10. Salah Paham

382 67 1
                                    

"Tunggu sebentar, kau tadi bilang apa?" Haikal memiringkan kepalanya tak mempercayai pendengarannya.

"Bertarunglah denganku di tempat ini, sekarang juga." Salvia memberi pandangan tajam pada Haikal.

Tanpa menunggu persetujuan dari Haikal, Salvia langsung melayangkan sebuah pukulan telapak yang diarahkan pada wajah pemuda berambut hitam itu. Jelas Haikal terkejut melihat tindakan Salvia, namun ia dapat menghindarinya dengan mudah.

Haikal segera bangkit dari kursi dan mengambil beberapa langkah demi menjaga jarak, "Apa yang kau lakukan, Salvia?"

"Menyerangmu tentu saja." Salvia melangkah maju melayangkan beberapa serangan tangan lainnya.

Haikal menangkis semuanya tanpa kesulitan, tetapi dirinya masih sedikit bingung terhadap Salvia.

Blazer kategori Wizard seperti gadis ini biasanya mengandalkan jumlah energi jiwa yang diubah menjadi kekuatan sihir dalam pertarungan, tapi Salvia menguasai kemampuan bela diri tangan kosong yang mungkin mendekati ahli.

Setelah serangan ketiga puluh, Salvia mengalirkan telapak energi jiwa ke telapak tangannya dan memukul perut Haikal sekuat tenaga. Perubahan pola serangan cepat menjadi serangan kuat Salvia membuat pemuda itu kehilangan kewaspadaan dan akhirnya tak bisa menepis serangan berkekuatan tinggi tersebut.

"Uggh!" Haikal melompat jauh ke belakang sambil memegangi tangan kirinya yang kesakitan menahan pukulan berkekuatan penuh Salvia barusan.

Gadis berambut perak itu terlihat terkejut melihat serangannya tak begitu berpengaruh terhadap Haikal, "Dia bisa menahan seranganku padahal tak menggunakan energi jiwa?" Salvia terkagum dalam hati.

"Haikal, apa kau benar belum membangkitkan Soul Arc-mu?"

"Memang benar, apa ada masalah dengan itu sampai kau menyerangku?" Haikal nampak tidak senang dengan pertanyaan Salvia.

Tentu saja, dirinya diserang oleh Salvia yang notabenenya adalah calon Blazer terkuat di kelasnya, salah satu jenius terbaik yang jarang ditemukan. Sementara Haikal? Seorang calon Blazer rata-rata yang belum membangkitkan Soul Arc-nya? Apa ada alasan bagus darinya sampai si jenius Salvia menyerang dirinya?

Salvia menghela nafas sesaat sebelum mengangkat suaranya, "Maaf sebelumnya, aku hanya berniat mengujimu. Kudengar kau belum membangkitkan Soul Arc-mu, jadi aku ingin memastikannya."

"Apa maksudmu memastikan? Sudah jelas aku belum bisa membangkitkan Soul Arc. Aku bukanlah orang berbakat sepertimu." Haikal semakin geram melihat ekspresi Salvia yang seakan-akan tak merasa bersalah.

Gadis berambut perak itu kembali duduk di bangku taman memejamkan matanya melepas kewaspadaan. Hal itu membuat alis Haikal terangkat. Sangat jarang dirinya bisa melihat seseorang melepas kewaspadaannya setelah bertarung, ini menunjukkan orang tersebut tak mau bertarung atau siap menerima apapun.

"Sekitar lima tahun lalu, aku mengunjungi pantai mengisi waktu libur bersama keluargaku. Untuk seorang anak sekolah dasar, sudah sewajarnya aku berlibur mengistirahatkan otakku."

"Kenapa kau malah bercerita masa lalumu? Dan juga, hebat sekali sekolah dasarmu memaksa otakmu bekerja keras sampai kau mengeluarkan kalimat itu untuk seorang anak berusia sekitar 12 tahunan," batin Haikal dengan ekspresi masam melihat Salvia.

"Lalu, di sana aku melihat seorang anak seumuranku sedang berlari di pasir sambil menarik sebuah ban karet mobil. Awalnya aku bingung mengapa ia berlari di atas pasir pantai yang berat bersama ban karet, tapi setelah tahu dia sedang latihan, aku menjadi penasaran." Salvia menahan nafasnya sejenak lalu mengalihkan pandangannya kepada Haikal, "Anak itu adalah kamu, bukan?"

Pemuda berambut hitam legam itu termenung sesaat sebelum ekspresinya berangsung-angsur memburuk, "Hah? Anak sekolah dasar berlari di atas pasir sambil menyeret ban karet mobil? Kau sedang bercanda?"

"Eh? Itu bukan kamu?" Mata Salvia terbelalak hebat ketika mendengar reaksi Haikal.

