Part 21. Cemburu

1.2K 82 11
                                    

****

Gerlan membuka seragam sekolahnya yang terlihat begitu basah. Akibat air hujan yang turun beberapa menit yang lalu. Hingga hanya menyisahkan kaos putih polos dengan celana abu-abunya. Kemudian menaruh baju seragam tersebut di atas tumpukan kayu di mana tempat ia duduk.

Gerlan memutar perlahan pundak kanannya ke belakang. Sambil sesekali meringis kesakitan ketika merasakan sakit di bagian yang baru saja mendapatkan beberapa jahitan itu. Sebenarnya saat sedang dalam perjalanan menuju SMA Pelita Bangsa. Ia sudah menahan rasa sakit dan juga perih pada pundaknya saat terkena air hujan. Terlebih lagi Nafisha sempat menyandarkan kepalanya sangat dekat dengan luka itu.

"Enak banget hidup lo. Datang ke sekolah cuma buat nongkrong di sini," celetuk seseorang membuat Gerlan langsung menoleh. Melihat Daniel, Luky, dan juga Revan yang baru saja membuka pintu rooftop yang berada tidak jauh dari tempatnya. Sepertinya ia tadi lupa untuk mengunci pintu besi itu setelah membukanya.

"Tadi pagi kenapa lo nggak masuk kelas?" tanya Revan menyandarkan tubuhnya pada dinding pembatas. Dengan pandangan yang menatap lurus ke arah teman-temannya.

"Gue telat," jawab Gerlan pagi tadi ia memang sempat pergi ke kelasnya untuk memastikan sudah ada guru atau belum di sana. Tapi setelah melihat jika ada guru yang mengajar ia langsung pergi menuju rooftop. Tanpa berniat untuk mengikuti pembelajaran yang sedang berlangsung.

"Bukannya sebelum bel masuk lo sudah ada di sekolah?" tanya Luky memastikan.

Karena tadi pagi ia, Daniel, dan juga Revan memang sempat melihat motor Gerlan sudah terparkir rapih di depan gedung sekolah mereka.

"Gue emang sudah sampai di sekolah pagi tadi. Tapi gue balik lagi buat jemput Nafisha di halte. Lo lihat aja baju gue basah gara-gara hujan-hujanan sama dia," sahut Gerlan. Luly, Daniel, dan Revan yang mendengar itu seketika mengalihkan pandangan mereka ke arah baju seragam Gerlan yang sedang di letakkan tidak jauh dari mereka.

"Sekarang Nafishanya di mana?" tanya Daniel mencari-cari keberadaan perempuan itu di sekitar rooftop.

"Dia ada di kelasnya. Kalau bukan karena dia takut di marahin sama Dava. Nggak mungkin gue sekarang ada di sini," tutur Gerlan.

"Di marahin gimana maksud lo?" tanya Luky sedikit bingung dengan ucapan yang baru saja Gerlan lontarkan kepada mereka. Gerlan mengangkat kedua pundaknya singkat. Kemudian mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam saku celana. Memainkannya tanpa mempedulikan ketiga temannya yang ada di sana.

"Kemarin kenapa Amanda tiba-tiba telepon lo?"

"Biasa urusan bokap gue," jawab Gerlan tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari layar ponselnya.

"Kenapa lagi sama bokap lo? Dia mabuk-mabukkan?" sela Luky.

Mereka bertiga sudah sangat tahu bagaimana kelakuan buruk Gian saat sedang berada di dalam rumah. Mabuk-mabukkan? Itu sudah pasti. Karena mereka bertiga juga sempat melihatnya langsung saat sedang ingin mengerjakan tugas di rumah Gerlan.

Bahkan mereka juga tahu apa penyebab awal dari semua itu terjadi. Tapi mereka hanya diam mencoba untuk tidak ikut campur dengan masalah yang ada di dalam keluarga Gerlan.

"Jangan bilang kalau punggung lo luka karena perbuatan bokap lo," tebak Daniel saat tidak sengaja melihat beberapa bercak darah pada kaos yang sedang Gerlan kenakan saat ini.

GERLAN (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang