Beberapa minggu belakangan menjadi hari yang membahagiakan untuk seorang Calantha Aldenate. Bagaimana tidak, hubungannya dengan Alex mengalami peningkatan luar biasa.
Meskipun masih kelewat cuek, menyebalkan, tidak peka dan kaku pria itu mulai mau disuruh mengantar, menjemput bahkan menemaninya ke toko buku seperti hari ini.
"lele, Caca beli yang mana ya?" tanya gadis itu sambil menunjukan empat buku yang ia letakkan berjajar.
Alex menaikan bahunya acuh, "terserah."
Jawaban Alex benar-benar tidak membantu, ia sudah berdiri lima belas menit hanya untuk memilih dua diantara empat novel itu.
"beli semua aja." saran Alex karena pria itu suda mulai bosan dan lelah menunggu Caca memilih bacaanya.
Sayangnya, saran Alex kembali tidak berguna. "Caca nggak bisa. Caca janji sama diri Caca buat beli dua buku per dua minggu, kalau habis baru beli lagi."
Alex mengacak rambutnya kasar, lalu berkata, "kalau di kasih orang lo buang nggak?"
Tentu saja Caca menggeleng, mana mungkin ia membuang-buang buku. Dasar pria aneh.
"Yaudah gue beliin yang dua." Alex berkata seraya menggerakkan tangannya untuk mengambil buku yang dijajar rapih oleh Caca. Tapi belum sempat ia mengambil tangannya malah ditahan oleh gadis itu.
"kalau cuma biar cepet selesai Caca bisa milih sekarang kok." ucap gadis itu sungguh sungguh.
Sebenarnya, niat Alex memang hanya untuk mempercepat kegiatan ini, tapi entah kenapa ia jadi merasa tidak enak karena ucapan yang barusan dilontarkan gadis itu.
"kalau nggak niat, gue nggak nawarin." kata Alex cuek. Setelah itu ia benar-benar mengambil dua buku secara acak dan membayarnya di kasir.
Caca yang sejak tadi diam memperhatikan Alex mulai tersadar dari lamunannya dan mengejar pria itu.
"Lele! Makasih, nggak akan Caca buang kok." Gadis itu berterimakasih sambil menunjukan deretan giginya yang rapih.
"Lo buang juga nggak peduli." balas pria itu seadanya membuat Caca sedikit merasa kesal.
Krukk kruuk
Perut gadis itu berbunyi cukup keras sehingga Alex dapat mendengarnya.
"Lo laper?" tanya Alex sambil menaikan sebelah alisnya.
Dengan cepat Caca langsung menggelengkan kepalanya. "bukan perut Caca, bukan. Sumpah bukan. Bukan perut Caca, beneran kok."
Alex berusaha setengah mati untuk menyembunyikan keinginannya untuk tertawa. Gadis itu benar-benar konyol, dengan mengatakan hal yang ekstra seperti itu akan semakin meperjelas bahwa perutnya yang mengeluarkan suara.
"oh, yaudah gue laper." kata pria itu dengan santai.
Sebenarnya Alex tidak lapar, hanya saja ia tidak mau membiarkan gadis hiper aktif disebelahnya kelaparan.
Dengan semangat empat lima, mata Caca langsung berbinar. "Oh! Alex juga laper ya?"
Pria itu segera merasakan kejanggalan pada ucapan Caca. "jadi lo beneran laper?"
Sekali lagi gadis itu menggeleng. "enggak kok, Caca nggak laper."
"kok nanya gue juga laper?" pria itu menaikan alisnya menggoda Caca.
Ia melihat gadis itu nampak berpikir. Lalu dengan cepat memperbaiki kalimatnya. "oh Caca nggak fokus, sorry Caca ralat, Alex laper?"
Bukannya menjawab Alex malah kembali melontarkan pertanyaan yang membuat Caca malu bukan main. "jadi? Lo nggak fokus karena laper?"
Untuk ketiga kalinya gadis itu menyangkal rasa laparnya, "Enggak lele ganteng Caca nggak lape--"
Kruyuk kruyuk
Perut gadis itu kembali bersuara membuat Alex tidak bisa menahan lagi tawanya.
"oh, perut gue bunyi lagi." bohong Alex.
Tanpa sadar ia menggeret lengan gadis itu memasuki salah satu restoran Jepang, membuat gadis yang pergelangan tangannya baru saja ia pegang menganga tidak percaya.
Alexander Reeham baru saja tertawa dan memegang tangannya.
##
Rebecca menggeram ketika Annette memutar tubuhnya keluar dari salah satu restoran jepang.
"kita bisa makan bareng mereka." kata Rebecca dengan beberapa niat tersirat kepada Annette.
Gadis yang diajak bicara itu hanya menggelengkan kepalanya. "gue nggak mau main kotor."
Rebecca mendesis karena temannya itu terlalu baik, menurutnya.
"Annette, lo--"
"Gue pengen Alex milih yang menurut dia lebih baik." kata Annette memotong ucapan Rebecca.
Kali ini Annette malah mendapat sebuah tawa sumbang dari sahabatnya. "Annette, Alex memang bakal pilih yang terbaik, masalahnya adalah cuma kamu satu-satunya pilihan. Kita sepakat buat itu, Rebecca Gio, Alex Annette. Calantha sama sekali bukan opsi."
Rebecca melihat Annette menghela napas kasar. "Hidup itu berubah, lo harus inget kalau Calantha yang lo bilang bukan opsi adalah mantan pacar Gio." sekali lagi Annette menegaskan ucapannya. "Calantha yang bukan opsi adalah mantan pacar Gio-nya Rebecca."
"karna itu Aku balik, aku nggak mau kamu bernasib--" Rebecca mendengus ketika Annette kembali menyela ucapannya dengan berkata, "gue punya cara gue Rebecca, gue nggak main kotor kaya lo. Gue nggak bakal maksa Alex jadi milik gue kaya lo maksa Gio. Gue juga nggak bakal ngejebak Alex kaya lo ngejebak Gio."
Tentu saja seorang Rebecca Laurels merasa tersinggung dengan ucapan gadis itu, tapi karena Annette sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri, bahkan lebih gadis itu masih menahan emosinya. Rebecca sangat menyayangi Annette sejak mereka kecil hingga sekarang, tidak ada dan tidak akan ada yng berubah.
Tapi sebaliknya, Annette malah melanjutkan langkahnya tanpa Rebecca, gadis itu sedang muak dengan kelakuan sahabatnya. Rebecca adalah orang terpandang, bagaimana mungkin dia memikirkan semua skenario kotor tidak berkelas.
Annette tidak membohongi dirinya sendiri. Ia menginginkan Alex, sangat menginginkannya. Ia akan berjuang sebisanya. Tapi, Annette tidak akan membuat orang yang ia sayangi merasa tersiksa.
Gadis itu adalah penganut paham cinta tidak harus memiliki. Ia akan bahagia ketika melihat Alex bahagia dengan pilihannya. Meskipun jika akhirnya pria itu memilih Calantha dan bukan dirinya.
=C=
littlerain, 06 05 20
KAMU SEDANG MEMBACA
CALANTHA [completed]
Teen Fiction[a love story of Calantha Aldenate and Alexander Reeham Soedtandyo] Sometimes love will drive you crazy, do something you can't believe, and make you look like the most stupid people in this universe Calantha means bloom, kamu pernah dengar bunga-b...