CALANTHA -64-

933 33 3
                                    

Kaki gadis itu dipaksa berlari untuk memasuki tunggu bandara. Netranya menyapu seluruh sudut ruangan itu.

Ternyata ia menemukan Alex dengan mudah. Rasanya seperti pria sialan itu memang sengaja menunggunya. Entahlah, Caca begitu bingung, begitu banyak kekacauan terus datang dan memporak-poradankan hidupnya.

Dengan napas yang semakin sesak, dan air mata yang semakin tidak terkendali, Caca berlari kecil mendekati pria itu.

Alex yang menyadari keberadaannya hanya berdiri dan memberinya tatapan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Sedangkan Caca, ia sudah menatap pria itu dengan mata yang menyorotkan begitu banyak luka, "kamu jahat."

"Alex jahat" ucapnya lagi.

"Caca salah apa sama kamu?! CACA SALAH APA SAMA SEMUA ORANG! Caca nggak pernah ngambil cowok orang, Caca nggak pernah ngerusakin hubungan orang. Caca cuma jatuh cinta. Caca nggak nyakitin orang lainkan? Caca nggak nyakitin Alex, kan?"

Pria itu diam seribu bahasa. Dia tahu menjawab bukanlah sesuatu yang tetap disaat seperti ini

"Kenapa Alex nyakitin Caca? Caca percaya sama Alex seribu kali lebih besar dari Caca percaya sama orang lain, Caca percaya kalau Alex nggak bakal ninggalin Caca sendirian. Caca percaya, percaya banget sama Alex."

"Kenapa Caca terus terusan dicampakan seseorang. Cinta Caca keliatan bercanda buat kamu?"

Suara gadis itu memelan, lututnya menjadi sangat lemah, ia sudah tidak karuan, hatinya hancur, tubuhnya menjadi rapuh,

Ia hanya bisa terduduk di kursi yang tadi diduduki Alex "Caca tahu Caca nakal, Tapi Caca beneran sayang sama Alex."

Tangisan yang semakin deras membanjiri pipi gadis itu membuat hati Alex sedikit menghangat. Ia merasakan kepedihan gadis itu. Ia juga tidak ingin pergi.

Pria itu berjongkok, menyamakan tinggi mereka. "Gue masih tunangan lo, Calantha."

Caca menggeleng kuat-kuat, walaupun statusnya masih tunangan Alex tapi itu tetap saja hanya sebuah status. Itu bisa berubah kapan saja karena sekarang Caca percaya tidak ada yang dapat dipastikan atau dimateraikan di dunia ini. Semua dapat berubah. Caca begitu yakin.

Pria itu dengan lembut menyentuh dagunya, "gue tahu gue jahat."

Setelah itu yang Caca rasakan hanya sebuah benda kenyal yang menempel sempurna di bibirnya.

Untuk kedua kali, Alexander Rehaam mencium bibirnya, kali ini dengan lembut dan penuh perasaan. Membuat tangisan Caca semakin mendayu-dayu.

Pria itu melepaskan tautan mereka ketika merasakan nafas caca mulai tersenggal-senggal.

"Gue cuma pergi sebentar." pria itu meletakkan sebuah post it berwarna pink pastel di tangannya.

Setelah itu Alex benar-benar meninggalkan Caca sendirian. Membiarkan kesedihan menyelimuti hati gadis itu.

Gadis itu sama sekali tidak bisa bergerak. Ia bahkan tidak menengok ke arah pria itu. Ia membenci Alex. Sangat membencinya.

Setengah jam ia habiskan untuk menangisi kepergian orang yang paling ia benci. Persetan dengan orang-orang yang menatapnya aneh. Ia butuh menangis, lagi pula tubuhnya juga masih tidak dapat digerakkan.

Setelah merasa lebih baik, ia melihat kertas kecil yang sudah basah karena air matanya.

Gadis itu tidak menduga akan mendapatkan sesuatu seperti ini dari seorang Alexander Rehaam. Pria berengsek yang menciumnya dua kali setiap mereka bertengkar.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
There is no fear in love. But perfect love drives out fear, because fear has to do with punishment. The one who fears is not made perfect in love.

1 John 4:18

Tamat/The End/Selesai

-littlerain, 26 Mei 2020-

CALANTHA [completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang