CALANTHA | bagian 02

1.4K 104 14
                                    


Calantha duduk di dalam Mercedes-Benz CLS-Class yang berisikan oleh ia dan Tania, sedangkan ayahnya akan berada di hotel yang mereka janjikan lebih dulu.

Ia hanya bisa menghela nafas melihat dandanan Tania, "Ma, itu beneran tiga jam?"

"Apa yang kamu bicarakan?"

"Make up mama, lah. Mama beneran make up tiga jam lebih cuma buat ini? Anaknya aja belum tentu mau sama Caca."

Tania menatap tidak suka, ketika mendengar penuturan anaknya, "Calantha. Watch your words. Tentu saja anak mereka sudah setuju, mereka tidak mungkin mendidik anaknya menjadi pembangkang."

Pembangkang? Kenapa sekarang ia yang merasa dikatai pembangkang? "Caca cuma nanya. Pembangkang apanya? Kalau pembangkang Caca lompat dari mobil dari tadi."

Tangan ibunya terangkat, menandakan ia harus berhenti bicara yang aneh-aneh, atau lebih tepatnya bicara dengan jujur dan sarkastik.

"Bagaimanapun keturunan keluarga Soedtandyo tidak layak mendapatkan yang biasa saja Calantha, sama seperti kamu. Mereka harus luar biasa, karena itu kita tidak boleh saling mengecewakan," jelas Tania panjang lebar. "satu lagi, kamu harus mulai rajin belajar, they're smart. Well you are, tapi mereka tekun. Mama tidak mau mereka merasa dipermalukan--maaf, karena nilai kamu."

Astaga. Kalau bisa Calantha sangat ingin menjerit saat ini. Kenapa ia menjadi terlihat sangat buruk? Hell. Tentu saja karena Tania menggambarkan pria dari keluarga Soedtandyo itu dengan terlalu sempurna.

Seharusnya kalau mama suka, mama aja yang tunangan sama berondong. Kalimat itu sangat ingin ia lontarkan, tapi mencari ribut di situasi ini terkesan keterlaluan.

"Coba lihat kearah Mama." Tania menarik dagu Calantha dengan pelan, kemudian mengecek penampilan anaknya.

Bertepatan setelah itu, pintu mobil mereka dibuka, membuat senyum Tania langsung mengembang dengan lebar.

"Calantha, bersikaplah yang ramah, tersenyum yang manis, dan jangan berteriak seperti biasa."

Gadis yang diajak bicara itu menghela nafas kasar, sebelum menunjukan deretan giginya, "iya mama, ini Caca senyum.. Hii"

Mereka terus berjalan, dengan Tania yang masih menggandeng mesra tangan Calantha. Tidak pernah sedetikpun senyum itu pudar dari bibir Tania.

Langkah mereka kian dekat, begitu juga detakan jantung Calantha semakin tidak beraturan. Ia tahu, sangat tahu bahwa ini terlambat, tapi rasanya ia ingin kabur saat ini juga.

Bagaimana jika ternyata pria yang menurut Tania tampan malah berusia lebih tua, tentu saja tidak mungkin om-om atau kakek-kakek. Tapi bukankah 24 tahun susah terlalu tua untuk gadis yang baru saja menginjak 17 tahun?

Genggaman tangannya semakin erat ketika pelayan mulai membukakan pintu untuk mereka.

Tapi yang pertama kali terjadi malah Calantha mengerutkan dahinya. Kenapa hanya ada tiga orang? Calantha menghitung dalam hati satu kali lagi, dan jumlah orang disana benar-benar tidak berubah. Masih tiga, Clarrisa, Theodore, dan satu lagi Marchell, ayahnya.

Kedua pasangan suami istri itu langsung berdiri ketika melihat kedatangan Calantha dan Tania.

Wanita anggun dengan Dior yang berada di hampir seluruh tubuhnya itu berjalan memutari meja untuk mendatangi Calantha, "Georgeous. Cantik sekali. Sempurna."

Calantha hanya bisa tersenyum kikuk mendengar pujian Clarissa, ia mulai mengamati wanita di hadapannya, supaya bisa memberikan pujian sebagai balasan.

"Hehe iya, makasih tante. Tente juga cantik, terlihat... muda? " Caca tidak berbohong, Clarissa benar benar terlihat cantik. Wanita itu terlihat begitu segar dan.. Muda. Mengingat usianya yang pasti sudah menginjak akhir kepala empat. Wanita itu sangat terlihat muda.

CALANTHA [completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang