Part 9|Tidak Seperti Mentari

225 25 8
                                    


"Hebatnya takdir bisa membuatku bahagia dan sedih secara bersamaan"


REVISI!

---------

Cahaya sinar mentari masuk dengan malu-malu lewat celah jendela seorang gadis yang masih tertidur pulas di bawah tempat tidur. Matanya perlahan mengerjap, dan terbuka sempurna merasa silau dengan sinar cerah sang mentari pagi.

Dia mendudukan tubuhnya yang terasa sakit akibat semalaman tidur di bawah hanya beralaskan selimut tebal, untungnya malam ini adalah malam yang cukup untuk Silma tidur, dia bisa sedikit tidur lebih nyenyak berkat obat penenang yang selalu menjadi objek bergantung dirinya untuk menjadi damai.

Silma menengadahkan wajah, untuk melihat jam di dinding kamar. Pukul 07.30 pantas saja mentari mulai memancarkan sinarnya. Silma memeluk kedua lututnya, membiarkan dagunya bertumpu di atas lutut. Ia malas berangkat sekolah hari ini, bahkan untuk keluar dari kamar dan bertemu kedua orang tuanya saja Silma tak siap.

Dirinya tidak mau menelan kepahitan lagi, Silma tak sanggup menelannya lagi untuk hari ini, biarkan dirinya beristirahat sejenak.

Gadis itu menghela nafas, bangkit lalu berjalan tertatih membuka tirai jendela untuk menghirup udara di pagi hari ini.

Cuaca di pagi hari ini tampak cerah, berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Ia menatap matahari yang semakin naik dan bersinar cerah. Terkadang Silma ingin sekali hidup seperti matahari, selalu bersinar meskipun orang orang banyak yang mengeluh akan panas yang dipancarkan oleh sinarnya.

Tapi Silma tidak bisa menjadi seperti matahari yang selalu bersinar meskipun manusia tak menyukainya. Dia hanyalah manusia biasa yang tak bisa terlihat baik baik saja seterusnya. Hatinya juga bisa lelah. Bukankah memang sifat manusia yang mudah sekali lelah? Ya Silma hanya manusia biasa.

Silma membalikkan tubuhnya saat mendengar suara pintu kamarnya terbuka, Bi Ijah berjalan menghampirinya dengan senyum ramah yang bisa menghangatkan hati Silma.

"Kirain Bibi non teh belum bangun."

Silma tersenyum simpul, "Udah bi."

Dia kemudian kembali menatap suasana luar lewat jendela kamar, "Mamah sama Papah udah berangkat Bi?" tanya Silma saat melihat garasi rumahnya yang kosong tak ada mobil Mamah dan Papahnya, hanya ada satu mobil yang biasa mang Udin pake untuk mengantar dirinya ke sekolah.

Bi Ijah mendekat lalu mengusap surai Silma lembut, "Sudah dari satu jam yang lalu."

Silma menatap Bi Ijah yang tersenyum ke arah nya. Lalu menghela nafas berat, "Mereka udah mm?" Silma ragu.

"Belum mereka belum baikan, bahkan tadi saat di meja makan pun sempat bertengkar," jawab Bi Ijah tersenyum tak enak.

"Mereka bertengkar kenapa lagi bi?" tanya Silma parau, "Apa soal aku?" Ia membalikkan tubuhnya menghadap wanita itu saat mendengar helaan nafas berat darinya, menggenggam tangan Bi Ijah dengan melas, "Jujur sama aku Bi!"

Bi Ijah menundukan kepalanya, tak mau melihat wajah sedih anak majikannya. "Mereka ngomongin soal non Silma yang harus jadi penerus keluarga Naladhipa."

Silma memejamkan mata saat merasa kepalanya berdenyut, tangannya beralih memegang kepalanya dan tangan satunya menahan tubuhnya yang terasa lemas.

Karena Takdir [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang