Senin pagi adalah hari yang begitu berat, rasanya akan melakukan apapun malas, termasuk bangun pagi. Pun dengan Kesi, ia bangun dengan ogah-ogahan lalu bergegas mandi, walau bagaimana pun ia harus masuk kerja, kalau tidak bisa-bisa ia tidak bisa hidup.
Menghela nafas berat, Kesi memakai baju kerjanya cukup rok tutu hitam selutut dan kemeja peach, seperti biasanya rambutnya ia Cepol sehingga menampilkan lehernya yang jenjang.
Tujuh lewat lima, Kesi mulai panik ia menyambar tiga keping kue untuk disantap saat berjalan menuju parkiran, tak lupa satu botol air putih yang selalu ia bawa.
Ponsel didalam tasnya berbunyi, Kesi berdecak dan melihat nama Adimas disana, ia mengeluarkan ponsel lalu berjalan untuk menutup pintu lalu menguncinya.
"Apa Adi?"
"Lo udah sarapankan?"
"Ini gue lagi sarapan!" Kesi tidak bohong ia memang sedang mengunyah kue.
"Kue?"
"Hmm.."
"Kes! Sarapan itu nasi atau minimal bubur! Gue gak mau ya Lo sakit."
"Gue juga udah kenyang kok, udah ya Adimas sayang gue harus ke kantor nih sekarang juga!" Plep! Ponsel Kesi matikan dan ia terkikik geli sendiri.
Pagi yang indah bagi Kesi adalah saat Adimas mengomel karena dirinya malas sarapan.
°°°
Kesi merasa lega karena dirinya sudah sampai kantor lima menit sebelum jam keterlambatan berakhir, ia segera menuju mesin absen dan meletakan jari disana.
Ada yang beda dengan hari ini, hari ini orang-orang tidak terlihat berkeliaran, Kesi acuh dan ia berjalan menuju ruangannya.
"Wow?" Takjub Kesi karena ruangannya sudah berkumpul banyak orang, ia menuju meja kerjanya dan meletakan tas didalam laci.
"Kes!" Panggil Desi lalu melambaikan tangan meminta Kesi menemuinya. Kesi berjalan dan bertanya 'ada apa?' tanpa suara.
"Sania.. hamil!"
"What?" Bisik Kesi.
"Doi kan belum kewong?"
"Justru itu, katanya dia hamidun sama pak Harto!"
"Anjir!"
"Kes! Language!" Tegur Deri ketua divisi.
"Sorry mas!" Saat ini divisi Kesi memang sedang berkumpul dimeja Desi.
"Saya minta semua bubar! Kembali pada kerjaan kalian!" Ucap seseorang membuat kerumunan itu bubar, Kesi dan yang teman divisinya juga segera menuju meja kerja dan menyalakan komputer.
Samuel, general manager sekaligus bos termuda juga lajang, berjalan menuju meja Kesi.
"Udah sarapan Kes?" Tanya Samuel.
Kesi hanya tersenyum canggung Sambil mengangguk.
"Yaelah bos! Masih ada modhus!" Gumam Deri.
"Saya masih denger loh bapak Deri!" Balas Samuel dengan menekan dua kata terakhir.
"Mampus lo?" Balas Desi.
"Desi!" Tegur Samuel membuat semua terdiam.
Samuel mendesah berat, nyatanya Kesi masih sama, masih dingin dan cuek, akhirnya ia berjalan menuju ruangan kerja pak Harto.
°°°
Raras memandang Damar cemas, sebab bos nya itu menjadi sering melamun, Raras jadi ngeri sendiri.
"Pak hari ini ada kunjungan bersama Klien."
"Kemana?"
"PT Sinar Dua."
"Jam berapa?"
"Sem.. sembilan pak seharusnya."
Damar melirik pada jam tangannya, sembilan kurang sepuluh.
"Kamu gimana sih Ras? Sepuluh menit mana cukup kesana!" Omel Damar, Raras menghela nafas, kalau tidak bengong Damar pasti mengoceh, lama-lama Raras juga kesal kan? Untung sayang!
Damar menyambar jas lalu mengenakannya, ia berjalan keluar ruangannya disusul Raras yang langsung menelpon pak Emon, supir yang biasa mengantar Raras.
Raras memasuki mobil kantor, lalu menoleh ke jendela melihat Damar memasuki mobilnya sendiri, ya.. Damar tidak pernah memperbolehkan wanita menaiki mobilnya, kecuali istri sahabatnya Nasya dan Kinanti dan juga mungkin calon nyonya Damar.
Jadinya mereka begini, selalu beriring-iringan, kecuali jika Damar sedang tidak enak badan, pastinya ia akan memakai mobil kantor tapi ia akan duduk didepan, bukan disampingnya.
°°°
Waktu menunjukan pukul sepuluh lewat sepuluh menit, masih lama menuju pukul dua belas, tapi Kesi sudah merasakan lambungnya nyeri, Kesi meringis, air didalam botolnya sudah habis.
Kesi akhirnya bangkit menuju pantry, mengisi air hangat agar bisa meredakan sakit diperutnya.
°°°
Damar dan Raras dipersilahkan menunggu di Lobby, sekitar sepuluh menit lamanya bersama sang klien yang sedari tadi menunduk. Raras yang paham kondisi kliennya menggenggam tangan klien bermaksud menenangkan.
"Silahkan pak, mari saya antar." Ucap sang resepsionis sambil tersenyum kelewat ramah membuat Raras muak, selalu begini Damar selalu menjadi incaran dimanapun mereka menangani kasus.
Damar mengangguk, ia lalu bangkit disusul Raras dan klien. Mereka berjalan mengikuti sang resepsionis yang terlihat berbasa basi dengan Damar.
Damar melewati sebuah ruangan tanpa menoleh, sedang mereka yang Damar lewati menatap Damar takjub.
Akhirnya Damar memasuki sebuah ruangan, disana tangis kliennya langsung pecah.
"Siang pak Harto, saya Damar Megantara, pengacara dari Sania Narista." Salam Damar pada seseorang dibalik meja yang memandang tidak suka.
°°°
Tak sulit bagi Damar membuat kliennya mendapatkan apa yang ia inginkan, sedari awal lawannya itu sudah merasa terintimidasi, bahkan pengacara lawannya pun adalah bekas anak magang dikantornya dulu.
Setelah beberapa kesepakatan dibuat, tentunya hitam diatas putih dan bukti rekaman, Sania bisa bernafas lega, Harto mau bertanggungjawab, Sania tidak masalah jika harus menikah dengan duda, walaupun usia mereka terpaut jauh tapi masa depan anaknya sudah pasti cerah.
Akhirnya, Damar keluar dari ruangan Harto, ia berjalan dibelakang Raras dan Sania.
"Kak Damar?"
Damar menoleh lalu melihat Desi disana, "loh Desi?" Damar menghampiri Desi, "kerja disini?"
"Gak kak gue lagi dagang."
Damar hanya terkekeh melihat Desi, "ada dalam tuh dari Geofan!" Goda Damar.
"Iyuwhhhh amit-amit!"
"Halah, muna!"
Desi melotot, "udah ah gue mau kerja!"
"Yee yang manggil gue siapa?" Setelah Desi meletakan lidahnya, "ya udah gue duluan."
Damar berbalik dan ia merasakan jantungnya berpacu dengan cepat, "Kesi sedang berjalan kearahnya dengan tertatih."
"Kes!" Damar menoleh melihat Desi menuju Kesi.
"Lo gak apa-apa?"
Kesi menggeleng dan saat ia menganhkat kepalanya seketika sakitnya hilang. Ia langsung membuang muka.
"Gue gak apa-apa, yuk kerja lagi." Kesi berjalan begitu saja, nyaris melewati Damar yang masih terpaku ditempat.
"Kesi.." panggil Damar membuat Kesi menghentikan langkah tepat disamping Damar.
"Jangan.ganggu.gue!" Desis Kesi tepat ditelinga Damar.
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantanku
RomanceDamar tidak pernah benar-benar membenci Kesi. Kesi tidak pernah benar-benar meninggalkan Damar. sepuluh tahun berlalu, saat takdir sedang bermain untuk mempertemukan mereka, apakah perasaan mereka masih sama?