Random Tiga Rasa

305 86 34
                                    

Senyum itu ibadah, mau pahala kan?
Yaudah senyum aja, jamin gak akan buat kecewa

•HukumCoulomb•



🌙🌙🌙

Tangisan mengalir di pipi seorang gadis yang sedang rapuh, sudah dari siang dia menangis sampai rembulan datang pun tak kunjung reda. Sesakit itukah rasanya berpisah walau awalnya dengan terpaksa? Apa benar dia mempunyai rasa kepada pria itu?

"Sesakit itu?"

"Gue gak tau Ca."

"Ra, bukannya lo bilang gak suka?" Icha melepaskan pelukannya dari tubuh Tiara.

"Iya gue gak suka, tapi entah kenapa rasanya diputusin tuh sesakit ini," Isak tangis Tiara masih terdengar sendu, lalu dia menyambung ucapannya, "Walau pun ini cuma syarat."

"Gue rasa bukan ini alasannya." batin Icha.

Icha tersenyum lalu dia memeluk Tiara kembali. "Udah, nanti kita cari lagi yang lain."

"Bukannya lo bilang mau tobat Ca?"

"Kan gue, bukan lo."

"Ichaaaa!" Tiara pun kembali tersenyum dan membalas pelukan Icha dengan hangat.

"Ca, lo masih suka sama kak Ragil?"

"Masih, dan gue mau tetap berjuang."

Ucapan Icha membuat Tiara tersenyum getir. Tak tahu harus merespon bagaimana dan seperti apa.

Mereka melalui malam ini dengan gembira. Icha memiliki seribu juta cara untuk menghibur Tiara. Mulai dari berkaraoke, menonton komedi, make up challenge, dan hal konyol lainnya. Walau mereka mempunyai rasa hati yang masih disembunyikan, tapi saat ini persahabatan lebih penting dari segalanya. Mungkin.

Icha juga sudah mengambil coklat yang selalu ada di depan pintu rumahnya, dia tidak takut dijampi-jampi ataupun sejenisnya karena dia tahu Raka orang yang baik.

Dan malam itu, Ragil kini sedang duduk dimeja makan rumahnya bersama pria yang wajahnya hampir mirip dengan dirinya, bahkan lebih tampan.

"Kamu masih berteman dengan anaknya Dodi?" tanya pria itu disela-sela makannya.

"Tomi?"

"Iya,"

"Pa, abis makan aja ya bicaranya." elak Ragil.

"Papa cuma mau bilang, Papa gak akan ngelarang kamu lagi. Lagian, kalian kan sudah berteman dari kecil."

Ragil menghentikan makannya dan dia tersenyum ke arah pria itu yang tak lain adalah Papanya. Dia merasa sangat senang.

"Makasih Pa. Emang segitu parahnya ya masalah kerjaan Papa sama Pak Dodi?"

"Hmm."

Dan dari itu tidak ada lagi pembicaraan. Kemudian Ragil mengantar Papanya ke depan rumah, menatap kepergian Papanya yang sudah terbiasa baginya.

Papanya memang bisa menduduki kedua posisi baginya, yaitu Papa sekaligus Mama. Tapi mungkin pada saat di rumah saja, dengan waktu sebentar. Selebihnya dia seperti anak yang tidak mempunyai orang tua, dia mengurusi hidupnya sendiri.

Dia tidak marah dengan Papanya seperti amarahnya terhadap Mamanya. Dia tahu jika dia berada diposisi Papanya, mungkin dia akan melakukan hal yang sama. Pergi bekerja siang malam dan terpaksa meninggalkan anaknya, demi membahagiakan dan menghidupkan darah dagingnya itu.

Hukum Coulomb [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang