BAB 24 - Keluarga Maurren

152 8 0
                                    

Maurren saat ini sedang berada di rumahnya, lebih tepat dirumah neneknya. Semenjak orang tua dari Maurren bercerai, gadis itu diasuh oleh nenek maupun pamannya. Sementara papa dan mamanya pergi begitu saja meninggalkan Maurren, ya walaupun kebutuhan ekonomi masih dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Tidak jarang kedua orang tua Maurren membelikan barang-barang yang mewah untuknya, seperti mobil, ponsel terbaru, perhiasan, atau lainnya. Sama seperti Adriella dengan sangat pasti uang akan masuk ke rekening Maurren setiap bulannya.

Baru beberapa bulan bercerai, Maurren mendapatkan kabar bahwa sang mama akan menikah dengan seorang pengusaha duda yang sangat kaya raya, bahkan duda tersebut tidak memiliki anak. Sementara tidak lama dari sang mama menikah, seperti tidak mau kalah sang papa juga menikah dengan seorang janda. Sang papa menikah dengan janda yang sudah mempunyai dua anak yang lebih tua dari Maurren, janda itu memang kaya tetapi masih kalah kaya dengan sang suami dari mamanya.

Jika mengingat hal itu Maurren merasa sangat kecewa. Disaat anak-anak seusianya pada saat itu berumur 13 tahun, seharusnya ia bisa menjadi remaja yang menyenangkan, remaja yang penug cinta kasih dari keluarganya, remaja yang selalu terlihat bahagia. Namun, itu tidak berlaku untuk Maurren. Semenjak perceraian kedua orang tuanya, Maurren pribadi yang lebih banyak diam, tidak perduli dengan sekitar, gadis itu bagaikan zombie yang berbentuk manusia. Tapi, ia sangat bersyukur disaat seperti itu ia memiliki Adriella selaku sahabatnya yang selalu mendukung Maurren, selalu memberikan kekuatan untuk Maurren, selalu ada untuk Maurren. Setidaknya, Maurren tidak benar-benar sendirian.

Paman Maurren, pria itu memang seperti tidak menyukai Maurren. Menjaga Maurren hanya sebuah keterpaksaan untuk dirinya, pria itu hanya menuruti permintaan dari sang mama yang artinya nenek Maurren untuk mau menjaga Maurren. Paman Maurren sangat mengetahui semua kebandelan yang entah di turuni oleh siapa, seperti beberapa hari yang lalu. Paman Maurren melihat keponakannya baru pulang sangat pagi, sudah sering paman Maurren untuk menegurnya tapi selalu di hiraukan oleh Maurren. Seperti nasehatnya, masuk kuping kanan keluar kuping kanan. Sungguh. Ia harus sabar menghadapi keponakan itu.

Nenek Maurren, wanita tua yang sudah terlihat banyak rambut putih dan susah berjalan akibat faktor umur. Ia sangat menyayangi Maurren, tetapi Maurren tidak pernah menyadari hal itu karena nenek Maurren terkesan cuek dan tidak peduli. Tapi percayalah semua itu tidak seperti yang terlihat, ia benar-benar menyanyangi cucunya walaupun sang cucu sering mengatakan hal-hal yang tajam dan menusuk hati.

"Tumben banget ada dirumah jam segini." Sindirian itu diberikan pamannya untuk Maurren yang sedang menonton televisi dengan kaki bersilang, dan memakan snack dari dalam toples putih.

Maurren hanya menjawab acuh tak acuh "Bentar lagi cabut."

"Sekalian ngga usah pulang, atau ngga pergi dari rumah ini. Supaya gue sama nenek ngga perlu repot-repot jaga anak bandel kayak lo." Tajam sekali perkataan pamannya itu, tidak tahukah dia bahwa Maurren orang yang tidak bisa disenggol?

Maurren menghentikan aktivitasnya, lalu menatap tajam ke arah sang paman yang sudah terbilang berumur. Namun masih terlihat gaul "Lo tuh ngomong pake otak dikit ya! Gue ngga pernah nyenggol lo, jadi lo ngga berhak nyenggol gue."

"Gue berhak karena gue paman lo! Gue yang bertanggung jawab atas lo. Gue tahu ya, selama ini lo bohongin gue sama nenek. Lo sebenernya ngga pergi belajar kelompok tapi lo pergi ke club malam, iya kan?" Sang paman menjelaskan, membuat Maurren sedikit terkejut karena bisa-bisanya paman Maurren mengetahui hal tersebut.

Maurren hanya terdiam, tidak ingin menanggapi apa yang di katakan sang paman. Ia berharap neneknya datang keruang televisi agar bisa membantunya dan memarahi pamannya.

"Kenapa diem? Bener ya kata gue?" Pamannya kembali mendesak Maurren karena tidak ada jawaban dari gadis itu.

Maurren kini menghadap ke arah pamannya, lalu ia mencondongkan wajahnya kearah sang paman. Ia tidak ingin pamannya menganggap bahwa dirinya seorang pengecut atau pembohong "Kalau iya kenapa? Masalah buat lo? Engga ngerugiin lo kan? Jadi ngga usah ikut campur masalah gue, lo urus aja keluarga lo sana."

BUKTI  [THE END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang