Part 19. Masa Lalu (2)

1K 99 6
                                    

****

Gerlan berlari masuk ke dalam rumahnya dengan sangat terburu-buru. Tadi Amanda sempat menelepon dirinya sambil menangis dan bilang jika Papa mereka sedang mabuk-mabukkan di dalam rumah. Kali ini Gian memang hanya sendiri tidak seperti kemarin yang membawa beberapa temannya untuk ikut mabuk-mabukkan.

Amanda juga bilang jika Gian seperti orang yang sedang kesurupan. Pria itu terus berteriak memanggil nama istrinya, Lovata. Sambil menghancurkan benda-benda yang ada di sekitarnya. Amanda tidak berani menghentikan Papanya. Karena ia ingat pesan Gerlan untuk jangan pernah mendekat ke arah Gian. Jika dia dalam keadaan mabuk berat itu bisa saja berakibat fatal padanya.

Gerlan berhenti di depan pintu rumahnya. Melihat Gian yang sedang menghancurkan barang-barang apa saja yang ada di dekatnya. Menggunakan botol bir yang berada di genggaman tangan kanannya.

Pandangan Gerlan langsung tertuju kepada Lovata yang sedang berdiri tidak jauh dari Gian. Wanita itu menutup mulutnya rapat-rapat menggunakan telapak tangannya. Dengan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya.

"Pa, berhenti!" sergah Gerlan saat Gian ingin melempar sebuah bingkai yang berisikan foto keluarga mereka ke lantai.

"Kenapa kamu bisa ada di sini? Kamu bolos sekolah lagi, iya?!" tanya Gian saat Gerlan sudah berada di hadapannya.

Gerlan mengambil alih bingkai foto yang berada di genggaman tangan Gian. Meletakkannya kembali ke atas meja yang berada tidak jauh darinya. "Iya saya memang bolos sekolah. Kenapa? Masalah buat Papa," balas Gerlan nada suaranya terdengar begitu berani.

Sebuah tamparan kencang tiba-tiba saja mendarat tepat di pipi kiri Gerlan. Membuat Lovata yang melihat itu segera berlari menghampiri anak dan juga suaminya.

"Apa yang kamu lakukan, hah?!" teriak Lovata tepat di hadapan Gian. Ia menoleh sekilas ke arah Gerlan yang sedang menyentuh pipi kirinya.

"Ini semua terjadi gara-gara kamu Lovata. Kamu tidak pernah becus menjadi seorang Ibu!" sahut Gian kedua matanya terlihat begitu merah. Akibat dari efek alkohol yang di minumnya.

"Anak kita meninggal gara-gara kamu. Dan sekarang dia menjadi anak yang tidak pernah bisa menghormati orang tuanya sendiri!" ucap Gian seraya mengarahkan botol bir yang ada di tangannya ke hadapan Gerlan.

"Semuanya takdir. Jadi jangan pernah sekalipun Papah menyalahkan Mama atas semua yang sudah terjadi!" pinta Gerlan merasa tidak terima jika Gian selalu saja menyalahkan Lovata atas kejadian beberapa tahun yang lalu.

"Tahu apa kamu soal takdir?" tanya Gian. "Jelas-jelas itu semua terjadi karena dia. Dia yang sudah lalai menjaga anak yang ada di dalam kandungannya."

"Iya, aku yang salah atas semuanya! Tapi kalau kamu tidak selingkuh ini semua juga tidak akan pernah terjadi!" seru Lovata selama ini ia sudah terlalu sabar dengan sikap Gian, yang selalu saja menyalahkan dirinya atas kematian anak ketiga mereka. Tapi kali ini ia tidak bisa membiarkan itu semua sampai terjadi lagi.

"Kamu suka sekali memutar balikkan fakta ternyata," balas Gian yang tiba-tiba saja menampilkan senyum miringnya. Membuat Lovata yang melihat itu langsung terdiam mematung.

Dulu Gian adalah seorang ketua geng yang sangat di takuti. Dan dia selalu menampilkan senyum miring itu ketika sedang membalas ucapan lawannya. Itulah sebabnya kenapa Lovata takut ketika melihat senyum itu. Karena ia jadi mengingat kembali bagaimana kejamnya Gian pada masa mudanya. Tapi selama mereka menikah Gian tidak pernah lagi menunjukkan senyum miring itu.

"Aku sedang tidak memutar balikkan fakta, Gian."

"Jadi semua ini salahku?" Lovata memundurkan langkah kakinya perlahan demi perlahan. Ketika Gian mencoba untuk mendekat ke arahnya masih dengan senyum miring yang terbit di salah satu sudut bibirnya. Dan juga botol bir yang berada di genggaman tangannya.

"Kenapa mundur, hmm?"

Gerlan masih diam di posisinya. Baru kali ini ia melihat Gian yang sangat berbeda dari sebelumnya. Selama ini ia hanya melihat Papanya yang suka sekali mabuk-mabukkan. Tapi kali ini ia merasa sangat asing dengan nada suara dan juga mimik wajah Gian. Sekarang ia jadi benar-benar penasaran dengan kehidupan Gian pada masa mudanya.

"Coba kamu ulangi lagi kalimat yang bilang jika aku selingkuh. Aku ingin mendengarnya dengan lebih jelas lagi," bisik Gian tepat di samping telinga Lovata.

"Ulangi sayang."

"Kamu brengsek, Gian!!" Suara pecahan beling seketika terdengar di dalam rumah itu. Tepat setelah Lovata berteriak kepada Gian.

Amanda langsung berlari menuruni anak tangga dengan secepat mungkin. Ketika melihat Gerlan yang baru saja mendapatkan pukulan kencang dari botol bir yang sejak tadi berada di genggaman tangan Gian.

Gerlan sudah terlebih dahulu melindungi tubuh Lovata ke dalam pelukkannya. Saat Gian sudah mulai melayangkan botol bir itu untuk memukul istrinya sendiri.

"Papa apa-apaan, hah!" Amanda mendorong kencang tubuh Gian menggunakan kedua tangannya. Hingga membuat Papanya itu mundur beberapa langkah ke belakang. Ia benar-benar tidak percaya jika Gian akan melakukan hal itu kepada Mama dan juga Kakaknya.

"Papa tidak sengaja sayang," ucap Gian mencoba untuk meraih tubuh anak perempuannya. Tapi yang Amanda lakukan adalah menghindar. Amanda memperhatikan telapak tangan Gian yang sudah terdapat banyak bercak darah. Dengan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya.

"Pergi. Aku nggak mau lihat Papa ada di sini," pinta Amanda begitu pelan.

"Pergi Pa!!"

"Mama baik-baik saja kan?" tanya Gerlan setelah menjauhkan tubuh Lovata dari pelukannya. Ia berjanji tidak akan pernah memaafkan Gian. Jika pria itu sampai berani melukai orang yang sangat ia sayang.

"Seharusnya Mama yang bertanya seperti itu sayang. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Lovata melihat jelas bagaimana anak laki-lakinya itu. Berusaha keras untuk melindungi dirinya dari kemarahan Gian.

Gerlan mengangguk. Kemudian tiba-tiba saja ia menyentuh pundak kanannya yang terasa begitu sakit. Mungkin ini akibat pukulan yang berasal dari botol bir tadi.

"Ma, Kak Gerlan berdarah," ucap Amanda dengan nada yang terdengar begitu khawatir. Pasalnya ia melihat jelas pundak kanan Gerlan yang mengeluarkan banyak darah. Apalagi sekarang laki-laki itu sedang menggunakan seragam berwarna putih. Bahkan darah di pundaknya sampai menetes ke lantai di mana tempat dia berdiri.

Setelah Gian pergi dari hadapan Amanda. Ia segera berjalan menghampiri Lovata dan juga Gerlan. Untuk memastikan bagaimana kondisi mereka berdua.

"Ayo Ma. Bawa Kak Gerlan ke rumah sakit," tambahnya.

Gerlan menggeleng. "Ini cuma luka kecil. Nggak perlu ke rumah sakit," sahutnya.

"Nggak bisa Kak. Kita harus tetap ke rumah sakit," tegas Amanda.

"Kita ke rumah sakit, sekarang."

Gerlan hanya bisa pasrah ketika Lovata dan Amanda membawanya masuk ke dalam mobil, yang sedang terparkir di depan teras rumah mereka. Lovata duduk di depan bangku kemudi. Sedangkan ia dan Amanda duduk di bangku penumpang. Mobil itu mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah. Manuju rumah sakit yang berada tidak jauh dari kediaman mereka.

****

GERLAN (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang