Mata elang itu menatap layar komputer dengan seksama. Rangga menghela napas panjangnya. Di sebelahnya ada Adit, teman kuliahnya yang pandai dalam IT untuk melacak keberadaan ponsel dan memastikan data penting di dalamnya aman. Rangga sengaja meminta bantuan temannya itu untuk mengamankan ponsel milik Ara, kekasihnya.
Dia tau kalau ponsel itu berada di tangan Eza. Tapi dia sedikit khawatir jika Eza akan macam-macam menggunakan ponsel itu. Rangga harus memastikan bahwa Eza tidak bisa menggunakan ponsel itu untuk kepentingannya.
Rangga takut bila Eza berani membocorkan kenyataan pada kekasihnya itu. Rangga belum siap.
Sebut saja Rangga egois atau terkesan menutup-nutupi sisi buruknya, namun itu semua juga demi kebaikan bersama. Apapun akan dia lakukan jika itu menyangkut keselamatan gadisnya.
Laki-laki itu melirik arloji nya. Mungkin jalan-jalan pagi mengajak kekasih mungilnya itu seru juga.
"Dit, gue tinggal dulu nggak papa,'kan?".
Adit menoleh sejenak dan mengangguk. "Oke aja sih, mau kemana Lo?". Tanyanya kembali.
Rangga menepuk bahu temannya itu pelan lalu memakai jaketnya sambil keluar. "Ngapel".
"Dasar bucin!". Teriak Adit yang hanya di sahuti suara knalpot motor yang mulai berbunyi.
Rangga menepikan motornya ke pinggir jalan. Laki-laki itu melepas helm nya dan turun untuk membeli bubur ayam.
Ini masih setengah delapan, mungkin saja pacar mungil nya itu belum sarapan. Kalaupun sudah juga tak apa, Rangga hanya ingin memastikan jika gadisnya itu mengisi perutnya.
Sampai di kediaman Ara, laki-laki itu segera memarkirkan motornya di garasi depan. Dahinya mengernyit heran saat pintu utama rumah itu tidak terkunci.
Rangga bahkan sudah tiga kali mengucap salam namun tak ada satupun sahutan. Laki-laki itu memberanikan diri untuk masuk dan merasa heran dengan gorden dalam rumah yang belum terbuka.
Keadaan rumah itu benar-benar gelap. Semua lampu padam ditambah gorden yang masih menutup.
Pendengaran nya menajam, Rangga menaiki satu persatu anak tangga saat mendengar isakan lirih. Dan itu berasal dari kamar gadisnya, Ara.
Dibukanya pintu berwarna putih itu. Langsung saja Rangga terkaget melihat gadisnya yang meringkuk di atas ranjang dengan mata yang sangat sembab. Apakah kekasihnya itu menangis sepanjang malam?
"Ssssstt--". Rangga mendekat dan menyentuh pipi Ara sayang. Laki-laki itu kemudian membawa gadis cantik itu ke dalam pelukan.
Rangga mengelus punggung yang nampak rapuh itu. Ara masih saja terisak, namun tak sekeras tadi. Sekarang gadis itu sudah bisa menetralkan tangisan nya walaupun sedikit sesenggukan.
"Kak---hiks". Kedua mata bulat itu menatap Rangga pilu.
Sungguh, Rangga merasa marah sekarang. Apa yang membuat kekasihnya itu menangis hingga seperti ini. Dia ingin bertanya namun dia tau yang dibutukan gadis itu bukan tuntutan pertanyaan, tapi sebuah pelukan yang menenangkan.
"Iya sayang, Aku di sini, hm". Rangga mengecup kening Ara bertubi-tubi.
God! Bahkan Rangga bisa merasakan suhu hangat yang terasa dari sentuhan gadis itu.
"Hiks!. Aku bukan anak Ayah.... ! Aku bukan ,hiks... anak Ayah Sandi...". Ara menatap Rangga dengan suara paraunya. "Karena-- , karena itu juga... hiks, Bunda juga mau--, mau ninggalin Aku... hiks, Aku sendirian sekarang---". Lagi-lagi Ara menangis tergugu. Gadis itu semakin. mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar sang pacar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dimples
Teen Fiction"Kak~" rengek seorang gadis bermata bulat. "Hm?" gumam seorang pemuda. "Jangan liatin, malu" cicit gadis itu, sedangkan pemuda didepannya malah tersenyum. Manis sekali. "Kak Rangga~" rengek gadis itu lagi. "Apa Ara sayang?" Rangga mencubit pipi gadi...