****
Biasanya pagi hari selalu di dominasi oleh langit yang cerah. Tapi entah kenapa hari ini berbeda, langit terlihat begitu gelap dan air hujan juga mulai turun sedikit demi sedikit membasahi jalanan. Membuat beberapa pengendara motor yang lupa membawa jas hujan terpaksa harus berhenti dan berteduh di salah satu halte yang ada di sana. Untuk menghindar dari air hujan yang akan membasahi pakaian mereka.
Begitupula yang di lakukan oleh Nafisha saat ini. Ia terlihat sedang mendudukan tubuhnya di sebuah kursi panjang yang ada di halte itu. Seraya menautkan jari-jari tangannya di atas kedua pahanya. Decakkan kecil beberapa kali sempat terdengar dari dalam mulutnya. Ketika ia tidak bisa lagi melihat hujan deras yang sedang turun di depan halte. Karena terhalang oleh beberapa orang yang berdiri di hadapannya.
Nafisha mengambil ponsel miliknya yang berada di dalam saku seragamnya. Mengecek jam yang tertera di dalam layar ponselnya itu. Seketika saja ia bangkit dari posisi duduknya. Ketika menyadari jika gerbang sekolah SMA Pelita Bangsa akan di tutup dalam waktu lima belas menit lagi.
Nafisha melangkahkan kakinya ke depan lalu ikut berdiri di antara pengendara yang sedang berteduh. Jarak antara halte dan sekolahnya lumayan jauh. Jika ia tidak cepat-cepat pergi dari sini sudah di pastikan ia akan terlambat.
Ponsel yang berada di genggaman tangannya tiba-tiba saja bergetar. Menampilkan panggilan masuk dari sosok Gerlan.
"Lo di mana?" tanya Gerlan tanpa basa-basi. Sepertinya ia sudah menyadari jika sejak tadi Nafisha belum juga sampai di sekolah. Karena biasanya setiap pagi ia memang selalu menyempatkan diri untuk datang ke kelas XI IPA 3. Hanya untuk memastikan apakah Nafisha sudah sampai di sekolah atau belum.
"Aku lagi tunggu hujan reda di halte," jawab Nafisha dengan sedikit berteriak. Ia takut jika Gerlan tidak bisa mendengar jelas suaranya dari sebrang sana. Akibat suara kendaraan yang berlalu lalang di depannya dan juga hujan yang masih saja belum reda sejak tadi.
"Share lokasi lo ke gue, sekarang!" Gerlan langsung menutup panggilan telepon mereka secara sepihak sebelum Nafisha berhasil membalas ucapannya. Ia menaruh kembali ponsel itu ke dalam saku seragam. Setelah mengirimkan lokasinya saat ini kepada Gerlan.
Nafisha mengulurkan salah satu tangannya ke depan. Menampung tetesan air hujan yang turun dari atap halte. "Kalau kayak gini terus bisa-bisa gue terlambat sampai ke sekolah," gumamnya.
Hari-hari biasanya ia selalu berangkat sekolah di antar oleh supirnya. Tapi entah kenapa hari ini ia ingin sekali pergi ke sekolah dengan menaiki bus. Tapi sudah beberapa menit ia menunggu di halte. Bahkan sampai hujan turun dengan begitu deras bus itu belum juga datang.
Sekarang ia jadi bingung. Sebenarnya ia yang salah perkiraan tentang jadwal keberangkatan bus itu. Atau memang busnya yang sedang tidak beroprasi hari ini.
Sebuah motor besar tiba-tiba saja berhenti tepat di hadapan Nafisha. Membuatnya refleks mundur beberapa langkah ke belakang. Ingin sekali ia mengomel kepada pengendara motor itu yang sudah membuatnya terkejut. Tapi ia langsung mengurungkan niatnya saat merasa tidak asing dengan motor serta postur tubuh sang pengendara.
"Kak Gerlan," gumam Nafisha saat pengendara tersebut mulai membuka kaca helmnya.
"Kak Gerlan kenapa bisa ada di sini?" tanya Nafisha dengan suara yang sedikit pelan. Dari ekor matanya ia dapat melihat bagaimana orang-orang yang berada di sekitar halte sibuk memperhatikan mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERLAN (END)
RomanceGerlan Mauriz, laki-laki tampan yang terkenal memiliki sifat sedingin es yang selalu menampilkan wajah datarnya. Selama 18 tahun ia menjalani hidup, ia sama sekali belum pernah merasakan yang namanya terpikat oleh perempuan. Hingga akhirnya waktu it...