Tiga hari berlalu, akhirnya Ara bisa menghirup udara bebas lagi. Berada di rumah sakit serasa di penjara. Tak boleh inilah, itulah harus inilah, itulah dan macam macam lagi.
Gadis itu merasa jenuh. Soal makanan pun harus diatur. Tapi sekarang tidak lagi, karena ia sudah diperbolehkan pulang. Harusnya dia masih harus dirawat paling tidak satu atau dua hari. Tapi namanya juga Ara, tak mempan jika sudah mengeluarkan puppy eyes dan rengekannya itu.
Masalah racun itu juga menemukan jalan buntu. Pasalnya belum ada bukti yang kuat dan dugaan sebagai tersangkanya. Tapi Rangga tak mungkin menyerah begitu saja. Di sela kesibukannya, ia pasti menyempatkan untuk sekedar mencari kebenaran.
Karena dia yakin, mungkin saja kalau itu salah sasaran. Bisa jadi kan, ada orang yang iri dengannya dan ingin berbuat hal yang nekat. Semua spekulasi itu bisa saja terjadi. Tapi banyak kemungkinan yang mengarah pada satu hal. Ingin membahasnya saja Rangga sudah muak. Tujuannya saat ini adalah kesembuhan sang pacar.
"Pelan pelan dong. Cewek gue itu".
Rizky berdecak kesal. Sedari rumah sakit hingga sampai rumah Rangga tak henti-hentinya mengomel. Dia juga tau kali, yang dibawa itu Ara.
Kalau bukan karena om Sandi yang memintanya dia juga tak perlu repot repot. Salah Rangga juga sih, anak orang lagi sakit main sosor aja. Jadinya sekarang Rangga yang susah sendiri kan, tak boleh dekat dekat dengan pacar sementara waktu.
"Bisa nggak Ra?" tanya Rizky.
Ara menggeleng, dia sengaja ingin memancing seperti apa reaksi Rangga nantinya.
Rizky yang hendak menggendong Ara untuk menaiki tangga pun tak jadi. Kilatan tajam yang dikeluarkan Rangga nampak menghunus kearahnya. Ia menyengir lebar.
"Om Sandi nggak ada, biar gue aja", Rangga mengambil alih Ara dan mulai mengangkatnya menuju kamarnya.
Rizky mengendikkan bahunya acuh. Laki laki itu masuk ke dapur milik Ara, mencari makanan untuk mengganjal perutnya. Dia biarkan saja Rangga, toh kalau ketahuan yang kena semprot juga Rangga.
Rangga merebahkan tubuh sang pacar pelan-pelan. Seolah jika salah letak bisa berakibat fatal. Ara mencegah lengan Rangga yang hendak pergi. Dia menggeleng pelan, merasa enggan jika ditinggalkan. Orang tuanya sudah mulai beraktivitas seperti biasa, hanya dirinya dan Bi Yati yang menemani.
Merasa kasihan, Rangga duduk disamping Ara. Tangannya menggenggam lembut seolah menguatkan.
"Kak Rangga udah lulus ya", Ara berbicara lirih.
"Kenapa memang?".
"Ara nggak bisa ketemu Kak Rangga setiap saat dong", ucapnya cemberut.
Rangga terkekeh. Laki-laki itu mengacak surai hitam sang pacar gemas. Dia menepuk pipi sang gadis dan menatapnya dekat.
"Makanya kamu giat belajar, biar cepet lulus abis itu kita nikah deh".
Dalam jarak sedekat ini, Ara bisa merasakan hembusan nafas mint yang menerpa wajah merahnya. Hidung mancung Rangga yang hampir bergesekan dengan hidung mungil nya.
Gadis itu memalingkan wajahnya. Sudah kepalang tanggung sebenarnya. Bisa dia lihat dari dengusan kasar sang pacar.
"Kurang-kurangin ya mas nya", Ara tergelak melihat wajah frustasi Rangga.
Setelah mendorong dada bidang Rangga agar menjauh dari nya. Rangga malah menatapnya tajam membuat nyalinya menciut.
"Ingat kata-kata Ayah ya". Rangga seketika kicep. Jika disuruh memilih, ia tak mau memilih.
Sejak kejadian di rumah sakit waktu lalu, Rangga ditanting oleh sang camer agar melaksanakan peraturannya. Tak boleh bersentuhan fisik salah satunya. Padahal tau sendiri, Rangga tak bisa melakukan itu. Bisa, asal sembunyi-sembunyi.
Tinggal pintar-pintaran Rangga yang mengatur. Ara mah orangnya gampang. Tipe malu-malu tapi mau gitu.
Soal kuliah Rangga sudah terdaftar di salah satu universitas negeri Jakarta. Cukup di Jakarta saja, tidak ingin kemana mana. Itu semua meliputi dua hal. Satu, ibunya dan pekerjaan. Kedua, siapa lagi kalau bukan pacar. Tak bertemu satu hari saja sudah didera rindu apalagi kalau harus LDR, bisa bisa Rangga mati karena rindu yang membuncah.
Oke, ini memang kelewat bucin.
Beda lagi dengan dua temannya. Aji, si hitam manis memilih Inggris menjadi tujuannya menimba ilmu. Beda lagi dengan Fano, si sipit yang satu itu bikin Ara envy. Rizky bercerita jika Fano ingin melanjutkan studynya di Korea. Tempat para suami halunya tinggal.
Huh, walaupun begitu mereka tak putus pertemanan kok. Jaman sudah canggih, mereka bisa bertukar kabar melalui video call. Lain hal dengan Rizky, dia malah masuk di Univ yang sama dengan Rangga. Tak ingin seperti abang kembarnya yang kuliah di luar negeri. Kasian emak ntar kangen, katanya. Nanti tidak ada yang membuatnya pusing lagi.
Ara? Dia naik kelas tiga. Bahagia nya lagi satu kelas kembali dengan Oliv, Doni dan-- Tito. Sebenarnya hatinya agak mengganjal mengenai Oika, Eza dan kasusnya kemarin. Tapi dia tak ingin berprasangka dulu.
"Hei.. Kok ngelamun sih".
Ara berjengkit kaget. Sudah berapa lama dia melamun, sampai Rangga menyadarkan nya.
"Mikirin apa hayo?". Tuding Rangga.
Ara menggeleng dan menepis tangan Rangga yang hendak menarik hidungnya. "Apaan sih, enggak ya". Elak Ara. Jika tidak dihentikan Rangga bisa berpikir yang tidak-tidak nanti nya. "Cuma lagi mikir aja, berapa lama sih Ara di rumah sakit".
Rangga mengelus kepala Ara sayang. "Kamu tau nggak dek? Ada 3 hal di dunia ini yang nggak bisa dihitung".
Ara meniup poninya pelan, menatap penuh tanya"Apa?".
"Jumlah bintang di langit, ikan di laut dan cintaku padamu".
"Uekkk. Ihh kak Rangga bucin". Ara berlagak pura-pura muntah. Namun dia tetap tersenyum senang mendengarnya. Rangga itu aneh, gaje, sok iya, tapi Ara suka.
Liat tuh tampang polos Rangga yang ingin sekali Ara tabok, eh elus maksudnya. Bikin gumush aja, padahal Rangga belum mandi. Dia tau itu karena begitu dia bangun dan mendengar Ara boleh pulang dia langsung bersemangat. Hanya cuci muka dan gosok gigi katanya. Itupun tak mengurangi kadar ketampanan nya.
Mata bulat Ara mengikuti arah gerak Rangga yang melangkah menuju gorden kamarnya. Menariknya kepinggir hingga membuat sinar matahari masuk ke dalam kamarnya.
Rangga mendekat dan menatap Ara yang tersenyum manis. Laki-laki itu berjongkok di samping ranjang dan mengambil tangan kiri Ara yang setengah duduk.
"Kayaknya Aku butuh kacamata hitam deh dek".
Ara mengernyit heran.
"Soalnya senyuman mu lebih silau dari matahari".
Keduanya tertawa. Pagi itu tak henti-hentinya gombalan receh Rangga lontar kan. Apapun itu yang bisa membuat pacar kecilnya itu tersenyum ia lakukan. Asal, mereka selalu bersama.
***
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
My Dimples
Genç Kurgu"Kak~" rengek seorang gadis bermata bulat. "Hm?" gumam seorang pemuda. "Jangan liatin, malu" cicit gadis itu, sedangkan pemuda didepannya malah tersenyum. Manis sekali. "Kak Rangga~" rengek gadis itu lagi. "Apa Ara sayang?" Rangga mencubit pipi gadi...