Nathan turun menemui ibunya, dan membicarakan kesehatan jiwa adiknya itu.
"Ma? Mama?" Ucap Nathan.
Silvi keluar dari kamar dan mencari arah sumber suara itu.
"Iya?" Balas Silvi.
"Ma, Nathan mau ngomong" Ucap Nathan.
Mereka berdua duduk diatas sofa sambil berbincang-bincang.
"Ma, Akhir-akhir ini mama ngerasa ada perubahan ga sama Raina?" Tanya Nathan.
"Perubahan apa? Jadi lebih diam? Dari dulu dia kan memang pendiam" Balas Silvi.
"Bukan Ma, kalau itu Nathan tau" Sahut Nathan.
"Terus apa?" Tanya Silvi.
"Kemarin Nathan habis nganterin dia dari rumah temen nya, Eh ditengah jalan tiba-tiba aja dia minta turun. Taunya dia bilang lihat Lion. Padahal mama tau kan pacarnya itu udah meninggal?" Ucap Nathan.
"Maksud kamu Raina halusinasi?" Balas Silvi.
"Bukan lagi Ma, Nathan takut kalau Raina stres gara-gara ditinggalin Lion" Sahut Nathan kemudian.
"Hmm terus rencana kamu apa?" Tanya Silvi.
"Menurut mama salah ga sih kalau kita bawa Raina besok ke psikiater? " Ucap Nathan.
"Ya, Mama setuju. Besok kita bawa dia kesana" Balas Silvi.
**
Keesokan harinya,
Silvi mengunjungi Raina,
Ia ingin membawanya ke psikiater seperti perintah Nathan kemarin."Raina?" Ucap Silvi.
"Iya, Masuk aja ma. Pintunya ga dikunci" Balas Raina.
"Hari ini kan kamu libur, Mama mau ajak kamu keluar sebentar. Kamu siap-siap ya? Mama tunggu dibawah sama kakak" Sahut Silvi.
"Raina lagi males ma, Raina dirumah aja" Balas Raina.
"Loh Mama kan mau ajak kamu refreshing, Biar kamu ga suntuk dirumah terus" Ucap Silvi.
"Biasanya juga gitu" Ucap Raina.
"Raina.." Sahut Silvi kembali.
"Iya,Nanti Raina nyusul" Balas Raina.
Silvi pun akhirnya meninggalkan Raina.
Tak selang beberapa lama,
Silvi memberhentikan mobilnya didepan tempat Konsultasi Psikis."Loh katanya mau jalan-jalan, Kok berhenti disini?" Ucap Raina.
"Mama ada urusan" Balas Silvi.
Raina pun terpaksa turun dan mengikuti ibunya sebab udara di dalam mobil sangat terasa panas.
"Raina temenin mama ke dalam ya" Ucap Silvi.
"Engga ah, ini sama kakak aja" Sahut Raina.
"Yaudah semua nya ikut masuk" Balas Silvi.
"Ga, Kakak sama Mama aja. Raina tunggu disini" Ucap Raina.
"Raina..." Balas Silvi.
"Hufttt, Iya iya" Sahut Raina.
Ia pun akhirnya menuruti perintah ibunya.
Didalam ia bertemu sosok wanita cantik mengenakan baju seperti Dokter.
ya! dia adalah seorang Psikiater.
"Bagaimana? ada yang bisa saya bantu?" Tanya Psikiater itu.
"Begini bu, Ini saya mau konsultasi kondisi anak saya" Balas Psikiater itu.
"Emm, Bu? Bisa bicara sebentar?" Ucap Nathan.
"Silahkan silahkan" Balas Psikiater itu.
Mereka pun meninggalkan Silvi dan Raina menuju ruang terapi.
Disana Psikiater itu sedang berbicara empat mata dengan Nathan.
"Jadi begini bu, adik perempuan saya sering mengeluh melihat penampakan pacarnya akhir-akhir ini. Padahal pacarnya itu udah lama meninggal" Ucap Nathan.
"Baik, Saya akan mencoba mengajukan beberapa pertanyaan sama dia. kalau dirasa perlu tindakan lanjut saya akan memberi kabar" Balas Psikiater itu.
Nathan keluar dari ruangan itu.
"Emm, Saudara Raina boleh bicara sebentar?" Ucap Psikiater.
Raina tak mau membangkitkan dirinya dari atas kursi.
Namun, karena ia tak enak.
Terlebih ia juga tak mengenal siapa psikiater ini.
Akhirnya, Raina pun terpaksa menurutinya.Raina masuk ke dalam ruangan itu bersama sang Psikiater.
"Hmm, Siapa nama panjang kamu?" Tanya Psikiater itu.
"Raina Adrina"
"Namanya bagus, Orangnya juga cantik"
"Hmm,Makasih. Maaf sebelumnya, Tujuan saya dipanggil kesini itu buat apa ya?"
"Saya cuman mau ngobrol berdua sama kamu"
"Tapi kenapa harus saya? kenapa engga Mama atau Kakak saya?"
Psikiater itu tersenyum.
Lalu ia langsung mengintrogasi Raina."Kamu masih sekolah, kuliah, atau sudah kerja ?"
"Saya masih SMA"
"Oh masih sekolah kamu, Emm kamu sekolah dimana?"
"SMA LENTERA NUSANTARA"
"Sekolah itu terkenal bagus, banyak murid teladan dengan wajah yang rupawan disana"
"Iya"
"Ada salah satunya yang kamu suka?"
"Maksudnya?"
"Kamu punya kisah cinta selama SMA?"
raina tetap terdiam tanpa mau menjawab apapun.
Lalu psikiater itu berdiri dan memegang salah satu bingkai foto dimejanya.
Foto itu sepertinya lukisan dirinya dengan suaminya."Saya pernah merasakan jatuh cinta, Itu juga terjadi ketika saya masih duduk di bangku sekolah. Waktu itu memang masa-masa indah yang pernah saya jalani. Sampai saya dan suami saya pun menikah. Namun saya mandul dan dia meninggalkan saya begitu saja"
"Lalu apa yang anda lakukan setelah
Beliau pergi?""Saya bangkit, Saya harus tunjukkan kepada dia bahwa saya bukan seperti yang dia pikirkan. Bahwa Saya bisa sukses walau tanpa dia"
"Anda masih beruntung, Karena beliau masih hidup"
"Beliau memang masih hidup tapi sampai sekarang saya tidak pernah mengetahui dimana keberadaanya"
"Sudah beberapa bulan yang lalu, teman dekat saya meninggal. Tapi sampai sekarang saya masih belum rela dia pergi"
Psikiater itu lalu meninggalkan Raina dan menemui Silvi.
"Anak ibu hanya perlu perhatian dari sekelilingnya, jangan sampai ia melamun. Ilusi itu hanya akan datang menghampirinya apabila lelaki itu masih ada di pikirannya" Ucap Psikiater.
Setelah usai berkonsultasi,
Lalu mereka pun melanjutkan perjalanannya.