyu terluka. Kekasihku terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Sementara aku di sini, dengan tak tahu dirinya berpelukan dengan lelaki lain.
Harusnya aku segera menyudahi pelukan ini, bukan membiarkannya berlarut-larut hingga membuatku terjerumus ke dalam perasaan nyaman dan hangat yang Jeonghan berikan. Ketika seharusnya aku protes atau bertanya apa maksud dari kecupannya di kepalaku, aku justru hanya diam seperti orang bodoh. Seakan-akan aku adalah perempuan tak tahu malu yang senang menerima perlakuan istimewa dari lelaki lain di saat aku sadar diriku sudah memiliki seorang kekasih. Aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa.
Kupejamkan mataku agar tangisku berhenti. Entah berapa menit berlalu hingga akhirnya Jeonghan benar-benar melepaskan pelukannya.
"Pulang dan beristirahatlah." Ia menarik tubuhnya menjauh. Aku menunduk, tak bisa menatap matanya. Mungkin ia sedang menatapku dengan senyum hangat dan sorot matanya yang lembut atau justru dengan ekspresi lain-memandangku prihatin misalnya, aku tidak tahu. Aku tidak akan mengangkat kepalaku dan membiarkannya tahu bahwa aku sempat menangis lagi tadi.