58

476 55 0
                                    

Hari beranjak malam, semua sudah beristirahat namun lain halnya dengan Akara yang memutuskan untuk mengecek setiap kapal yang kini tengah berjalan dengan tenang di tengah angin semilir lautan. Ia berpindah dari satu kapal ke kapal yang lain tanpa menghasilkan bunyi karena ia tak ingin semuanya terbangun dan menyangka bahwa ia adalah penjahat.

Setelah memastikan semuanya aman, ia kembali ke kapal Pasukan Revolusi karena ketiga saudaranya ada di kapal tersebut dan kini tengah tidur di tiang utama kapal. Ia tersenyum melihat ketiganya tak berubah sedikitpun biarpun mereka semakin kuat, kecuali Ace pastinya.

Ketika baru saja ingin mendekati ketiganya, sebuah tepukan mendarat di pundaknya, membuat ia menoleh dan mendapati sosok asing yang tak terlihat familiar olehnya. Namun sedetik kemudian, ia sadar siapa sosok tersebut ketika ia melepas tudung jubah yang dikenakannya. Gadis itu mengangguk patuh sembari tersenyum.

"Suatu kehormatan bisa bertemu denganmu secara langsung saat ini, Paman Dragon." ucapnya sopan.

Ya, sosok yang ada dihadapannya saat ini adalah Monkey D. Dragon, ayah kandung sang kakak, Monkey D. Luffy. Lelaki jangkung itu tersenyum sembari bertekuk lutut, berniat menyamakan tinggi dengan gadis kecil bersurai biru yang ada dihadapannya saat ini, dimana gadis ini adalah adik dari putranya sekarang semenjak dua belas tahun silam. Ia tau semuanya dari Sabo selaku tangan kanannya atau yang dimaksud disini adalah orang terpercayanya di Pasukan Revolusi.

"Terima kasih sudah menjadi adik dari putraku, dan terima kasih sudah mau bergabung serta menjaganya. Aku ... Juga kenal orang tuamu."

Kedua mata gadis itu melebar sedikit, terkejut dan tak menyangka di saat yang bersamaan karena sosok ayah dari kakaknya itu ternyata mengenal kedua orang tuanya. Dragon memaklumi ekspresi itu, karena sejauh ini yang tau soal kedua orang tua dari putri angkatnya itu hanyalah ayahnya alias kakek keempatnya, Garp.

"Paman kenal Ayah dan Ibu?" tanyanya, beliau mengangguk. Membenarkan pertanyaan itu.

"Kau mirip sekali dengan ibumu. Matamu ... Mirip dengan ayahmu. Sifatmu campuran dari keduanya persis, tak ada satupun yang terlewatkan. Wajar saja, karena kau anak tunggal dan satu-satunya putri mereka. Kau beruntung, Nak. Bisa tumbuh dewasa disaat keluargamu diincar mati-matian disaat beberapa orang tertentu mengetahui kelemahan keluarga kalian. Namun semua yang tau kelemahan keluargamu sudah tewas kecuali aku dan Ayah. Dan ... Terima kasih sudah menuruti permintaan Ayah agar merahasiakan nama keluargamu sebelum ter ekspos ketika kejadian kalian di Dressrossa kemarin. Kau luar biasa. Kau bisa sekuat ini di usia belia pun benar-benar melebihi kedua Yonkou yang sedang bekerja sama, setidaknya ... Kita seimbang."

Akara terkejut mendengar semua ucapan itu. Tak menyangka. Ternyata ayah dari kakaknya itu ternyata sekuat dirinya? Sama sekali tidak bisa dipercaya! Dragon hanya bisa tersenyum halus melihat ekspresi gadis enam belas tahun yang ada didepannya saat ini, namun sedetik kemudian, Akara tersenyum. Dia mendapat sedikit memori tentang kedua orang tuanya dari kecil hingga mereka sudah menikah dan sang ibu tengah mengandung dirinya saat itu.

"Senang dengan memori kedua orang tua mu yang ada pada diriku? Itu hadiah untukku padamu. Selama enam belas tahun, aku mewakili keduanya. Selamat ulang tahun, Shirayuki Akara. Biarpun sudah terlambat untuk memberi ucapan, apakah kado memori dari ku perihal keduanya masih bisa diterima? Kau bisa melihat semuanya dari awal hingga akhir sampai kau puas mengorek semua informasi soal keduanya di kepalaku." tanyanya di akhiri dengan pemberian izin.

Air mata menggenang, tanpa sadar dan tanpa ada suara sedikitpun yang keluar dari mulut dan bibir kecilnya itu, bulir-bulir bening dan hangat itu kemudian mengalir keatas kedua pipinya dan terjatuh ke lantai kapal.

Akara menahan tangis.

Suara lembut ibunya, suara teduh milik sang ayah, kini sudah menggema di kepalanya dengan sempurna. Bagaimana keduanya yang selalu menantinya lahir waktu itu pun, tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata bagaimana rasanya. Wajah keduanya pun akhirnya berhasil ia ketahui, mengingat sang kakek tak menyimpan foto keduanya walau hanya satu foto saja.

Sabo yang sadar dengan hawa keberadaan Dragon sejak tadi seketika terbangun namun tetap pada posisi nya, ia melihat dan mendengar percakapan keduanya hingga akhirnya sang adik saat ini tengah menangis tanpa suara sama sekali, suara tangis yang ditahan itu tertutup oleh suara desiran angin serta air laut saat ini.

Ia memutuskan untuk bangun sembari membenarkan selimut kedua saudaranya yang lain lalu bergerak mendekati keduanya, Dragon menoleh ke arah Sabo, lelaki blonde itu menarik sang adik lembut kedalam pelukannya dan dibalas dengan pelukan yang sangat erat bagaikan seorang gadis kecil normal pada umumnya yang sedang menangis. Satu tangan memeluk punggung dan satu tangan lagi mengelus kepalanya dengan sayang, Sabo berusaha menenangkan adiknya yang menangis sedih sekaligus bahagia saat ini karena berhasil tau bagaimana sosok kedua orang tua yang tak pernah ia ketahui sejak lahir ini.

"Paman ..." ucapnya lirih, masih menangis.

Dragon menatapnya yang masih berderai air mata, Sabo tetap berusaha menenangkannya sembari mengelap ingus serta air mata adik kecilnya yang masih menangis itu dengan sapu tangan miliknya.

"Makasih ... Banyak ... Hiks ... Makasih ... Paman ..."

Lelaki paruh baya itu tersenyum hangat layaknya seorang ayah kepada putrinya.

Ia menepuk sembari mengelus pelan surai biru Akara sembari menghapus sedikit air matanya yang masih mengalir sebelum meninggalkan kedua kakak beradik itu dan menghilang dari pandangan. Ia juga bersyukur bisa bertemu dengan putri dari sahabat baiknya itu dan memberikan kado terindah setelah enam belas tahun lamanya ia tumbuh.

Sabo kini berusaha menenangkan adik kecilnya yang mulai mengeluarkan suara sehilangnya Dragon, Sabo tau bagaimana perasaan adiknya setelah menerima memori indah perihal kedua orang tua yang sudah melindunginya dulu.

"Senang?" tanyanya lembut setelah Akara selesai menangis dan kini mereka sudah duduk di tiang utama layar kapal, gadis itu hanya mengangguk halus sampai akhirnya ia mulai merasa mengantuk dan jatuh tertidur di pundak sang kakak, Sabo kemudian mengubah posisi tidur adik kecilnya dimana kepala Akara sudah ditaruhnya diatas pahanya saat ini sembari menyelimuti tubuh kecil sang adik.

Matanya yang sembab serta hidungnya yang memerah karena menangis membuat Sabo memang selalu merasa tak tega sejak dulu. Ia selalu tak ingin ada air mata yang mengalir dari kedua mata adik-adiknya. Tapi insiden demi insiden yang tak terduga membuat masing-masing dari mereka berurai air mata, apalagi perihal orang yang mereka sayangi.

Ivankov yang melihar semua itu dalam diam pun hanya bisa tersenyum, tak menyangka pemimpinnya yang menyebalkan itu ternyata peduli dengan putri angkat sekaligus putri dari kedua sahabat lamanya itu, dan memberikan memori perihal kenangan keduanya kepada Akara secara sukarela. Padahal Garp dulu sudah susah payah menyimpan seluruh rahasia milik kedua orang tuanya walau dia berhasil mengorek sedikit rahasia itu sebelum keberangkatannya ke New York.

"Ya ampun, pemimpin kita itu ada ada saja ya tingkahnya. Tidak anak, tidak ayah, sama saja." keluh Inazuma yang berdiri tepat disamping Ivankov saat ini.

"Mereka memang sesekali susah ditebak. Kelakuannya memang begitu. Sampai menular ke gadis kecil itu. Mengherankan sekali."

* * *

Akara's Journey [One Piece x Original Char]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang