"Terkadang senyuman tidak bisa menjanjikan keadaan"-------
°
REVISI!
°°°°
Tidak seharusnya Silma kecewa dengan takdirnya, bahkan ada yang lebih parah dari apa yang ia hadapi. Contohnya Zeva, Silma baru tahu jika gadis itu berasal dari panti asuhan.
Jika dibandingkan, Silma lebih beruntung dibanding Zeva, Silma mempunyai kedua orang tua meski mereka tidak menanggapnya, setidaknya Silma beruntung dari Zeva yang bahkan tidak tahu rupa Ayah dan Ibunya.
Tapi Zeva selalu ceria, dia selalu tersenyum mengatakan pada orang-orang dirinya berhak bahagia. Silma juga harus melakukan hal yang sama.
Silma terbangun di atas kasurnya, gadis itu membuka mata melihat sosok Mang Udin dan Bi Ijah yang berdiri di sampingnya dengan raut khawatir.
"Alhamdulillah, Non gak papa?" Bi Ijah duduk di pinggir ranjang Silma.Silma tidak menjawab, dia meraba hidungnya yang sudah bersih tak ada darah seperti tadi. Ia tersenyum menatap kedua orang di depannya ini. "Enggak," jawab Silma, dia mendudukan dirinya.
Bi Ijah memegang lengan Silma saat anak majikannya itu meringis memegang kepalanya. "Kepalanya sakit ya Non?" Wanita itu membantu memijat kepala Silma dengan lembut.
Silma terenyuh dengan perlakuan wanita itu, sedari dulu saat dirinya jatuh sakit, Silma tidak pernah sekalipun merasa dirawat oleh Ibunya sendiri, Silma ingin Arumi yang menjaganya, mengobatinya dengan penuh kasih sayang. Tapi nyatanya hanya Bi Ijah yang selalu ada untuknya, meski begitu Silma harus tetap bersyukur, setidaknya masih ada orang yang peduli dengannya."Tadi Mamang sempat hubungin nyonya Non."
Silma menoleh cepat pada Mang Udin, ia tertarik dengan ucapan supirnya itu. Meskipun Silma tahu jika jawabannya pasti akan menyesakkan.
"Mamang bilang keadaan Non sama Nyonya tadi, tapi katanya Nyonya gak bisa pulang, beliau hanya menyuruh Non Silma buat minum obat saja."
Bukan obat yang Silma butuh, tapi kehadiran wanita itu sendiri. Ia tersenyum miris, "Terus Mama bilang apa lagi?"
Mang Udin dan Bi Ijah terlihat saling pandang kemudian menatapnya dengan tatapan tak enak.
"Kenapa?"
"Ini non." Mang Udin menyerahkan ponselnya yang berisi room chat dengan Mamanya.
|Bilang sama dia jangan rewel, dan cepat minum obat. Awas jangan sampai bolos sekolah.
|Saya tidak mau Silma ketinggalan pelajaran!
Mamanya bahkan hanya mementingan soal kesempurnaan dalam belajar, tanpa memikirkan bagaimana kesehatan fisiknya. Adakah Ibu yang egois seperti ini? Hus, Silma tidak boleh membenci Ibunya, tanpa Mama dirinya tidak bisa ada di dunia ini.
Tapi tampaknya Silma lebih baik tidak dilahirkan, agar ia tidak tahu segini sakitnya menjalani kehidupan.
Silma tersenyum lebar saat Bi Ijah mengusap pipinya, bahkan dirinya tidak sadar bahwa ia menangis.
"Bi tolong suruh Dokter Sinta ke sini." Silma membutuhkan Dokter Psikolognya itu. Dia butuh tempat curhat, dan hanya dokter itu yang Silma percayai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Takdir [Tamat]
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] ------ "Gak semua cowok brengsek seperti yang Lo takutin!" Akibat permintaan dari gurunya yang mengakibatkan mereka jadi dekat. Baru saja ia bisa merasakan bahagianya Cinta. Namun, takdir mengubah semuanya. Ya, karena t...