Ara merenung memikirkan nasib yang menimpanya akhir-akhir ini. Semuanya berbuntut panjang bak skenario drama yang tak kunjung usai. Tuhan! Tak taukah dia hanya seorang gadis yang lemah, cengeng, manja, dan sangat bergantung. Bahkan mungkin tidak ada yang tau jika dirinya memendam perasaan takut, dia amat tertekan.
Apalagi figur orang tua. Ayah, yang dia anggap adalah pahlawannya, cinta pertamanya, ternyata--. Lagi-lagi Ara melanggar janjinya untuk tidak larut dalam kesedihannya. Sekuat apapun dia mencoba, bayangan itu akan terus menghantuinya.
Anak tidak diinginkan.
Kesalahan.
Dan, perusak keharmonisan keluarga mereka yang sebenarnya.
Apa yang akan Ara lakukan seandainya Ayah yang benar-benar Ayahnya bertemu? Apakah benci? Rindu yang membuncah? Atau bahkan benci tak ingin melihat.
Semua ini masih membingungkan, dia ingat betul pancaran mata Ayah Sandi yang terlihat seperti sosok Ayah kandungnya. Tapi, mendengar kenyataan malam itu, sepertinya semua ini memang sudah dirancang sedemikian rupa.
Hingga Ara hanya bisa mengucap wah. Terpukau dengan orang-orang yang pandai berakting. Namun bagaimanapun juga, Ayah Sandi adalah sosok yang pernah merawatnya, mendidik nya dan memberi kasih sayang, walaupun itu terasa singkat.
"Hey, ngelamun aja".
Ara tersenyum merasakan sentilan kecil di dahinya. Ulah siapa lagi kalau bukan kekasihnya yang posesif itu. Seorang kurir saja dicemburui, astaga, Ara sampai geleng-geleng kepala karena Rangga urung-uringan hanya karna kurir yang tadi datang ke rumahnya memuji nya cantik.
Bukankah semua perempuan senang jika dipuji, tentu Ara salah satunya. Dia hanya membalas pujian sang kurir dengan senyum tipis miliknya. Namun Rangga dengan segala pemikirannya, "Kamu nangis aja cantik, apalagi senyum kayak tadi. Kamu mau godain laki-laki tadi iya? Pokoknya Kamu nggak boleh senyum sama laki-laki manapun kecuali sama Aku, titik...".
Kenapa Rangga nya harus se manis itu sih, Ara kan jadi nggak kuat.
"Aradina Zakeisha".
"Kenapa Kak Rangga Melvianooo?".
Rangga mengacak poni rambut kekasihnya gemas. Dirinya yang memanggil mengapa jadi balik dipanggil. "Jangan melamun". Tekan Rangga.
"Iya iya. Lagi Aku nggak lagi ngelamun, tapi ngehalu". ucap Ara senyum-senyum.
"Ngehaluin rumah tangga kita nanti ya?". Rangga tertawa jahil. Yah, siapa tau bukan tebakan Rangga benar. Cewek kan gitu, pikirannya nggak jauh-jauh sama khayalan.
"Salah".
Rangga mengangkat satu alisnya. "Terus?".
"Ra-ha-si-a".
"Berani main rahasia-rahasiaan ya sekarang?". Gadis itu tertawa geli kala perutnya dikelitiki Rangga.
"Ampun Kak, udahhh".
"Udah apa?". Ucapnya menggoda.
"Kelitikinnyaaaahhhs".
"Kenapa sayang?". Rangga sontak panik lalu menarik wajah kekasihnya untuk menatapnya.
Gadis cantik itu menarik tangan Rangga lalu membawanya untuk mengelus perut ratanya."Geli, hehe".
"Nakal". Rangga menggigit hidung mungil kekasihnya.
Ara menyengir lalu kembali menurunkan kaosnya yang sempat tersingkap tadi. Dia bisa melihat Rangga yang memalingkan wajahnya, namun sayang, Ara lebih dulu menangkap telinga Rangga yang memerah.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Dimples
Fiksi Remaja"Kak~" rengek seorang gadis bermata bulat. "Hm?" gumam seorang pemuda. "Jangan liatin, malu" cicit gadis itu, sedangkan pemuda didepannya malah tersenyum. Manis sekali. "Kak Rangga~" rengek gadis itu lagi. "Apa Ara sayang?" Rangga mencubit pipi gadi...