Rintik hujan yang terjadi ditengah laut ini membuat Akara hanya bisa diam dan termenung sembari menatap lekat ke arah jendela, hujan saat ini membuat pikirannya mendadak berputar tentang kenangannya beserta ketiga saudaranya ke dua belas tahun silam.
Perlahan, matanya mulai naik turun secara berirama karena mulai mengantuk di tambah udara dingin memang membuat keadaan yang tengah tenang karena semuanya sedang berada diruang kumpul dan ia memilih untuk sendirian berada dikamar tanpa ingin di ganggu sama sekali.
Kepalanya juga perlahan juga ia taruh ke atas meja, wajah sebelah kanannya menempel pada buku yang ia gunakan untuk menulis ceritanya sejak awal ia memulai perjalanannya pun membuat pipi gadis yang chubby dan halus itu mencuat seperti pipi bayi yang sedang dipencet saking gemasnya.
Mirip pipi hamster perpaduan dengan squishy. Kulitnya mirip kulit bayi, tapi aslinya mah dia kek baja yang super banget mah badannya. Tahan banting udah kek bahan baja yang kekuatannya berkali-kali lipat bahan baja biasa biarpun dia bisa menerima luka juga.
Perlahan, mata sayunya yang tengah lelah itu terpejam, beberapa helai rambut panjang nya menutupi wajah karena gadis itu terbiasa untuk tidak mengucir rambutnya setiap kali hujan tengah turun sejak ia masih di asuh oleh Dadan beserta yang lainnya. Disaat yang bersamaan, Ace yang hanya bisa melihat adik perempuan nya yang sekarang sudah tumbuh dewasa itu hanya bisa tersenyum tanpa bisa menyentuhnya sama sekali dari tempatnya berdiri sekarang. Ia hanya bisa mematung dari jauh di salah satu sudut kamar saat ini.
Ia tersenyum.
"Lama tidak bertemu dan jarang memperhatikan selama mengikutimu sejak kau berangkat dari Sabaody kemarin, kau cantik ya sekarang ... Dan tak ku sangka Sabo juga masih hidup ..." keluhnya tanpa bisa disadari oleh siapapun kecuali Akara yang memang punya ke sensitifan yang sangat tinggi dan memang punya kemampuan melihat akibat genetikanya.
Ace berusaha meraih salah satu selimut agar bisa menyelimuti adiknya yang sedang tertidur, tanpa disadari ia justru berhasil menampakkan diri biarpun tembus pandang, dan ia juga berhasil meraih selimut itu biarpun butuh waktu berapa lama agar bisa berhasil menyentuhnya.
Ketika menyelimuti Akara dan berhasil menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi keningnya, disaat bersamaan adiknya sedikit mengigau dan meracau namanya dengan air mata yang mengalir dari kedua pelupuk matanya yang tengah terpejam itu, membuat Ace hanya diam dan tak bisa memberi respon lebih atas racauan adik kecilnya yang begitu merindukannya itu.
Selang beberapa detik, sosok Robin masuk ke kamar seorang diri dan memasang muka terkejut ketika Ace duduk di atas meja tepat disamping Akara yang tengah terlelap. Ace yang sadar jika dirinya berhasil dilihat saat ini berkat keteguhannya agar bisa dilihat dan menyentuh barang pun hanya bisa mengulum senyum sembari menaruh telunjuknya ke depan bibir menandakan bahwa Robin harus diam dan tenang, mengingat gadis itu sedang tidur.
Robin yang tau kode itu hanya bisa tersenyum dibalik keterkejutannya saat ini, ia kemudian menutup pintu kamar lalu duduk dibelakang kursi tempat Akara sedang jatuh tertidur saat ini.
"Ace, sejak kapan?" tanya Robin halus.
"Aku mulai mengikuti Akara sejak dia mulai bergerak pergi bersama kalian dari Sabaody. Robin, terima kasih sudah tetap berada disisi adik-adikku sejak aku meninggal. Terutama kau, Robin."_
Ucapan itu, terdengar menyayat hati. Mengingat Akara yang nyaris ingin menbunuh dirinya sendiri karena merasa tertekan hingga mentalnya nyaris anjlok kala ituo, Sabo yang sampai terkena demam tinggi sejak kejadian itu, Luffy yang juga menyakiti dirinya sendiri sebelum berlatih selama dua tahun. Tapi Robin memaklumi itu, karena ia juga pernah merasakan hal yang sama seperti mereka.
"Kau ... Tak pernah disadari oleh Akara kan?"
Ia mengangguk.
"Aku tak pernah berniat sedikitpun untuk menampakkan diri didepannya sama seperti ibunya Sanji kemarin. Jadi kemanapun kalian pergi, aku hanya mengikuti kalian dari bagian bawah kapal agar adikku yang satu ini tidak menyadari keberadaanku. Dia tau seperti ada orang lain selain kalian dikapal, hanya saja ia tak tau siapa. Aku bisa membaca ekspresi wajahnya tanpa harus melihat langsung."
