Kepergian Maurren benar-benar membuat Adriella terpuruk, Adriella bahkan seperti monster hidup. Ia tidak berniat melakukan hal apapun, selain berdiam diri dikamar.
Ini sudah tiga hari Adriella tidak keluar kamar, tidak mandi, tidak makan, tidak sekolah, bahkan ia tidak memperdulikan bahwa hari senin besok ia akan Ujian Nasional. Ia tidak memperdulikan hal itu, yang jelas ia jadi ingin menyusul Maurren yang sudah tenang di alam surga sana. Sama seperti hari sebelumnya, kini Adriella tengah menghisap sintenya. Ia benar-benar menyukai hal ini, baginya ketika menghisap sinte itu seperti ada Maurren yang menemaninya sambil terus bercerita bagikan orang gila.
"Mar, ajak gue ke sorga dong. Gue bete banget disini, disini kayak neraka buat gue. Ngga ada yang peduli sama gue, lo udah pergi dan gue sendiri? Gila lo jahat banget, Mar! Ninggalin gue sendirian, setidaknya kabarin gue kek kalau lo mau bunuh diri biar gue ikut! Bego banget dah lo mah!" Gerutu Adriella sambil menghisap sintenya.
Adriella bahkan tidak menyadari bahwa sedari tadi sudah ada seseorang yang berdiri di depan pintu masuk kamarnya, menatap punggung Adriella dengan tatapan sedih, marah, dan kecewa pada dirinya sendiri. Bahwa sampai saat ini, ia belum bisa membuat perubahan untuk Adriella.
Adriella terdiam, lalu ia tertawa sendiri. Sepertinya Adriella sudah memasuki dunia kehaluannya, ia seperti sedang berkhayal bahwa saat ini ia sedang bermain bersama dengan Maurren disebuah taman yang terdapat pohon-pohon besar yang begitu indah. Ditaman itu juga terdapat bangku panjang berwarna putih, Adriella sedang bermain kejar-kejaran sambil tertawa begitu riang. Sial! Kini air mata Adriella jatuh menetes dari pelupuk matanya, disaat melihat itu ia malah jadi sedih? Seharusnya ia senang kan bisa bertemu dengan Maurren walaupun dalam kehaluannya.
"Shit! Mar, please come back for me." Sudah berkali-kali, ketika kesadarannya kembali Adriella selalu mengatakan hal itu.
Adriella menangis, sembari menghisap sinte dengan hisapan terakhir. Ia sendiri bingung, bagaimana caranya agar bisa mengikhlaskan kepergian sahabatnya itu. Adakah cara yang pas untuk Adriella? Entahlah, Adriella tidak tahu.
Adriella kembali mengambil sinte yang sudah ia linting sebelumnya, ia menyalakan dengan korek. Begitulah Adriella semenjak kepergian Maurren, gadis itu seperti tidak tahu diri menggunakan sinte. Yang biasanya satu kali sehari, kini bisa satu hari tiga kali. Ia benar-benar merasa frustasi.
Adriella baru saja ingin menghisap sinte yang sudah dinyalakan, namun seseorang dengan sigap mengambil sinte itu secara paksa dari bibir Adriella lalu mematikan dengan menekan di atas meja belajar gadis itu.
Gadis itu menatapnya dengan sengit "Apa-apaan sih lo! Siapa suruh lo masuk kamar orang sembarangan?"
"Ngga ada." Seru seseorang itu dengan sangat santai.
"Keluar lo!" Usir Adriella, emosinya sangat memuncak saat ini.
Seseorang itu menggelengkan kepala, ia benar-benar keras kepala. Ia tidak suka apabila ada orang yang mengganggunya.
"Keluar atau gue lempar pake vas bunga?" Ancam Adriella yang kini sudah mengambil vas bunga di atas nakas samping tempat tidurnya.
Sekali lagi, Nicholas Putra Sastrowardoyo menggelengkan kepala dengan sangat keras kepala "Sampai kapan kamu mau make barang itu, El? Kamu ngga bisa kayak gini terus! Kamu harus berubah buat masa depan kamu, saya bisa bantu kamu. Percaya sama saya, El!"
"BACOT ANJING, PERGI SANA!!" Teriak Adriella.
Nicholas melangkah mendekat kearah Adriella, namun Adriella melangkah menjauh. Ia tidak tahan, emosi di kepalanya sungguh memuncak. Ia pun memecahkan vas bunga di lantai agar Nicholas tidak melangkah mendekat kearahnya, benar saja Nicholas menghentikan langkahnya beberapa meter dari Adriella.

KAMU SEDANG MEMBACA
BUKTI [THE END]
RomanceBukti yang akan membuktikan segalanya, membuktikan bahwa sebuah perjuangan tidak akan sia-sia, sebuah perjuangan yang membuahkan hasil yang baik. Walaupun, Nicholas tahu sangat sulit mengubah seorang gadis menjadi pribadi yang lebih baik, seorang...