"Bukannya mustahil ada anak sekolah dasar berlatih dengan cara seekstrem itu?" Haikal memiringkan kepalanya semakin heran.

Bagaimanapun juga, anak sekolah dasar tidak mungkin berlatih seperti yang disebutkan Salvia. Tubuh anak kecil masih dalam pertumbuhan, jika berlatih dengan cara demikian maka pertumbuhannya akan terhambat menghasilkan tinggi badan yang tak optimal.

Kalau dilihat dari ciri-ciri fisiknya, sudah jelas Haikal bukanlah sosok yang Salvia lihat di masa lalu mengingat tinggi Haikal mencapai 180 Sentimeter, angka yang tinggi bagi rata-rata penduduk kerajaan Wulodhasia.

Pada akhirnya Salvia meminta maaf kepada Haikal karena keputusan yang terlalu cepat ia ambil sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Di sisi Haikal sendiri ia tak begitu mempermasalahkan hal ini begitu mengetahui hanya sekedar salah paham yang sudah teratasi, jadi ia segera memaafkannya. Namun, di luar dugaan ternyata Salvia tidak puas.

"Aku telah berlaku buruk hingga membuat tanganmu memar, permintaan maafku saja tidaklah cukup." Salvia merunduk dalam-dalam, bahkan ia hampir berlutut ketika mengatakannya, tetapi Haikal mencegahnya.

"Haikal, aku takkan merasa lega jika tidak mewujudkan permintaan maafku dalam hal fisik. Lagipula, kesalahanku ini tidak pantas dimaafkan hanya dengan ucapan saja," jelas Salvia murung.

Haikal sendiri menjadi serba salah mendengarnya. Ia tidak ingin memperpanjang masalah ini, tapi Salvia malah keras kepala tidak membiarkan dirinya menerima permintaan maaf semudah itu. Ia memegang kepalanya yang mulai berdenyut.

"Apa ada yang bisa kulakukan untukmu agar hutang ini tidak memberi beban bagiku?" Salvia menatap mata Haikal dalam-dalam dengan manik mata berkaca-kaca.

Melihat mata Salvia yang begitu mengharapkannya, Haikal menyerah. Ia menghela nafas kemudian memikirkan apa yang sebaiknya ia minta terhadap Salvia. Setelah beberapa saat berpikir keras, Haikal menemukan sesuatu.

"Bagaimana kalau mengajariku? Mengingat aku tidak begitu berbakat sebagai Blazer, mungkin kau bisa membantuku satu atau dua hal," ucap Haikal melontarkan permintaannya sambil berpikir, "Tidak mungkin aku melewatkan belajar dari seorang jenius, bukan?"

"Apa hanya itu? Tidak ada yang lain?" Salvia memiringkan kepalanya terlihat kebingungan.

"Tentu saja, memangnya apa yang kau harapkan?" Haikal juga ikut bingung.

"Di komik atau cerita yang pernah kubaca, saat seorang lelaki ditawari hal semacam ini oleh seorang gadis, mereka akan meminta kencan atau semacamnya," jelas Salvia menyentuhkan jari telunjuk pada bibirnya.

"Wuah, pamer nih. Mentang-mentang punya duit, beli komik sembarangan," ucap Haikal tersenyum menggoda.

Di dunia yang hampir hancur ini, barang-barang seperti komik dan novel bisa dikatakan langka mengingat di antara manusia yang bertahan lebih mementingkan kelangsungan hidup mereka dari serangan Verg sehingga harga barang seperti komik dan novel sangatlah tinggi di pasaran.

"Aku bukan pamer. Aku hanya mengatakan apa adanya," balas Salvia tak terlihat senang dengan ucapan Haikal barusan.

Keduanya tertawa kecil menanggapi reaksi satu sama lain yang entah apa lucunya.

"Kulihat kau tidak pernah tertawa atau tersenyum di kelas membuat kesan dingin terhadap lainnya, tapi kenapa bisa semudah ini tertawa?" Haikal sedikit heran.

"Itu karena tidak ada yang lucu. Kenapa harus tertawa kalau tak ada yang membuatmu tertawa?" Salvia melontarkan pertanyaan lain kepada pemuda tersebut.

Haikal mengangguk pelan. Ternyata bayangannya tentang Salvia yang dijuluki 'Putri Salju' karena terlihat dingin dan tidak ingin dekat dengan siapapun jauh meleset. Mengesampingkan bakat Blazer-nya, ia hanyalah seorang gadis biasa.

Setelah itu keduanya pun berpisah kembali ke rumah masing-masing ketika jam sudah menunjukkan pukul 07.30. Bel masuk akademi Skymaze berbunyi pada pukul 09.00, tentu tak ada dari mereka yang ingin terlambat dan terkena hukuman.

Absolute SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang