Jangan lupa vote:)
H-1
"Rara." seseorang mengetuk pintu kamar Rara, mendengar siapa yang mengetuk Rara sudah tahu kalau itu adalah kakak laki-lakinya yang pertama, lantas ia dengan cepat membuka pintu kamarnya.
"Kenapa Mas?"
"Nggak, mau ngobrol aja, boleh masuk?"
"Masuk aja lagi."
Baru beberapa langkah ia memasuki kamar, ada seseorang yang kembali memangil namanya.
"Mba Rara, Jeno boleh ikut?"
"Kayak mau kemana aja ikut-ikutan, sini masuk." ujar Rara mengintrupsi adik bungsunya untuk masuk ke kamarnya juga.
Ketiganya duduk santai di atas karpet bulu tebal, "ngapa, Mas?" tanya Rara pada Daffa.
"Mau ngrobol aja." jawab Daffa dengan singkat.
"Iya yang mau diobrolin tu apa Mas Daffa?" tanya Rara cukup kesal, kemudian Daffa hanya mengangkat bahunya membalas ucapan Rara.
"Mba Rara." Rara menoleh kearah adiknya.
"Kita yang susah-susah jagain Mba Rara, eh malah Mba Rara nya diambil sama orang lain."
"Heh kamu mau Mba jadi perawan tua?" Rara tertawa pelan kemudian mengusap kepala Jeno dengan lembut, "Makasih ya udah jagain Rara."ucap Rara pada keduanya.
"Semenjak Papa jauh dari kita, Rara sama sekali gak pernah ngerasa kehilangan sosok Papa, karena kalian, Mas Deva, Mas Daffa, bahkan Jeno udah berhasil gantiin posisi papa di kehidupan Rara."
"Bohong kalo Rara gak pernah marah sama keadaan, kita sama, pada saat itu kita juga jadi korban atas cerainya Mama sama Papa, kita benar-benar marah saat itu, tapi kalian ngesampingin ego kalian untuk bisa tetap bahagiain Mama sama Rara." ucap Rara dengan panjang lebar, air mata sudah jatuh di pipinya.
"Rara kan emang deket banget sama Papa, jadi wajar aja kok marah." Daffa menenangkan Rara yang mulai menangis, di usapnya punggung Rara dengan lembut.
"Makasih ya Mas."
Pintu kamar Rara diketuk lagi oleh seseorang, kemudian lelaki bertubuh bongsor ikut memasuki kamar Rara dan melihat ketiga saudaranya dengan bingung.
"Rara kenapa?" tanya Deva menatap Daffa dan Jeno secara bergantian, kemudian Jeno memutar matanya dengan malas.
"Ngerusak suasana banget." ujar Daffa.
Kemudian Deva juga ikut duduk diantara ketiganya.
"Kenapa?" tanya Deva dengan lembut, Rara tidak menjawab, tetapi ia langsung menghambur ke pelukan Deva.
"Makasih banyak, Mas."
"Makasih udah jagain Rara dan buat Rara bahagia terus." Deva melepas pelukan Rara kemudian memegang pundak Rara dengan lembut.
"Udah tugas kita, Ra."
"Rara tau banget kalian udah banyak ngorbanin kebahagiaan kalian untuk Rara, kalian udah banyak ngalah untuk Rara, Jeno maaf ya udah sering ngerepotin kamu untuk antar jemput Mba, Mas Deva sama Mas Daffa makasih banyak udah kerja keras cari duit untuk nguliahin Rara."
"Besok Rara akan jadi istri orang, semua tanggung jawab yang Mas Deva, Mas Daffa sama Jeno pikul selama ini bakalan pindah ke laki-laki pilihan Rara. Makasih banget, maaf ya kalo Rara nggak bisa balas apa yang udah kalian kasih, Rara sayang banget sama kalian, benar-benar sayang bangetttt, walaupun dulu kalian sering bilang Rara anak pungut."
Ketiganya tersenyum haru.
"Cukup liat kamu bahagia semua itu udah terbayarkan, Ra. Walaupun kamu besok nikah tapi di mata Mas sama Deva kamu tetap jadi Rara kecil yang sering nangis, apapun itu, kita bertiga tetap ada dibelakang kamu untuk terus ngelindungin kamu, tetap bahagia ya, Rara." Daffa memeluk Rara sembari mengelus bahu Rara dengan lembut kemudian Jeno dan Deva juga ikut memeluk Rara.
Di jam sepuluh malam rumah Rara masih terlihat ramai oleh para tetangga dan kerabat dekat yang ikut membantu mempersiapkan acara akad nikah yang akan berlangsung di rumahnya, banyak orang-orang yang membantu untuk acaranya esok.
Rara cukup lelah hari ini, ia merasa tidak ada henti baginya untuk menyapa sanak saudara yang jauh-jauh datang dari kota sebelah untuk menghadiri pernikahannya besok.
Setelah yang lain sibuk dengan urusannya masing-masing, Rara mengitari rumah mencari ibunya.
"Bulek, ada liat mama gak?" tanya Rara.
"Mama mu tadi kelihatan capek jadi bulek suruh istirahat di kamar."
Rara segera menuju kamar Mama nya, kemudian membuka pintu kamar Mamanya dengan perlahan.
Pandangan yang pertama kali ia lihat adalah punggung mamanya yang membelakangi dirinya, Rara melangkah masuk kemudian duduk di samping ranjang Mamanya, namun pergerakan Rara membuat sang Mama tersadar dari tidurnya.
"Kenapa?"
"Rara boleh tidur sama Mama? Malam ini aja, Rara pengen di peluk Mama." Mamanya tersenyum kemudian menepuk tempat kosong di samping kirinya, mengintrupsi Rara agar berbaring di sebelahnya, kemudian langsung merengkuh tubuh Rara ke dalam dekapannya.
"Mama, sebenarnya Rara takut."
"Takut kenapa? kan ada mama."
"Rara takut gak bisa jadi istri yang baik."
"Maaf ya." ucapan Mamanya membuat ia mendongak untuk melihat wajah sang Mama.
"Jangan kayak Mama ya sayang, Mama gak bisa jadi istri dan ibu yang baik untuk kamu, maafin Mama."
"Mama kenapa minta maaf? Itu bukan salah Mama, Rara yang harusnya minta maaf karena Rara sempat marah sama Mama. Ma, banyak banget pembelajaran yang baru bisa Rara cerna sekarang."
Sang Mama mengelus surai Rara dengan lembut.
"Rara justru pengen kayak Mama, bagi Rara Mama itu hebat banget, banyak hal yang gak bisa Rara deskripsikan tentang Mama karena Mama terlalu hebat. Mama, nanti Mama jaga kesehatan ya, jangan paksain diri dan terlalu capek."
"Iya Rara, kamu juga jadi istri yang baik ya. Kamu jangan takut, semuanya bisa dipelajari secara perlahan, Ra. Jangan takut Rara, sayang. Mama selalu ada disamping kamu."
Keduanya berpelukan dengan erat, air mata haru juga terus membasahi pipi keduanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dilamar✓
Fanfiction❝Bismillah. Ini pertanyaan yang dari awal sudah membuat saya bingung, sebelum proses ini, Mas Jeffrey langsung mengkhitbah saya tanpa ingin melalui proses ta'aruf terlebih dahulu. Apa yang membuat Mas Jeffrey seyakin itu dengan saya dan kenapa Mas J...