Robin tersenyum.
"Lebih baik sekarang tampakkan dirimu seperti ini, biarpun kau tidak bisa disentuh, itu sudah lebih dari cukup untuk membahagiakan mereka. Kapan lagi kau bisa melihat ketiga adikmu seperti itu?"
Ace meringis.
"Niatnya begitu ... Tapi kalau tidak bisa menyentuh mereka rasanya tidak mungkin."
Akara yang terbangun begitu Robin masuk ke kamar tadi ternyata mengikuti obrolan singkat keduanya sejak awal, ia berusaha untuk tidak bangun namun tidak bisa menahan air matanya dalam diam sekarang, ia memutuskan untuk beranjak, membuat kedua orang tua itu kaget ketika ia bergerak bangun.
Sebelum sempat kabur, Akara berhasil menyentuh Ace yang seharusnya tidak bisa dipegang sama sekali oleh manusia normal pada umumnya biarpun ia terlihat secara transparan sekarang.
"Kakak bodoh! Seberapa bodoh dirimu ini sebenarnya dari dulu sampai sekarang!? Kau kira aku siapa!?" omel Akara, tangisannya pecah namun ia tahan setengah mati sekarang karena tidak ingin semua nya datang berbondong-bondong ke kamar dan menyadari keberadaannya yang tidak diketahui oleh siapapun selain dirinya dan juga Robin.
Ace diam, dia tidak mengeluarkan usaha lebih selain bisa dilihat dan bisa didengar, namun siapa sangka jika dengan Akara ia bisa menyentuhnya secara leluasa, seakan dia masih memiliki raga seperti semuanya ketika ia menyeka air mata adiknya.
Ace sadar, Akara memberi sedikit kekuatan kehidupan miliknya pada dirinya sekarang biarpun hanya satu persen saja namun kekuatan itu berdampak sangat besar bagi Ace yang sejak awal memang terlahir normal dan tak memiliki genetika yang kuat seperti Akara.
Ia merasa tubuhnya bisa dilihat sedikit lebih jelas ketimbang tadi ketika ia melihat tangannya sendiri saat ini dan berkat Akara juga, ia bisa menyentuh beberapa benda fisik biarpun tidak keseluruhan dan dia masih menembus semuanya seperti biasa. Jadi dia ingin menyentuh disaat ingin, dan tidak bisa menyentuh disaat ia sendiri memang tidak ingin menyentuh bahkan bisa tersentuh barang apapun yang ada didekat dan disekelilingnya.
Spontan, Ace menangis sembari memeluk Akara yang bisa ia sentuh sesuka hati karena gadis itu berhasil membagi energi kehidupannya kepada Ace. Akara sama responnya.
Hujan saat ini ditambah Robin yang menjadi saksi bisu mereka hanya bisa tersenyum sembari menyeka sedikit air matanya yang sudah menyeruak keluar. Kakak beradik dihadapannya sekarang tengah melepas rindu biarpun Ace hanya arwah disini, namun dia bukan arwah gentayangan loh ya.
Ace bersyukur, ia tak jadi arwah gentayangan. Ia bersyukur jiwanya masih berada dibumi biarpun raganya sudah tidak ada. Mengingat masih banyak yang menyayanginya, itulah alasan kenapa Tuhan tidak langsung mengambil nyawa nya yang sudah keluar dari raganya waktu itu. Dan ia pikir ia akan langsung ke surga dan terlahir sebagai reinkarnasi di tubuh anak kecil lainnya yang baru terlahir.
Namun sayang, harapan itu salah dan ia justru mengalami hal ini sekarang. Dia bersyukur belum bereinkarnasi, karena jika dirinya bereinkarnasi, pasti ia akan melupakan semua kenangannya. Semua kenangan yang ia alami sejak kecil hingga bertemu adik-adiknya yang selalu memenuhi suasana hatinya setiap hari sejak dua belas tahun yang lalu ini.
"Terima kasih sudah berada didekat kami, Ace!" ujar Akara.
"Dan terima kasih sudah membuatku bisa terlihat dan bisa menyentuh barang disaat aku menginginkannya, dan bisa bersama kalian walau aku tidak berada di ragaku, Akara!"
* * *
![](https://img.wattpad.com/cover/176976668-288-k210239.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Akara's Journey [One Piece x Original Char]
Pertualangan"Dia adalah adik perempuan kami!" Lima kata penuh makna, berarti dan sangat berharga, itulah yang dirasakan oleh sosok kecil Shirayuki Akara yang saat ini sudah beranjak remaja. Dilindungi dengan tiga orang kakak laki-laki yang senantiasa berada dis...