"Maafkan aku!" Salvia menundukkan kepalanya sedalam mungkin meminta maaf kepada Haikal yang saat ini tengah kebingungan.
Haikal sendiri sudah mempersiapkan dirinya dihajar hingga babak belur oleh gadis berambut perak ini, mengingat ketika kencan kemarin Salvia berlari meninggalkannya sendirian meski tidak mengetahui di mana letak kesalahannya.
Namun yang terjadi malah jauh berbeda dari bayangannya, tentu saja ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di antara Salvia dan dirinya. Haikal menggaruk pipinya canggung, "Salvia, kenapa kau minta maaf?"
"Itu... aku meninggalkanmu tiba-tiba kemarin." Salvia mengangkat kepalanya sedikit berniat melihat Haikal, tetapi matanya tidak berani memandang wajah pemuda itu. Haikal tambah bingung ketika melihat reaksi Salvia.
Pada akhirnya Haikal menghela nafas kemudian duduk di lantai menyandarkan punggungnya di sebuah dinding, membuat Salvia berbalik kebingungan, "Duduklah di sini dulu dan jelaskan apa yang sebenarnya membuatmu minta maaf secara rinci." Haikal menepuk lantai di sebelah kanannya.
"Ta-tapi...." Salvia sedikit salah tingkah melihat perlakukan Haikal, namun ia tidak bisa menolak karena merasa bersalah. Ia hanya bisa mengiyakan perkataan Haikal dan duduk di sebelah pemuda tersebut.
Angin segar berhembus pelan dari arah selatan, menerpa keduanya yang tengah duduk berduaan. Haikal terlihat menikmati hembusan angin tersebut, sementara Salvia masih salah tingkah sendiri.
Saat Salvia memantapkan hatinya dan memandang Haikal ingin berbicara, semua suara yang ingin ia keluarkan tersendat di tenggorokannya. Pandangannya terpaku terhadap wajah Haikal yang nampak sangat menikmati angin sepoi-sepoi ini.
Ia penasaran apa yang sebenarnya Haikal lakukan dengan angin ini, tetapi ia tidak ingin mengganggu Haikal. Salvia pun memejamkan matanya sama seperti yang Haikal lakukan, lalu mencoba menikmati hembusan angin yang menerpa dirinya.
Di detik-detik awal Salvia memang tidak merasakan apapun yang istimewa, namun beberapa saat kemudian tubuhnya terasa sangat ringan dan kepalanya seperti mengambang di udara. Setiap angin yang datang terasa seperti mengintari tubuhnya.
"Bagaimana? Apa kau sudah tenang sekarang?" Tanpa membuka matanya, Haikal melontarkan pertanyaan itu.
"Ya, kurasa," jawab Salvia mengalihkan pandangannya kepada Haikal. Kepalanya sudah lebih dingin berkat sensasi terpaan angin menyegarkan, "Aku ingin meminta maaf tentang kemarin."
Kali ini Salvia memandang Haikal dengan sorot mata lebih yakin, membuat pemuda berambut hitam itu menyunggingkan sebuah senyum kecil, "Mengenai apa tepatnya?"
"Aku meninggalkanmu sendirian tanpa sepatah katapun, padahal akulah yang mengajakmu kencan." Pipi Salvia memerah ketika mengatakan itu. Mungkin ia menjadi lebih tenang sekarang, namun rasa malunya tetaplah ada.
Salvia menjadi lebih salah tingkah melihat Haikal tak memberikan respon selama beberapa saat, namun saat rasa malunya udah sampai pada batasnya, Haikal menepuk kepalanya.
"Yah, untuk kencan pertama dari seorang yang tak begitu tahu dunia luar, kurasa aku bisa mengerti apa yang ingin kau sampaikan." Haikal mengusap rambut Salvia sambil melontarkan senyum, tapi Salvia bisa tahu senyum itu bukanlah senyum yang sebenarnya.
Ia bisa melihat senyum Haikal mengandung kesedihan yang mendalam. Salvia ingin bertanya, namun tenggorokannya melarang untuk berbicara apapun mengenai hal tersebut. Akhirnya ia hanya memendam rasa penasaran itu.
"Baiklah, kurasa saatnya kita kembali ke kelas, bukan? Aku tak mau ketinggalan pelajaran pak Gunawan." Haikal bangkit berdiri sembari meregangkan tubuhnya sedikit, membuat Salvia tersadar dari lamunannya dan ikut berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Absolute Soul
FantasyBlazer, sebutan bagi mereka yang mampu membangkitkan Soul Arc dan memiliki kemampuan di luar nalar manusia biasa. Mereka pula yang memukul mundur makhluk asing pemusnah manusia di masa lalu, Verg. Berkat keberadaan Blazer, umat manusia bisa bertahan...