Lelah

1.4K 70 4
                                    

Ada yang masih nunggu cerita ini?


°

Adimas menatap tajam pada Kesi, kali ini Adimas tidak bisa lagi diam Kesi semakin hati semakin tidak karuan.

"Gue rasa Lo harus ke dokter jiwa!"

"Gue gak gila!"

"Lo gak gila tapi otak Lo gak jalan!"

Nafas Kesi memburu, mereka duduk didalam cafe tepat dipojokan jadi tidak terlalu takut jika ucapan mereka didengar.

"Lo tau gak? Lo udah nyakitin semuanya! Lo nolak damar dan deketin Samuel tapi Lo malah mau kejar Damar lagi, Lo sehat?"

Kesi merapatkan bibirnya Adimas tidak tahu, ia tidak pernah tahu sesakit apa Kesi saat ini.

"Adi..."

"Gue gak mau Lo berubah jadi cewek jahat kes, kesannya Lo mau nahan keduanya." Potong Adimas, ia menyesap kopi hitam yang masih panas.

"Adi.."

"Sekarang gue nanya dan Lo harus jawab! Lo pilih Damar atau Samuel?"

"Lo tau kan hati gue---"

"Oke! Gue paham!" Potong Adimas lagi, "kalau gitu Lo harus bilang alasan Lo nolak dia dan kenyataan bahwa Lo gak pacaran sama Samuel."

"Gak semudah itu Adi!"

Adimas berdecak, mengambil cangkir kopi lalu meminumnya lagi. "Semua mudah kalau Lo mau!"

"Gue gak bisa di!"

Adimas menggeleng jujur ia lelah, lebih dari sepuluh tahun dan semua kacau balau saat pertemuan Kesi dan Damar yang lebih sialannya lagi Kesi tidak bisa membendung perasaannya.

"Lo gak bisa? Biar gue yang ngomong semuanya sama Damar, persetan dengan perjanjian tolol yang udah lo lakuin!"

"Jangan Adi, biar--"

"Gue bakal bilang semuanya sama sama Damar sekarang." Adimas berlalu sedang Kesi menumpukan kepalanya ke meja, ia menangis disana sendirian.

°

Raras memandang wanita dihadapannya dengan tidak suka, ia baru saja menerima tamu seorang wanita, wanita yang begitu ia benci. Untuk apa lagi wanita ini mau bertemu dengan kekasihnya?

Kalau ini bukan kantor ia pasti sudah melabraknya tapi Raras tahu diri, bahwa dikantor hubungannya dengan Damar hanya sebatas atasan dan bawahan.

"Tunggu sebentar." Ucapnya dingin pada Kesi, sementara Kesi terus tersenyum tipis.

"Pak, ibu Kesi Andriani ingin bertemu." Ucap Raras melalui telepon pada  Damar, dalam lubuk hati Raras ia berharap Damar menolaknya.

Cukup lama Damar terdiam membuat perasaan Raras semakin takut saja.

"Suruh dia masuk." Hati Raras mencelos, ia memutuskan sambungan lalu menatap Kesi tajam.

"Langsung masuk saja." Ucap Raras dingin, sementara Kesi mengucapkan terima kasih dan mendorong pintu dihadapannya.

Raras masih menatap pintu yang kini tertutup, ia merasa lelah namun dalam hati ia berdoa mati-matian agar Damar memegang ucapannya. Bukankah Damar meyakinkan dirinya bahwa dirinya hanya perlu percaya saja?

°

MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang